Sabtu, 27 Maret 2010

Hukuman Bagi Homoseks

Homoseksual (liwath) merupakan perbuatan asusila yang sangat terkutuk dan menunjukkan pelakunya seorang yang mengalami penyimpangan psikologis dan tidak normal.

Berbicara tentang homoseksual di negara-negara maju, maka kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Di negara-negara tersebut kegiatannya sudah dilegalkan. Yang lebih menyedihkan lagi, bahwa 'virus' ini ternyata juga telah mewabah di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Bagaimana sesungguhnya masalah besar ini menurut kacamata Islam? Apa ancaman yang akan diterima pelakunya? Beberapa uraian berikut akan merangkum pendapat Imam Ibn al-Qayyim di dalam bukunya, ad-Dâ` Wa ad-Dawâ.

Dalam istilah Islam, homoseksual lebih dikenal dengan nama "al-Liwâth" yang diambil dari kata "Luth," nama seorang Nabi Allah. Mengapa dinisbatkan kepada Nabi Allah tersebut? Sebab perbuatan semacam itu dilakukan oleh kaumnya. (Kadang juga disebut dengan sodomi, dari nama negri kaum Nabi Luth, Sodom, red)

Dampak negatif yang ditimbulkan perbuatan Liwâth (Homoseksual), sebagaimana perkataan Jumhur Ulama ijma' dari para shahabat mengatakan, "Tidak ada satu perbuatan maksiat pun yang kerusakannya lebih besar dibanding perbuatan homoseksual. Bahkan dosanya berada persis di bawah tingkatan kekufuran bahkan lebih besar dari kerusakan yang ditimbulkan tindakan pembunuhan."

Allah subhanahu wata’ala tidak pernah menguji dengan ujian yang seberat ini kepada siapa pun umat di muka bumi ini selain umat Nabi Luth. Dia memberikan siksaan kepada mereka dengan siksaan yang belum pernah dirasakan oleh umat mana pun. Hal ini terlihat dari beraneka ragamnya adzab yang menimpa mereka, mulai dari kebinasaan, dibolak-balikkannya tempat tinggal mereka, dijerembabkan nya mereka ke dalam perut bumi dan dihujani bebatuan dari langit. Ini tak lain karena demikian besarnya dosa perbuatan tersebut.

Hukuman bagi Pelakunya

Setidaknya, ada tiga hukuman berat terhadap pelaku homoseksual:

Pertama; Dibunuh.

Para ulama mengatakan, "Dalil atas hal ini adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala menjadikan Hadd (hukuman) atas orang yang membunuh jiwa manusia diserahkan kepada pilihan wali dari korban; dibunuh atau dima'afkan tetapi pelakunya harus membayar denda (diyat) atas hal itu. Namun hal ini berbeda dengan kasus homoseksual. Allah subhanahu wata’ala mengenakan Hadd yang pasti (tegas) sebagaimana yang disepakati para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan dalil-dalil dari as-Sunnah yang begitu tegas yang tidak ada pertentangan atasnya, bahkan demikian pula yang dilakukan oleh para shahabat dan al-Khulafa` ar-Rasyidun.

Ke-dua; Dibakar.

Terdapat riwayat yang valid dari Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah menemukan di suatu daerah pinggiran perkampungan Arab seorang laki-laki yang menikah dengan sesamanya layaknya wanita yang dinikahkan. Maka, ia pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau meminta pendapat para shahabat yang lain, di antaranya 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mengambil pendapat yang sangat tegas. Ia mengata kan, "Menurutku, hukumannya dibakar dengan api." Maka Abu Bakar pun mengirimkan balasan kepada Khalid bahwa hukumannya 'dibakar.'

Ke-tiga; Dilempar dengan Batu Setelah Dijungkalkan dari Tempat Yang Tinggi.

'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, "Perlu dicari dulu, mana bangunan yang paling tinggi di suatu perkampungan, lalu si homoseks dilempar darinya dengan posisi terbalik, kemudian dibarengi dengan lemparan batu ke arahnya." Ibn 'Abbas zmengambil hukuman (Hadd) ini sebagai hukuman Allah subhanahu wata’ala atas homoseks.

Bukan Hanya Pelaku Utamanya Saja yang Dihukum

Ibn 'Abbas -lah yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, "Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah si pelaku (yang mengajak) dan orang yang dilakukan terhadapnya (pasangan)." (Diriwayatkan oleh para pengarang kitab as-Sunan, dinilai shahih oleh Ibn al-Qayyim)

Nash-Nash Berbicara

Di dalam banyak nash terdapat berbagai ancaman atas pelaku homoseksual, di antaranya adalah:
• Homoseks Dilaknat. Dalam sebuah hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), Allah telah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks)." (HR.Ahmad dan Abu Ya'la)

Dalam hal ini, tidak ada hadits yang memuat ancaman dengan laknat sedemikian tegas hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai mengulanginya tiga kali. Dalam kasus zina, beliau hanya menyebut laknat sekali saja, demikian juga dengan laknat yang diarahkan kepada sejumlah pelaku dosa-dosa besar; tidak lebih dari sekali. Hal itu, ditambah lagi dengan sikap para shahabat yang sepakat memberikan ancaman mati bagi homoseks di mana tidak seorang pun dari mereka yang mengambil sikap berbeda. Mereka hanya berbeda dalam hal bagaimana eksekusi terhadapnya.
• Homoseksual Lebih Keji (Kotor) Daripada Zina. Siapa saja yang merenungi firman Allah yang berkenaan dengan zina, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk," (al-Isrâ`:32) dan firman-Nya yang berkenaan dengan Liwath, " Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (homoseksual) itu yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kamu," maka pastilah ia akan mendapatkan perbedaan yang amat kentara. Pada firman-Nya mengenai zina, dalam redaksi ayat, Allah subhanahu wata’ala menjadikan kata "Fâhisyah (perbuatan keji)" dalam bentuk "nakirah" (tanpa alif lam, red) yang berarti ia merupakan salah satu dari perbuatan-perbuatan keji. Namun, dalam redaksi ayat mengenai homoseksual, Diamenjadikan kata "Fâhisyah" tersebut dalam bentuk "ma'rifah" (dengan alif lam) yang mengandung pengertian bahwa ia mencakup semua apa yang disebut dengan Fâhisyah itu. Maknanya, "Apakah kalian melakukan suatu perbuatan yang menurut semua orang adalah keji itu?"
• Al-Qur'an Menegaskan Betapa Durjananya Homoseksual. Dalam ayat 80 surat al-A'raf, Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa ia perbuatan keji yang tidak pernah dilakukan oleh penduduk mana pun di muka bumi. Kemudian dalam ayat 81, dikuatkan lagi dengan menyebutnya sebagai sesuatu yang amat dibenci hati, tidak patut didengar dan dijauhi oleh tabi'at, yaitu perbuatan menikah sesama lelaki.
• Pelaku Homoseksual adalah Musuh Fitrah. Dalam ayat selanjutnya dalam surat al-A'raf di atas, ditegaskan lagi betapa buruknya perbuatan tersebut yang berlawanan dengan fitrah yang Allahanugerahkan kepada laki-laki. Para pelakunya telah memutar balikkan tabiat yang semestinya bagi laki-laki, yaitu tertarik kepada wanita, bukan tertarik kepada sesama laki-laki. Karena itu, hukuman bagi mereka adalah dijungkir-balikkannya tempat-tempat tinggal mereka sehingga bagian yang atas menjadi di bawah, demikian pula, hati mereka dibolak-balikkan.
• Pelaku Homoseksual adalah Orang-orang yang Melampaui Batas. Allah subhanahu wata’alatelah menegaskan keburukan perbuatan tersebut, dalam firman-Nya, artinya, "Malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (al-A'raf:81).

Karena itu, coba renungkan, apakah makna seperti itu atau yang mirip dengan itu terdapat dalam masalah zina? Lalu dalam surat al-Anbiya', ayat 74, Allah subhanahu wata’alamenegaskan kepada mereka bahwa Dia telah menyelamatkan Nabi Luth dari (penduduk) kampung yang melakukan perbuatan keji itu.
• Para Pelaku Homoseksual adalah Orang-Orang yang Berbuat Kerusakan, Fasiq dan Zhalim. Allah subhanahu wata’ala menegaskan celaan terhadap mereka dengan dua sifat yang super buruk dalam firman-Nya, "Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasiq." (al-Anbiyâ`:74). Allah subhanahu wata’ala juga menyebut mereka sebagai orang-orang yang berbuat kerusakan sebagaimana dalam ucapan Nabi mereka, Luth berdoa, 'Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu." (al-'Ankabût:30). Allah subhanahu wata’alajuga menyebut mereka sebagai orang-orang yang berbuat zhalim dalam ucapan para malaikat kepada nabi Ibrahim ‘alaihis salam, "Sesungguhnya kami akan menghancur kan penduduk (Sodom) ini; sesungguh nya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim." (al-'Ankabût:31).


Renungkanlah, siapa orang yang pernah disiksa dengan siksaan-siksaan seperti ini dan dicela dengan celaan seperti ini.?

Sumber: “al-fi’lah allati tatashadda’ lahal jibal”, disarikan dari kitab “ad-Daa’ wad-Dawa’ oleh qism al-Ilmi Darul Wathan (Abu Hafshah)

Minggu, 14 Maret 2010

Muslim Nasionalis

Sesungguhnya identitas kita sebagai muslim tidaklah bertentangan dengan fitrah, yakni merasa cinta kepada tanah air yang kita menisbatkan diri kepadanya. Tidak pula bertentangan dengan keinginan untuk kebaikan negeri kita tersebut. Bahkan seorang muslim adalah nasionalis sejati, bukan dalam arti fanatik terhadap kewarga negaraannya, namun dalam makna dia menghendaki kebaikan dan kebahagiaan negaranya di dunia dan di akhirat dengan merealisasikan syari'at Islam, pembinaan aqidah serta menyelamatkan seluruh warga dari siksa neraka. Allah subhanahu wata’ala berfirman mengisahkan seorang mukmin keluarga Fir’aun,
(Musa berkata),"Hai kaumku, untukmu lah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!" Fir'aun berkata, "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar". Dan orang yang beriman itu berkata, "Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu.” (QS. al-Mukmin:29-30)

Tampak sekali pengertian nasionalisme ini dalam kisah seorang mukmin dari keluarga Fir'aun, yang menghendaki kebaikan kaum dan bangsanya.

Akan tetapi negeri yang sesungguhnya bagi seorang muslim adalah surga, tempat bapak kita nabi Adam ’alaihis salam tinggal pertama kali. Sementara kita di dunia ini sedang kehilangan negeri (surga) tersebut, dan sedang berusaha untuk dapat meraihnya kembali. Dan ajaran Islam telah menuliskan bagi kita peta perjalanan untuk kembali ke negri asal tersebut.

Surga adalah negeri kebahagiaan yang jika seseorang telah memasukinya, maka dia tidak akan mau lagi untuk berpindah darinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
"Seandainya dunia ini sama di sisi Allah dengan satu sayap nyamuk, maka tentu Allah tidak akan memberi minum orang kafir darinya walau hanya seteguk air." (HR at-Tirmidzi no. 2320 dan dia berkata, Hadits shahih gharib. Di shahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 686 karena banyak pendukungnya). Jika dunia seisinya tidak ada artinya di sisi Allah subhanahu wata’ala jika dibandingkan dengan sayap seekor nyamuk, maka bagaimana dengan hanya sebuah negara?

Di dunia ini tidak ada negeri yang paling dicintai oleh seorang mukmin dibanding Makkah al-Mukarramah, al-Madinah an-Nabawiyah, dan Baitul Maqdis di Palestina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa negri yang paling beliau cintai adalah Makkah al-Mukarramah, karena ia merupakan negri yang paling dicintai Allah subhanahu wata’ala dan diberkahi.

Sedangkan selain tiga negeri yang disucikan tersebut, maka Islamlah negeri kita, keluarga dan kerabat kita. Di mana syari'at Islam ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan, maka di sanalah negeri kita tercinta. Adapun negara dalam arti sempit, yakni sepotong tanah yang ditulis batas-batasnya oleh manusia, dibuat pemisah, dibatasi warna kulit, suku dan kebangsaan maka itu sesuatu yang tidak pernah dikenal oleh kaum salaf maupun kholaf. Hal itu muncul dalam kerangka memberikan pemahaman yang rusak dan merusak yang ditebarkan oleh Barat dan para pengekornya untuk menyingkirkan semangat keislaman, meredupkan jati diri Islam yang telah mempersatukan berbagai suku, bangsa dan ummat serta menjadikannya sebagai satu ummat saja "Ummat Islam" serta "Ummat Tauhid".

Saksi dari semua itu adalah seorang sejarawan yahudi Bernard Louis yang mengatakan, "Semua orang yang memperhatikan sejarah Islam maka dia akan mengetahui kisah Islam yang menakjubkan dalam memerangi penyembah berhala sejak permulaan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian bagaimana Nabi dan sahabatnya mendapatkan pertolongan dan menegakkan ibadah hanya kepada Ilah yang Esa serta memporak porandakan agama-agama berhala kaum Arab Jahiliyah. Dan pada hari ini mereka berhadapan dengan berhala yang lain. Mereka tidak berhadapan dengan Latta, Uzza dan tuhan-tuhan orang jahiliyah lainnya. Mereka melawan bebagai berhala-berhala baru, yang bernama negara (nasionalisme dan fanatik kebangsaan), kesukuan (rasialisme), serta qaumiyah (fanatik golongan).

Sesungguhnya barat tidak memandang kita dengan dua kaca mata, namun hanya satu kaca mata saja, yaitu kacamata fanatik buta, kedengkian dan kezhaliman yang nyata terhadap kaum muslimin. Tatkala Islam tegak dengan tanpa mempermasalahkan batas-batas wilayah, bersatu dalam amal serta telah rekat persatuannya maka tiba-tiba saja mereka merobek-robek dan mencerai beraikan kita.

Aqidah Islam merupakan satu-satunya pandangan yang dengannya seorang muslim mampu melihat kesalahannya dalam bersikap, berfikir dan mengambil dasar hidup. Aqidah Islam merekomendasikan kepada kita untuk mengambil warisan sejarah agar kita tahu batas, mana yang harus kita terima dan mana yang wajib kita tolak.

Fir'aun dan pengikutnya adalah orang Mesir namun mereka kafir. Nabi Musa ’alaihis salam juga orang Mesir, tetapi dia Islam dan beriman. Maka wajib seorang mukmin memusuhi musuh-musuh Allah dan berlepas diri dari mereka meskipun mereka adalah satu bangsa, ras dan satu bahasa. Dan seorang mukmin berwala' (loyal) kepada golongan Allah dan para wali-Nya, siapa pun mereka, di mana pun mereka berada dan kapan saja waktunya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah orang Arab, dari suku Quraisy dan masih kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Namun karena mereka memusuhi Allah subhanahu wata’ala, maka Rasulullah pun memusuhi mereka.

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman tentang sekelompok orang mukmin dari Bani Israil di bawah pimpinan Thalut, yang berperang menghadapi Raja kafir yang juga Bani Israil yang bernama Jalut.

Kita orang mukmin selalu memegang prinsip ini, yaitu menolong aqidah Islam dari orang-orang kafir siapa pun orang kafir itu, meski seorang yang berbangsa Palestina.

Seandainya saja Allah subhanahu wata’ala menakdirkan Nabi Sulaiman ’alaihis salam dan Nabi Dawud ’alaihis salam hidup kembali di dunia ini, maka tentu mereka berdua akan mengikuti syariat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
"Demi Allah, seandainya Musa hidup di tengah-tengah kalian, maka dia tidak ada pilihan lain kecuali akan mengikutiku." (HR. ad-Darimi, Imam Ahmad dan selain meeka, dihasankan oleh al-Albani).

Andaikan Nabi Musa ’alaihis salam, Nabi Sulaiman ’alaihis salam, Nabi Dawud ’alaihis salam dibangkitkan kembali tentu mereka akan memerangi yahudi, nashara, kaum sekuler dan orang-orang mulhidin.

Sesungguhnya aqidah adalah pondasi jati diri yang paling besar yang mengikat seorang muslim dengan saudaranya, sehingga menjadi ibarat satu tubuh. Jika ada salah satu anggota badan yang sakit maka anggota badan yang lain ikut merasakannya dengan susah tidur dan demam, seperti disebutkan dalam hadits.

Inilah ikatan yang hakiki dan yang sesungguhnya. Adapun selain itu seperti hubungan kerabat, teman, keluarga, suku, bangsa, ras adalah bersifat nisbi. Dalil yang menunjukkan hal ini yaitu firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. al-Mujadilah:22)

Dalam kisah Nabi Nuh ’alaihis salam Allah subhanahu wata’ala berfirman tentang putranya, "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik.” Dan dalam kisah Nabi Ibrahim ’alaihis salam beliau dan pengikutnya berkata, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Juga dalam kisah Nabi Isa ’alaihis salam ketika beliau menyeru Bani Israil agar menjadi penolongnya, maka sebagian ada yang beriman yakni kaum Hawariyyun dan sebagain ada yang kafir. Maka Allah subhanahu wata’ala menolong orang yang beriman atas musuh mereka. Demikian pula dalam surat al-Lahab yang menceritakan paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Lahab, "Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak." (QS. 111:3). Sebuah syair menyebutkan,

Islam tekah memuliakan Salman, seorang berbangsa Persi
Kekufuran telah menghinakan bangsawan mulia, Abu Lahab

Dalil lainnya adalah bahwa seorang mukmin yang memiliki anak kafir maka hartanya tidak diwarisi oleh anaknya, tetapi diwarisi kaum muslimin dan masuk ke baitul mal. Ini menunjukkan bahwa saudara yang hakiki adalah saudara seaqidah, sesama muslim tanpa memandang bangsa, ras, suku dan warna kulit.

Disadur dari kitab, “Huwiyyatuna awil Hawiyah”, Muhammad Ahmad Islamil al-Muqaddam, hal 19-32.

Antara Natal Dan Maulid Nabi

Natal

Tidak di ketahui secara pasti kapan Nabi Isa Dilahirkan, walaupun para penganut Kristiani mengklaim bahwa kelahiran Al Masih adalah tanggal 25 Desember namun keyakinan itu sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara pasti. Yang jelas Nabi Isa dilahirkan pada musim panas, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur'an bahwa setelah melahirkan putranya, sang ibu Maryam bersandar di sebuah pohon kurma lalu di wahyukan kepadanya agar menggoyang batang kurma itu,maka berjatuhanlah rutob dari atas pohon tersebut. Rutob adalah buah korma yang telah masak (empuk), dan buah kurma tidak akan bisa matang jika tidak ada angin panas yang bertiup. Jika ada yang berkeya-kinan bahwa Nabi Isa lahir pada musim salju (dingin) maka itu adalah salah.

Jangankan sampai sedetil tanggal lahirnya, tahun kelahirannya saja antara Biebel dan pencetus kalender Masehi yang dipakai saat ini ada perbedaan. Dalam Matius sebutkan bahwa Isa dilahirkan pada masa raja Herodas dari Roma. Sementara itu para pakar sejarah mereka mengatakan bahwa raja Herodas mati pada tahun 4 sebelum Masehi, artinya 4 tahun sebelum kelahiran nabi Isa. Jika Biebel memang benar maka seharusnya tahun Masehi (yang sekarang 2001) seharusnya sudah 2005. dan jika yang benar adalah pencipta kalender maka Bibel (kitab suci) mereka yang salah. Ada kemung-kinan juga kedua-duanya salah, dan tidak mungkin keduanya benar.

Sitem Kerahiban dan Taklid Buta

Sungguh kacaunya sebuah agama desebabkan karena sumber asli (kitab suci) dari agama tersebut telah diacak-acak dan diputar balikan oleh orang-orang yang menamakan dirinya atau dinamai ahli ilmu dan ahli ibadah. Dengan seenaknya orang-orang semacam ini membuat fatwa dan hukum yang menyelisihi sumber otentik dari agama itu sendiri. Mereka dianggap sebagai wakil Tuhan dan orang suci yang tidak punya salah atau ma'shum. Sehingga ucapan mereka ibarat wahyu yang harus ditaati meskipun itu mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Jika demikian maka ini berarti telah menjadikan orang alim (baik itu ulama, pendeta, rahib dan sebagainya) sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Mungkin mereka beralasan dengan mengatakan: "Kami kan tidak menyembah mereka!" Alasan serupa juga pernah disampaikan oleh seorang Ahlu Kitab yang masuk Islam, Adiy bin Hatim, tatkala ia mendengar Nabi Shallallaahu alaihi wa salam membaca firman Allah, yang artinya:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. 9:31)
Mendengar pembelaan diri dari Adiy, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam lalu bertanya:
"Tidaklah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah lalu kamu pun mengharamkannya? Dan tidaklah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah lalu kamupun (ikut) menghalalkannya?"
Semua pertanyaan Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dibenar-kan oleh Adiy, maka beliaupun bersabda: "Itulah ibadah (penyembahan) kepada meraka." (HR. Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan mengatakan hasan)

Fenomena seperti ini ternyata juga merebak di kalangan kaum muslimin dimana masih banyak diantara mereka terjebak dalam kultus Individu, menganggap wali ma'shum terhadap seseorang yang segala tingkah laku dan ucapannya tidak boleh disalahkan, dengan alasan takut kuwalat (tertimpa bencana), atau beranggapan mereka memiliki maqom (kedudukan) yang tidak bisa dimengerti dan dicapai orang awam.

Demikianlah sistem kerahiban dalam agama Nashara telah menjadikan penganutnya dicap Allah sebagai orang dloollin (sesat). Sistem ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Al Hadid ayat 27 merupakan perkara yang diada-adakan dan sama sekali tidak pernah diperintahkan oleh Allah. Artinya: "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang yang fasik." (QS. 57:27)

Dengan kata lain mereka telah membuat bid'ah dalam tata cara agama mereka,sehingga mereka menjadi sesat. Oleh karena itu Rasulullah, jauh-jauh sudah mengingatkan, agar Islam terjaga kemurniannya maka beliau bersabda, yang artinya: "Setiap hal yang baru (dalam urusan agama adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Bagaimana Dengan Maulid Nabi SAW?

Maulid (peringatan Hari kela-hiran) Nabi Shallallaahu alaihi wa salam sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar kaum muslimin di Indonesia. Hari tersebut dianggap sebagai hari besar (hari raya) yang harus diperingati secara rutin tiap tahun. Peringatan secara rutin dan terus menerus dalam istilah Arab disebut dengan Ied, sedang kalau kita mau meneliti dalam kitab-kitab hadits bab tentang hari raya disana biasanya tertulis Kitabul Idain (kitab tentang dua hari raya atau hari besar), maksudnya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dari sini jelas sekali bahwa hari Besar dalam Islam yang diperingati secara rutin tiap tahun hanya ada dua hari saja. Sekiranya ada hari besar lain yang waktu itu dirayakan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tentu kaum muslimin mulai zaman shahabat, tabiin dan tabiut-tabiin sudah lebih dahulu melakukannya. Sebagaimana mereka merayakan Idain secara mutawatir, tanpa ada khilaf, dan sudah barang tentu juga dijelaskan adab-adabnya dan bagaimana prakteknya.

Sedangakan dalam tinjauan syar'i peringatan maulid Nabi sebagaimana di kemukakan syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullaah dalam kitabnya At Tahdzir minal Bida', adalah merupakan hal baru dalam Islam, yang tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah, para shahabat dan tabi'in. Ada beberapa alasan mengapa beliau tidak memperbolehkan peringatan semacam ini

Pertama: merupakan amalan baru yang tertolak, sebagaimana sabda Nabi n, yang artinya: "Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) adalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya maka akan ditolak" (Muttafaq Alaih).

Kedua: Menyelisihi Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Nabi Shallallaahu alaihi wa salam bersabda, artinya: "Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Qur'an) dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah setelahku." (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi).

Ketiga: Mengambil ajaran bukan dari Nabi, Firman Allah. artinya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dila-rangnya bagimu maka tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. 59:7)

Keempat: Tidak pernah dicon-tohkan dan diteladankan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa salam padahal sebisa mungkin kita harus meneladani beliau, Firman Allah, artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (keda-tangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. 33:21)

Kelima: Agama Islam telah sempurna tidak perlu penambahan ajaran baru lagi. Firman Allah, artinya: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." (QS. 5:3)

Keenam: Bahwa Rasulullah telah menunjukan seluruh kebaikan kepada umatnya dan telah memperingatkan dari kejahatan yang beliu ketahui, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau tidak pernah memberi petunjuk tentang peringatan maulid ini, bahkan sebaliknya memperingatkan dari perkara-perkara baru dalam Islam.

Ketujuh: Membuat ajaran baru dalam Islam merupakan seburuk-buruk perkara, sebagaiaman penggalan sabda beliau Shallallaahu alaihi wa salam dalam sebuah khutbahnya, yang artinya: " Dan seburuk-buruk perkara(dalam agama) ialah yang di ada-adakan (bid'ah), dan setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim)

Kedelapan: Merupakan sikap tasyabuh (meniru-niru) ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nashrani dalam hari-hari besar mereka.

Belum lagi jika dalam acara tersebut terdapat ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Nabi Shallallaahu alaihi wa salam misalnya berkeyakinan kalau Nabi datang dalam acara tersebut dan bisa menjawab do'a, ikhtilath yaitu bercampur baur pria dan wanita yang bukan muhrim, atau diselingi dengan pentas musik dan sebaginya.

Kalau kita selidiki kedua kasus di atas baik itu natal maupun maulid Nabi n, ternyata sumber kekeliruannya adalah sama yaitu Niat baik yang salah cara penyalurannya.Padahal Islam telah mengajarkan bahwa suatu amal dikatakan Shalih dan akan diterima oleh Allah selain diniatkan dengan ikhlas juga harus mengikuti cara dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi n. Karena kalau kita lihat dalam Al-Qur'an, orang kafir yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang paling rugi amalnya ternyata dikarenakan salah prediksi (perkiraan). Mereka sangka apa yang mereka lakukan adalah kebaikan-kebaikan sebagaimana yang mereka niatkan, padahal sebenarnya adalah kesesatan, firman Allah, artinya: "Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. 18:103-104)

Janganlah kita seperti mereka, cocokkan cara ibadah kita dengan cara ibadah Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabatnya, dan sertailah dengan niat ikhlas karena Allah. (Dept. Ilmiah)

Pemahaman Tentang Jihad

Akhir-akhir ini, muncul berbagai statemen seputar jihad yang disampai kan oleh segelintir orang yang tidak memiliki pandangan yang jernih, dan ilmu yang memadai. Sebagian dari mereka ada yang bersikap ekstrim dalam hal jihad. Mereka berbicara tentang jihad dengan tanpa bashirah, tanpa ilmu, dan tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan syari’at.

Sementara itu di sisi lain ada yang bersikap dingin dan menganggap remeh jihad, sehingga ada yang menyifati jihad sebagai tindakan pemaksaan dalam memeluk agama. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, artinya, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah:256)

Maka masalah besar ini perlu untuk mendapatkan perhatian dan perlu dijelaskan kepada ummat supaya semuanya menjadi terang.

Umat Terdahulu dan Jihad

Jihad merupakan kewajiban yang telah dilakukan oleh ummat-ummat terdahulu sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Musa misalnya, telah berjihad bersama Bani Israil (periksa, QS. al-Maidah:21).

Demikian pula halnya kaum-kaum sepeninggal nabi Musa, mereka pun disyari’atkan untuk berjihad, seperti yang dilakukan Raja Thalut, Nabi Dawud, dan Nabi Sulaiman ketika mendakwahi Ratu Bilqis.

Allah subhanahu wata’ala mensyari'atkan jihad, sebagai ganti dari hukuman kontan yang berakibat pada kehancuran secara total. Maka berlakulah jihad itu sebagai sunnah para nabi semenjak dahulu, hingga diutusnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah subhanahu wata’ala dan menghilangkan kemusyrikan dan kekufuran.

Makna dan Macam Jihad

Jihad secara bahasa artinya berjuang atau bersungguh-sungguh. Maksudnya adalah mencurahkan kesungguhan dalam rangka taat kepada Allah subhanahu wata’ala dan beribadah kepada-Nya, termasuk di dalamnya berjuang menghadapi orang-orang kafir. Jihad ada beberapa macam, seorang muslim senantiasa berjihad dengan melaksanakan salah satu dari macam jihad tersebut, yaitu:

1. Jihad an-Nafs

Yaitu memerangi diri sendiri agar senantiasa taat kepada Allah subhanahu wata’ala, menyuruh diri sendiri agar menjalan kan ketaatan itu, membiasakannya, serta melarang diri dari bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala dan mencegah darinya. Jihad terhadap diri sendiri berlaku sepanjang hidup. Barangsiapa yang tidak bisa menghadapi diri sendiri, maka ia tidak akan dapat menghadapi orang lain. Nafsu senantiasa memerintahkan kepada keburukan, kecuali nafsu yang mendapatkan rahmat. Maka nafsu itu harus diperangi agar terbiasa dengan ketaatan, sehingga memungkinkan untuk melaksanakan tahapan jihad yang lainnya.

2. Jihad Melawan Syetan

Jika seseorang telah berhasil melawan diri sendiri, maka selanjutnya dia harus berjuang melawan syetan. Yaitu musuh yang senantiasa datang menggoda dari segenap penjuru arah, kiri, kanan, depan, dan belakang. Syetan selalu menghiasi perbuatan buruk dan menanamkan was-was, mengajak kepada kekufuran, kemusyrikan, dan kemaksiatan. Memerangi syetan dengan cara tidak menjalankan keburukan yang dia bisikkan serta menjalankan apa yang dia larang. Syetan menyuruh kita agar meningggalkan ibadah dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, syetan menyuruh kita agar bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, maka kita jangan mengikuti perintahnya.

3. Jihad Melawan Ahli Maksiat

Yaitu menghadapi orang mukmin yang banyak melakukan kemaksiatan dan penyimpangan, yakni dengan amar ma'ruf (menyuruh kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kemungkaran). Amar ma'ruf nahi munkar merupakan salah satu jenis jihad, namun ini dilakukan sesuai kemampuan orang per orang.

4. Jihad terhadap Orang Munafiq

Orang munafik yaitu orang yang menampakkan keislaman dan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran kepada Allah subhanahu wata’ala. Dari mereka kaum muslimin sering mendapati perlakuan dan sikap yang menyakitkan, ucapan yang buruk, dan syubhat (kerancuan). Sehingga dibutuhkan jihad untuk merontokkan syubhat mereka, menjawab ucapan mereka yang mengada-ada (bid’ah), dan menjelaskan kekeliruan mereka. Orang-orang munafik ini terkadang memiliki retorika yang mengagumkan, terkadang memiliki ilmu komunikasi yang bagus (logika/mantiq, filsafat dan ilmu kalam). Mereka memusuhi orang mukmin dan menyebarkan keburukan, dengan ucapan maupun tulisan, atau dengan mengadu domba dan menanamkan permusuhan di tengah kaum muslimin.

Maka wajib untuk waspada terhadap mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala, artinya,
“Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka.” (QS. al-Munafiqun:4)

5. Jihad terhadap Orang Kafir

Yaitu dengan mengangkat senjata, menghadapi mereka dalam “front” pertempuran, berperang di jalan Allah subhanahu wata’ala. Tetapi kewajiban ini dilaksanakan dengan cara bertahap, sebagaimana dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih berada di Makkah, kaum muslimin justru dilarang untuk berjihad dan diperintahkan untuk menahan diri dan terus berdakwah menyampaikan ajaran Islam.

Pembagian Jihad fi Sabilillah

Pertama; Jihad Fardhu ‘Ain; Yakni wajib atas setiap muslim yang mampu untuk berjihad, seperti dalam peperangan untuk membela diri dan mempertahankan negri kaum muslimin. Di antara kondisi jihad yang hukumnya fardhu ‘ain adalah:

1. Jika kaum muslimin diserang oleh musuh di dalam negeri mereka, maka mereka harus melawan, sehingga wajib bagi siapa saja dari penduduk negri yang mampu berperang untuk membela diri, menjaga kehormatan dan mempertahankan negri yang diserang tersebut.

2. Apabila Imam menyuruh untuk berjihad, maka hukum jihad adalah fardhu ain bagi setiap muslim yang mampu.

3. Apabila telah siap berperang dan dua pasukan sudah berhadapan, maka tidak boleh mundur atau lari, jika memiliki kekuatan yang mencukupi. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS. al-Anfal:15)

Ke dua; Jihad Fardhu Kifayah; Yakni jihad dalam rangka berdakwah kepada orang kafir, untuk memberikan kemaslahatan, melepaskan manusia dari kemusyrikan dan kekufuran, menyelamatkan mereka dari neraka, dan meninggikan kalimat Allah subhanahu wata’ala, sama sekali bukan karena tamak untuk menguasai negri mereka. Kepada mereka ditawarkan Islam, atau perjanjian damai, dan jika tidak mau maka berarti mereka memilih jalan terakhir yakni berperang, sehingga wajib bagi kaum muslimin menghadapi mereka. Jika kewajiban dakwah ini telah dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki kemampuan maka gugurlah kewajiban yang lain.

Seruan Jihad Wewenang Imam

Yang berhak menyerukan jihad dan mengaturnya adalah imam kaum muslimin. Imam lah yang mempunyai wewenang menegakkan jihad, mengatur tentara dan pasukan, mengomando sendiri atau mengangkat orang untuk menjadi panglima. Tidak boleh setiap muslim melakukan jihad sendiri-sendiri tanpa izin dari imam kecuali dalam kondisi diserang musuh, karena mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang membahayakan.

Seluruh kaum muslimin harus di bawah satu imam dan satu komando, tidak boleh berpecah-belah, karena mereka adalah ummat yang satu. Jika dalam masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat) tidak boleh menyebabkan berpecah-belah, maka bagaimana pula dalam jihad, yang urusannya jauh lebih besar?

Mengenai alasan mengapa tidak setiap muslim boleh mengumandang kan jihad, di antaranya adalah karena jihad bukan urusan yang ringan, tetapi masalah besar dan penting yang butuh penyatuan pendapat, butuh kekuatan, penataan dan strategi, serta butuh persiapan yang besar.

Demikian beberapa masalah seputar jihad. Yang patut dicatat adalah bahwa tujuan jihad itu sangat luhur, yakni agar manusia hanya beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, selaras dengan tujuan dakwah para rasul. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu". (QS. an-Nahl:36). Juga firman-Nya, artinya,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. al-Anbiya:25)

Kemudian tak kalah penting adalah hendaknya diperhatikan betul hukum-hukumnya, adab-adabnya, syarat-syarat dan ketentuannya dengan merujuk kepada para ulama. Dengan demikian maka jihad yang dilakukan adalah jihad syar'i yang bermanfaat bagi umat, bukan jihad asal-asalan, jihad prematur, jihad tanpa bashirah dan ilmu.

Setelah kita mengetahui beberapa penjelasan tentang jihad sebagaimana di atas, maka sangat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang berupa aksi pengeboman, penculikan, pebunuhan dan semisalnya adalah sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan jihad yang di atur dalam Islam, meskipun mereka mengklaim itu sebagai bagian dari jihad. Sebab Islam sangat melarang keras perbuatan yang menyebabkan kerusakan di muka bumi dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terjaga darahnya, tanpa alasan yang haq.

Jika terhadap binatang Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku ihsan, maka bagaimana pula halnya terhadap manusia?

Sumber: “Fatawa al-Ulama al-Kibar fil Irhab wat-Tadmir wa Dhawabith al-Jihad wat-Takfir wa Mu’amalatul Kuffar,” hal 290-300 dengan menyadur dan meringkas.

Menyorot Kasus Peledakan dan Pengeboman

Berkali-kali kita mendengarkan dan menyaksikan berbagai peristiwa peledakan fasilitas umum, seperti pusat perbelanjaan, stasiun kereta api, hotel, restoran, dan bangunan-bangunan milik pemerintah, swasta, maupun milik orang asing. Peledakan tersebut telah banyak memakan korban, jiwa atau materi, baik dari kalangan muslimin maupun non muslim. Tak ketinggalan negri-negri kaum muslimin, seperti Saudi Arabia, yang di sana terdapat kiblat umat Islam di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah pun ikut menjadi sasaran peledakan, seperti yang pernah terjadi di Kota Riyadh dan Khubar bahkan di Makkah al-Mukarramah tanah Haram.

Para pelaku peledakan atau penyerangan itu mengklaim dirinya sebagai mujahidin dan peledakan yang mereka lakukan sebagai jihad. Alasannya adalah karena yang mereka jadikan sasaran adalah orang kafir atau kaum muslimin dan pemerintah muslim yang bekerjasama dengan orang kafir. Dan mereka juga menuduh para ulama yang anti terhadap mereka sebagai ulama yang ditekan (pesanan) pemerin-tah, sehingga tidak mau melakukan jihad. Benarkah peledakan, penge-boman, pembunuhan maupun penye-rangan yang mereka lakukan adalah merupakan bentuk jihad fisabilillah?

Menyorot Akar Permasalahan

Kalau kita memperhatikan dengan cermat berbagai kasus peledakan atau pengeboman tempat-tempat umum sebagaimana tersebut di atas, maka kita akan mendapati dua masalah mendasar yang menjadi latar belakang dilakukan-nya aksi itu. Dua masalah pokok tersebut yang pertama yaitu; Anggapan halalnya darah orang yang dijadikan korban, dan yang ke dua; Klaim jihad atas aksi yang dilakukan. Oleh karena itu marilah kita melihat dua masalah ini secara lebih rinci.

Kapan Darah Seseorang Boleh Ditumpahkan

Masalah ini kita bagi menjadi dua bagian, yakni kelompok muslim dan kelompok non muslim. Mengenai kapan darah seorang muslim itu dihalalkan, maka Islam telah menjelaskan dengan sangat gamblang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ،¥alaihi wasallam,
"Tidak halal darah seorang muslim untuk ditumpahkan kecuali dengan salah satu dari tiga sebab; Jiwa dibayar dengan jiwa (qisash); Pelaku zina muhshan (telah menikah) dengan rajam; Orang yang murtad dari agamanya keluar dari jama'ah kaum muslimin." (Muttafaq 'alih)

Sedangkan darah orang kafir, maka Islam pun telah memberikan patokan yang sangat jelas, yakni haram hukumnya menumpahkan darah mu'ahid (orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin) dan ahli dzimmah (non muslim yang berada di bawah jaminan keamanan kaum muslimin atau pemerintah Islam). Yang boleh diperangi dan halal darahnya adalah orang kafir yang memerangi kaum muslimin (kafir harbi). Jika kita melihat fenomena yang ada dalam kasus peledakan atau pengeboman yang terjadi belakangan ini, maka kita ketahui bahwa yang menjadi korban adalah kaum muslimin dan orang kafir dzimmi atau mu'ahid.

Dalam pembahasan ini kita akan menekankan masalah darah kaum muslimin yang ditumpahkan, karena cukup banyak hal dan hukum yang terkait dengan bab ini.

Yang pertama kali adalah tentang apa alasan mereka menghalalkan darah kaum muslimin sehingga boleh untuk ditumpahkan? Alasannya tentu bukan untuk menegakkan qishah dan bukan karena melakukan hadd (hukuman) terhadap pelaku zina yang muhshan. Maka tinggallah satu alasan lagi, yakni karena mereka (para korban) telah dianggap kafir, sehingga darahnya boleh ditumpahkan. Lalu mengapa mereka dihukumi kafir? Alasan inilah yang sering tidak kita mengerti, namun jika menilik berbagai kejadian dan pemikiran yang berkembang di tengah umat Islam maka dalih yang biasa mereka gunakan adalah karena mereka (para korban) telah mendukung pemerintahan yang tidak berhukum kepada hukum Allah subhanahu wata،¦ala dan rela dengan hukum produk manusia. Benarkah alasan tersebut?

Jika takfir (pengafiran) ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin yang berada dalam wilayah negara itu, maka jelas merupakan kesalahan yang besar. Bagaimana seorang muslim dihukumi kafir hanya lantaran pemerintahan negeri tempat dia tinggal tidak berhukum dengan hukum syari'at Allah subhanahu wata،¦ala? Dan dari mana para pembunuh itu tahu bahwa muslim ini rela atau menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah subhanahu wata،¦ala, padahal si muslim tidak pernah menyatakan hal itu? Sedangkan para hakim yang tidak memutuskan dengan hukum Allah subhanahu wata،¦ala atau pihak-pihak lain yang terkait, jika dia seorang muslim, maka tidak bisa divonis kafir sebelum syarat-syarat untuk vonis tersebut terpenuhi. Di antara syarat yang terpen-ting adalah jika dia memang sengaja dengan senang hati melakukan itu dan beranggapan halal melakukannya, atau berkeyakinan bahwa hukum selain hu-kum Allah subhanahu wata،¦ala tersebut adalah lebih baik.

Dan andaikan mereka itu misalnya memang benar telah kafir, maka perlu kita pertanyakan lagi kepada para pelaku pembunuhan tersebut, "Apa kapasitas dan wewenang mereka sehingga berani melakukan eksekusi?" Dan apakah mereka (para korban) sudah diminta bertaubat lebih dahulu, kalau ya siapa yang meminta? Untuk pertanyaan ini jelas mereka tidak memiliki jawaban. Jawaban yang mereka gunakan untuk membenarkan tindakan mereka yakni bahwa itu dilakukan dalam rangka jihad fisabilillah, dan inilah akar permasalah-an ke dua.

Jihad Fisabilillah?

Apakah benar yang mereka lakukan adalah jihad yang syar'i (sesuai tuntunan syari،¦at)? Jika para pembaca pernah mengaji masalah jihad dari penjelasan para ulama, maka tentu akan dapat menyimpulkan apakah aksi pengeboman atau pembunuhan seperti di atas termasuk jihad syar'i atau tidak! Tetapi ada baiknya apabila kita memba-has kembali masalah ini, supaya lebih jelas.

Yang hendaknya senantiasa diingat dan dipahami adalah bahwa jihad itu merupakan ibadah yang sangat agung. Sebagaimana ibadah lainnya, agar jihad fisabilillah benar dan diterima oleh Allah ƒ¹maka harus dilaksanakan dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ،¥alaihi wasallam (mutaba'ah). Jihad fisabilillah harus dengan niat meninggikan kalimat Allah subhanahu wata،¦ala, bukan semata-mata karena ingin membunuh atau menyerang lawan. Demikian pula ia tidak boleh dilakukan semaunya, asal-asalan dan tidak memperhatikan adab, ketentuan dan syarat-syarat jihad.

Dalam kasus pengeboman atau peledakan yang sedang kita bicarakan ini ada beberapa pertanyaan yang selayaknya disampaikan untuk menjadi bahan penilaian, apakah benar aktivitas yang mereka lakukan adalah jihad yang syar'i.

Pertama; Masalah niat, dalam hal ini kita tidak akan mempertanyakan lebih jauh tentang niat, karena urusan hati hanya Allah subhanahu wata،¦ala dan pelaku saja yang tahu.

Ke dua; Kejelasan status korban. Apakah para pelaku sebelumnya pernah berdialog dengan para korban, sehingga tahu persis berdasarkan ilmu bahwa si korban ini benar-benar telah kafir (jika dia muslim)? Sebab kalau ternyata tu-duhan kafir tersebut tidak memiliki dasar yang kuat atau hanya persangkaan saja, maka berarti telah membunuh sesama muslim.

Ke tiga; Iqamatul Hujjah (menegak-kan hujjah /berdialog dengan mengemu-kakan argumen sehingga tidak ada kera-guan) dan istitabah (meminta bertaubat). Apakah para pelaku setelah benar-benar memvonis korban sebagai kafir sudah me-minta mereka bertaubat lebih dahulu?

Ke empat; Apa kapasitas para pelaku pengeboman tersebut sehingga berani mengumandangkan jihad atau mengeksekusi orang yang menurutnya kafir? Apakah mereka pemerintah kaum muslimin? Padahal wewenang untuk mengumandangkan jihad itu ada di tangan imam kaum muslimin, kecuali dalam kondisi diserang atau dikepung musuh. Demikian pula halnya dengan melakukan eksekusi, itu merupakan wewenang waliyul amri (penguasa kaum muslimin), bukan wewenang orang perorang. Sebab jika orang perorang dibolehkan melakukannya maka yang terjadi adalah kekacauan.

Ke lima; Apa yang mereka peroleh setelah peledakan atau pengeboman? Apakah dengan itu mereka lantas mendapatkan manfaat yang besar, misalnya ditegakkannya syari'at Islam secara utuh? Tidak, tidak sama sekali! Bahkan apa yang mereka lakukan akan memperburuk citra Islam, menyebabkan orang salah penilaian terhadap Islam, dan akibatnya mereka semakin menjauh dari Islam dan tidak menaruh simpati.

Ke enam; Apakah mereka telah berpikir tentang dampak yang ditimbulkan dari aksi tersebut? Sesungguhnya jika dia seorang muslim sejati tentu akan memikirkan nasib saudaranya sesama muslim, yakni jika yang terbunuh adalah mereka yang meninggalkan anak dan keluarga maka berarti telah membuat kesengsaraan dan masalah baru terhadap anak-anak dan keluarganya. Siapakah yang bertanggungjawab mengurusi anak-anak yatim itu, ataukah anak yatim itu juga telah mereka kafirkan? Na'udzubillah min dzalik.

Belum lagi dampaknya terhadap perjalanan dakwah, para aktivis dakwah, penuntut ilmu, lembaga-lembaga Islam dan kaum muslimin secara umum, apalagi terhadap kaum muslimin yang minoritas, sehingga tak jarang mereka akhirnya harus mendapatkan tekanan-tekanan, perlakukan yang diskriminatif bahkan terkadang siksaan secara fisik dan psikis.
Sudahkan mereka merenungkan semua ini?

Referensi: Fatawa al-Ulama al-Kibar fil Irhab wat-Tadmir, penyusun Ahmad bin Salim al-Mishri, Salah Kaprah dalam Memperjuangkan Islam (Kaifa Nu،¦aliju Waqi،¦ana al-Alim), Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Ma la Yasa' al-Muslim Jahluhu, Dr Abdullah al-Mushlih dan Dr Shalah ash-Shawi.

Hukum Seputar Al Qur'an

I. Tentang Berkumpul Untuk Membaca AL Qur'an
1. Membaca Al Qur'an secara berjama'ah (koor)
Membaca Al Qur'an termasuk ibadah yang paling afdhal, dan pada prinsipnya hendaklah cara membaca ini disesuaikan dengan cara yang pernah dilakukkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya Radhiallaahu anhum . Membaca Al Qur'an dengan satu suara tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya, akan tetapi mereka membaca sendiri-sendiri atau salah satu dari mereka membaca dan yang lainnya mendengarkan bacaan tersebut. Namun jika tujuannya untuk belajar mengajar Insya Allah tidak apa-apa.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam pernah memerintahkan kepadanya untuk membaca Al Qur'an maka ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah aku akan membaca Al Qur'an untukmu, padahal Al Qur'an itu diturunkan kepadamu? Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya aku senang untuk mendengarkannya dari selainku." (HR. Al Bukhari No. 5050).
Selayaknya kita mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para sahabatnya, karena beliau pernah bersabda:
"Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan maka perbuatan itu tertolak." (HR. Al Bukhari)
2. Membagi bacaan kepada orang-orang yang hadir
Membagi bacaan kepada hadirin, si fulan juz sekian, fulan yang lain sekian, agar masing-masing membaca, meskipun genap seluruh juz dalam Al Qur'an tidak di hitung sebagai khatam Al Qur'an. Kadang mereka berkeyakinan adanya barokah dari bacaan orang yang selainnya sehingga saling mendukung dan dianggap sebagai khatam Al Qur'an. Cara ini tidak dibenarkan.
3. Bacaan Al Fatihah setelah shalat fardhu atau witir dalam shalat malam
Membaca Al Qur'an adalah amal yang utama, namun seseorang tidak diperbolehkan mengkhususkan membaca surat atau ayat tertentu pada waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu kecuali apa-apa yang telah dikhususkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam seperti membaca Al Fatihah untuk meruqyah atau dalam tiap rakaat shalat, membaca ayat kursi, Al Ikhlas, Al Falaq dan An-Nas ketika membaringkan badan untuk tidur. Adapun membaca Al-Fatihah setelah shalat fardlu atau shalat witir tidak pernah dilakukan oleh nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
4. Membaca Al Fatihah setelah selesai berdo'a
Tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat membaca surat tersebut setelah selesai berdo'a.

II. TENTANG KHATAMAN AL QUR'AN
1. Walimah (perayaan) khataman Al Qur'an.
Walimah untuk merayakan khatam Al Qur'an sama sekali tidak pernah ada pada masa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ataupun khulafaur rasydin Radhiallaahu anhum. Bahkan merupakan amalan baru yang diada-adakan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda:
Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, padahal ia bukan darinya maka ia tertolak." (HR. Al Bukhari)
2. Membagikan makanan/snack dan minuman setelah khatam Al Qur'an di bulan Ramadhan
Pada dasarnya jika ini dilakukan secara kebetulan karena sedang ada makanan atau sesekali saja maka menurut fatwa Lajnah Daimah (Lembaga fatwa di Arab Saudi) tidak jadi soal. Yang jadi permasalahan ialah jika hal itu dilakukan secara rutin dan diyakini sebagai kelengkapan atau kesempurnaan dari ibadah membaca Al Qur'an, sedangkan kita semua tahu bahwa ibadah yang paling baik adalah yang mencocoki petunjuk Nabi baik ketika permulaan, pertengahan maupun penutupnya.

III. TENTANG BACAAN AL QUR'AN UNTUK MAYIT
1. Bacaan Al Qur'an untuk mayit
Perbuatan ini tidak ada dasar dan landasannya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat tidak pernah memberi petunjuk tentang hal ini, sedangkan beliau bersabda, dalam sebuah khutbah di hari Jum'at:
"Adapun sesudahnya, sungguh sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah. Sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid'ah), sedang setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim)
Demikian pula membaca Al Fatihah untuk orang yang telah meninggal
Tidak pernah ada nash yang menjelaskan masalah ini oleh karenanya tidak selayaknya kita melakukan amalan tersebut. Karena pada dasarnya ibadah itu terlarang sehingga ada dalil yang menjelaskan kebolehannya (disyariatkannya).
2. Membaca Al Qur'an untuk kedua orangtua yang telah meninggal
Ada sebagian pendapat yang membolehkan membaca Al Qur'an dan mengirimkan pahalannya untuk kedua orangtua, akan tetapi perbuatan ini tidak ma'tsur dan tidak ada dalil yang mendasarinya. Jika hanya dilakukan sesekali saja dan tidak mengkhususkan waktu tertentu menurut fatwa Syaikh Abdurrahman Al Jibrin (anggota Dewan Ulama Arab Saudi) merupakan sesuatu yang bisa ditolerir.
3. Bacaan Al Fatihah untuk kedua orang tua
Mengkhususkan bacaan Al Fatihah untuk orang yang telah mati, baik kedua orang tua atau selainya adalah bid'ah. Tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Yang disyariatkan adalah mendo'akan mereka, ketika shalat atau setelahnya, beristighfar dan memohonkan ampunan untuk mereka serta berdoa sesuai dengan yang diajarkan.

IV. TENTANG MEMBACA AL QUR'AN DIATAS KUBUR
1. Membaca Al Qur'an di atas kubur seseorang
Seorang muslim wajib untuk meniti jalan hidup pendahulu dari umat ini (Salaful Ummah) baik shahabat, Tabi'in dan para pengikutnya, yang mereka semua berada diatas petunjuk dan kebaikan.
Membaca Al Qur'an diatas kubur tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabatnya, oleh karena itu tidak pantas bagi kita mengada-adakannya. Karena perkara yang diada-adakan dalam syariat adalah bid'ah, dan setiap bid'ah pasti sesat.
Adapun berdo'a untuk mayit disisi kubur atau ketika melewati kubur maka tidak apa-apa, yaitu dengan cara berhenti sejenak lalu berdo'a untuknya seperti mengucapkan: "Ya Allah ampunilah dia, kasihanilah dia, jagalah dia dari siksa neraka, masukkanlah dia kedalam surga dan yang semisalnya. Akan tetapi jika ia mendatangi kuburan dan berdo'a untuk dirinya sendiri maka termasuk kategori bid'ah karena mengkhususkan atau menentukan tempat dilakukannya do'a, yang ia termasuk ibadah (Syariat).
2. Membaca Al Qur'an di kuburan dan beristighatsah kepada penghuninya
Membaca Al Qur'an di atas kubur adalah bid'ah dan tidak pernah disyariatkan. Dan jika kepergiannya ke kuburan (baik kuburan umum atau kuburan orang yang dianggap sebagai wali) untuk beristighatsah kepada mereka, minta tolong dan minta kemudahan maka ini sudah masuk kategori syirik besar, jika seseorang hendak beristighatsah, berdo'a dan minta dilepaskan dari kesusahan maka yang bisa menjawab dan memenuhi semua itu hanyalah Allah Subhannahu wa Ta'ala .

V. TENTANG BEROBAT DENGAN AL QUR'AN
1. Ruqyah (jampi-jampi) dengan Al Qur'an
Ruqyah atau jampi-jampi baik dengan Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan doa-doa selagi tidak mengandung unsur kesyirikan dan kalimatnya bisa difahami maknanya tidak apa-apa dan dibolehkan. Selain itu harus diyakini bahwa itu hanya sebab yang sama sekali tidak berpengaruh tanpa takdir dan izin Allah. Dari Auf bin Malik, Nabi bersabda:
"Tidak apa-apa dengan ruqyah selagi tidak mengandung unsur syirik." (HR. Muslim)
2. Menggantungkan ayat Al Qur'an di leher/anggota badan lainya (sebagai jimat)
Hal ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut:
• Keumuman hadits tentang larangan menggantungkan jimat dengan tanpa mengecualikan ayat Al Qur'an.
• Untuk preventif (penjagaan), karena kalau jimat dari ayat Al Qur'an bisa dipakai ada kemungkinan merembet ke yang lainya.
• Tidak terlepasnya manusia dari aktivitas biologis, seperti buang air, mandi, hubungan suami isteri dan sebagainya, dimana disitu tidak selayaknya membawa tulisan ayat Al Qur'an.

Adapun jimat selain ayat Al Qur'an maka larangannya lebih keras lagi, karena termasuk syirik, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam :
"Barangsiapa mengagantungkan tamimah (azimat) maka ia telah syirik." (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya 4/156)
3. Berobat dengan air yang dicelupkan di dalamnya tulisan ayat Al Qur'an
Sebagian ahli ilmu membolehkan hal ini dengan mengibaratkan sebagaimana ruqyah. Namun yang lebih benar bukan begitu, karena yang diajarkan oleh Nabi n adalah dengan membacanya secara langsung lalu meniupkannya ke anggota badan yang sakit, atau meniupkannya ke air, lalu meminumkan air tersebut kepada yang sakit. Hendaknya kita mengikuti cara-cara yang telah dianjurkan ini karena lebih utama dan lebih selamat. Walahu 'alam.
4. Mengambil berkah dari air yang dicelupkan didalamnya ayat-ayat Al Qur'an
Berkah disini bisa untuk keluasan harta kepandaian atau ilmu, kesehatan dan sebagainya.Dalam kasus ini tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan Nabi n pernah memberi izin atau rukhsah untuk melakukannya. Dan untuk keperluan diatas sudah ada doa-doa yang dianjurkan, jadi kalau seseorang sudah merasa cukup dengan apa yang disyariatkan, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menjadikan kecukupan dan tidak perlu cari-cari yang lain yang tidak diketahui secara pasti sumber dan kebenarannya.

(Sumber, Bida'un Naas fil Qur'an, dari fatwa-fatwa Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Jibrin, Syaikh Al-Fauzan dan Lajnah Daimah) (Dept. Ilmiah)

Biarkan Jenggot Anda Tumbuh

Dalil-Dalil Wajibnya Memelihara Jenggot Dan Memangkas Kumis
Segala puji bagi Allah saja, shalawat dan salam tetap tercurah pada Nabi Muhammad b
yang tidak ada Nabi lagi setelahnya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya dan juga selain mereka :
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : خَالِفُوا الْمُشْرِكِيْنَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا
الشَّوَارِبَ. ﴿ البخاري ﴾
Dari Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah b :
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu banyakkanlah jenggotmu dan
pangkaslah kumismu.”
وَلَهُمَا عَنْهُ أَيْضًا : أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوْا اللِّحَى. وَفِيْ رِوَايَةٍ : انْهَكُوا الشَّوَارِبَ
وَأَعْفُوا اللِّحَى.
Diriwayatkan juga oleh keduanya dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma :
“Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain :
“Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.”
اللِّحَى ﴾ ﴿ adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.
Berkata Ibnu Hajar :
وفروا ﴾ ﴿ dengan tasydid di fak-nya : ﴾ ﴿ وَفِّرُوْا
Berasal dari ﴾ التّوْفِيْرُ ﴿ : Yaitu membiarkan, maksudnya biarkanlah banyak.
Dan ﴾ إِعْفَاءُ اللِّحَى ﴿ : Yaitu biarkanlah sebagaimana adanya.
Adapun perintah untuk menyelisihi orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh hadits
dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu :
“Sesungguhnya orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan
mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu biarkanlah jenggot
kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad
yang hasan)
Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Muslim :
Rasulullah b bersabda : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang Majusi, karena
sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan
kumisnya.”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata :
Rasulullah b telah menyebutkan tentang orang-orang Majusi. Beliau bersabda :
“Sesungguhnya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot maka bedakanlah
kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah b) menampakkan pemotongan kumisnya
kepadaku (Ibnu Umar).
Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah b : “Termasuk
fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh. Sesungguhnya orangorang
Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan
mereka, yaitu pangkaslah kumis kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”
Di dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi b sesungguhnya
beliau bersabda :
أُمِرْنَا بِإِحْفَاءِ الشّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.
“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”
Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, bersabda Rasulullah b
:
جَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى.
“Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian.”
Makna ﴾ جَزُّوْا ﴿ dan ﴾ قَصُّوْا ﴿ adalah potonglah.
Dan makna ﴾ أَرْخُوا ﴿ dan ﴾ طَيّلُوْا ﴿ adalah panjangkanlah atau diartikan juga,
biarkanlah.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadh ﴾ قَصُّوْا = pangkaslah ﴿, maka :
Tidak meniadakan ﴾ اْلإِحْفَاءُ = mencukur ﴿.
Karena sesungguhnya riwayat ﴾ اْلإِحْفَاءُ ﴿ ada di dalam Bukhari-Muslim dan sama
maksudnya.
Dalam suatu riwayat :
أَوْفُوْا اللِّحَى
“Biarkanlah/banyakkanlah jenggot kalian.”
Maksudnya : “Biarkanlah jenggot kalian penuh.”

Hukum Memotong, Mencabut, Atau Mencukur Jengot
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Diharamkan mencukur jenggot.”
Berkata Al Qurthubi rahimahullah : “Tidak boleh memotong, mencabut, dan mencukurnya.”
Abu Muhammad Ibnu Hazm menceritakan bahwa menurut ijma’, menggunting kumis dan
membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu dengan dalil hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu
:
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot
kalian tumbuh.”
Dan dengan hadits Zaid bin Arqam secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah b) :
“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.”
(Dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dengan dalil yang lain, Tirmidzi berkata di dalam Al Furu’ : “Bentuk kalimat ini menurut
shahabat kami (yang sepakat dengan Tirmidzi) menunjukkan keharaman.” Dan berkata
pula dalam Al Iqna’ : “Haram mencukur jenggot.”
Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma, Nabi b bersabda :
“Barangsiapa membikin seperti rambut maka tidak ada baginya di sisi Allah bagian.”
Berkata Zamakhsyari : “Maknanya membikin rambut seperti yang asli (rambut palsu, ed.),
yaitu dengan mencabutnya atau mencukurnya dari kedua pipi atau merubahnya dengan
menghitamkan.”
Berkata pula Zamakhsyari dalam An Nihayah :
مَثّلَ بِالشّعْرِ ﴾“ ﴿ : Yaitu mencukurnya dari kedua pipi dan dikatakan mencabutnya atau
merubahnya dengan hitam.

Dikutip dari:
Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net

Batas Panjang Pakaian Laki-Laki

Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalalkan pakaian sebagai penutup aurat, juga sebagai perhiasan, tetapi penghalalan tersebut mempunyai batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilanggar. Berlebihan dalam memanjangkan pakaian bagi laki-laki tidak dibenarkan dalam Islam. Maka kita sebagai orang yang mengaku muslim tidak selayaknya sengaja mengulurkan lengan baju atau pakaian bawah kita dari batas yang ditentukan. Unsur kesengajaan inilah yang dilarang, baik disertai kesombongan (kebanggaan atas mode) ataupun tidak, karena Rasulullah n melarangnya tetapi tentunya tidak sama antara dosa isbal (memanjangkan) dengan disertai kesombongan (khuyalaa) dan yang tidak disertai kesombongan.

Inilah sabda-sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menegaskan masalah isbal:
• Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah tidak melihat (dengan disertai rahmat) di hari kiamat kepada orang yang menyeret kain sarungnya dengan sombong." (HR.Bukhari-Muslim)
• Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menyeret (mengulurkan) pakaian dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya (memperhatikan) di hari kiamat"(Shahih riwayat Abu Daud & At-Tirmidzi) Ungkapan (pakaian) mencakup semua jenisnya, baik kemeja, sarung, celana panjang, atau jenis lainnya. (Subulus Salam 4 : 159)
• Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Isbal itu ada pada sarung, gamis, dan sorban. Barangsiapa menyeret sebagian darinya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." (Shahih riwayat Abu Daud & An-Nasai)
Ketiga hadits di atas memakai taqyid (batasan) dengan kesombongan, tetapi ada juga larangan isbal meskipun tidak disertai kesombongan, (bahkan Isbal itu sendiri sebenarnya sudah mengandung unsur kesombongan (kebanggaan) baik bermaksud sombong atau tidak, apalagi kalau sudah mengikuti trend (mode). Bisa kita simak hadits-hadits berikut ini:
• Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tiga kelompok orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, dan tidak akan dilihat oleh-Nya, juga tidak akan di bersihkan dan bagi mereka adzab yang pedih." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulang-ulang perkataan itu tiga kali. Abu Dzar berkata, "Sungguh celaka dan rugi mereka itu! siapa gerangan mereka itu, wahai Rasulullah?" Rasul bersabda: "(1)Al-Musbil (orang yang memanjangkan pakaiannya sampai menutupi mata kaki). (2)Al Mannan (orang yang suka memberi sesuatu, tapi sering mengungkit-ungkit pemberian-nya). (3)Dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah bohong." (HR. Muslim)
• Abu Hurairah radhiyallah 'anhu berkata: Tatkala seorang laki-laki shalat dengan meng-isbalkan kain sarungnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Pergi berwudhulah kamu!" Diapun pergi berwudhu, kemudian datang, Rasul berkata: "Pergilah kamu berwudhu!" Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau menyuruhnya berwudhu kemudian engkau membiarkanya?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:"Sesungughnya dia itu shalat dengan mengisbalkan kain sarungnya dan sesungguhnya Allah tidak menerima shalat laki-laki yang Isbal."(Shahih Riwayat Abu Daud)
Jika seorang berkata : "Saya Isbal tanpa kesombongan". Kita katakan bahwa Isbal itu sendiri meski tanpa niat sombong merupakan kesombongan, karena mode itu penuh dengan unsur ini, apalagi jika mengikuti trend mode orang kafir.
• Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Dan hindarilah mengisbalkan kain, karena hal itu termasuk kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak suka kesombongan." (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud & At-Tirmidzi)
Anda mengatakan isbal itu tidak haram jika tanpa kesombogan, tapi Rasulullah mengatakan bahwa isbal itu sendiri merupakan madzhar (fenomena) kesombongan, meskipun hati kita tidak bermaksud begitu. Mana yang lebih kuat, pendapat anda atau perkataan Rasul? Sedang Rasulullah berbicara berdasar wahyu Allah Ta'ala.
• Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan : "Kain yang di bawah kedua mata kaki tempatnya di neraka" (Shahih Riwayat Abu Daud)
Jadi, panjang maksimal pakaian (bawah) laki-laki muslim adalah sampai mata kaki saja, tidak boleh lebih dari itu.
• Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kain laki-laki muslim itu (batasnya) sampai setengah betis dan tidak ada dosa dalam (jarak pemakaian) antara betis dan kedua mata kaki." (HR. Abu Daud dengan Sanad yang shahih)
Ada sebagian orang yang suka isbal dengan berdalil pada kisah Abu Bakar, beliau berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya sarung saya mengulur (dengan sendiri-nya) keculai kalau saya terus memper-hatikan (dengan) memeganginya." "Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, "Sesungguhnya engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan disertai kesombongan." (HR. Al Bukhari)

Berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan perbuatannya adalah keliru, dia entah lupa atau tidak tahu makna . Makna adalah mengulur dengan sendirinya. Beliau (Abu Bakar) tidak sengaja mengulurkan kain sarungnya, ini tentu saja berbeda dengan yang membuat atau memesan pakaian yang melebihi mata kaki. Janganlah kita mencari alasan-alasan dengan meninggalkan dalil-dalil yang jelas dan shahih.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala melihat orang yang isbal untuk menutupi aib kakinya, beliau langsung memegang ujung kain bajunya serta bertawadhu' karena Allah sambil berkata: "Hamba-Mu …" lalu berkata kepada orang yang mengulurkan kain karena untuk menutup cacat kakinya itu: "Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang isbal." (HR. At-Thabrani, para perawinya tsiqat).

Suatu hari Rasul melihat Ubaid Ibn Khalid mengenakan kain panjang dengan melebihi kedua mata kakinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung mengatakan kepadanya," Apakah kamu tidak mendapatkan contoh dalam diri saya?" (HR. At Tirmidzi & An-Nasa'i)

Jika kita mencintai Rasul, kita harus mengikuti petunjuknya dan jangan mencari-cari alasan yang tidak syari'i.
Ingatlah, seorang sahabat yang memanjangkan pakaian bawahanya, ketika dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim Al-Asadiy, seandainya tidak terlalu panjang rambut dan tidak isbal kainnya." Maka tatkala perkataan itu sampai kepada Khuraim, dia langsung memotong rambut (depannya) dan mengangkat kainnya. (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan, keculai Qois Ibn Bisyr yang masih diperselisihkan, tapi Imam Muslim telah meriwayatkan hadits lewat beliau)

Itulah kepatuhan Khuraim, dia langsung menanggapi ungkapan Rasul dengan pelaksanaan tanpa mengata-kan "Saya Isbal bukan karena sombong"…Inilah ciri muslim sejati.

Akhirnya, marilah kita renungkan……
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling taqwa dan yang paling jauh dari kesombongan. Beliau orang paling tawadhu', tapi beliau menaikkan atau memendekkan pakaiannya di atas mata kakinya bahkan sampai separuh betis ("Bahwasanya pakaian beliau sampai setengah betis." HR Ahmad, At-Tirmidzi dalam Asy-syama'il dan selain keduanya, hadits ini shahih).
Nah, bagaimana dengan kita? ( Aman Rahman)
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."
(QS. 24:63)
"Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. 33:71)

Tak Mau Berjilbab, Alasan dan Jawaban

Seorang muslimah, diperintahkan untuk menutup auratnya ketika keluar rumah, yaitu dengan mengenakan pakaian syar'i yang dikenal dengan jilbab atau hijab. Namun dalam kenyataan masih banyak di antara para muslimah yang belum mau memakainya. Ada yang dilarang oleh orang tuanya, ada yang beralasan belum waktunya atau nanti setelah pergi haji dan segudang alasan yang lain. Nah apa jawaban untuk mereka?
1. Saya Belum Bisa Menerima Hijab
Untuk ukhti yang belum bisa menerima hijab maka perlu kita tanyakan, "Bukankah ukhti sungguh-sungguh dan yakin dalam memeluk Islam, dan bukankah ukhti telah mengucapkan la ilaha illallah Muhammad rasulullah dengan yakin? Yang berarti menerima apa saja yang diperintahkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasulullah? Jika ya maka sesungguhnya hijab adalah salah satu syari'at Islam yang harus dilaksanakan oleh para muslimah. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memerintah kan para mukminah untuk memakai hijab dan demikian pula Rassulullah Shalallaahu alaihi wasalam memerintahkan itu. Jika anda beriman kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, maka anda tentu akan dengan senang hati memakai hijab itu.
2. Saya Menerima Hijab, Namun Orang Tua Melarang.
Kalau saya tidak taat kepada orang tua, saya bisa masuk neraka. Kepada saudariku kita beritahukan bahwa memang benar orang tua memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, dan kita diperintahkan untuk berbakti kepada mereka. Namun taat kepada orang tua dibolehkan dalam hal yang tidak mengandung maksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya," (QS. Luqman:15)
Meskipun demikian kita tetap harus berbuat baik kepada kedua orang tua kita selama di dunia ini.
Inti permasalahannya adalah, bagaimana saudari taat kepada orang tua namun bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah yang menciptakan anda, memberi nikmat, rizki, menghidupkan dan juga yang menciptakan kedua orang tua saudari?

3. Saya Tidak Punya Uang untuk Membeli Jilbab
Ada dua kemungkinan wanita muslimah yang mengucapkan seperti ini, yaitu mungkin dia berdusta dan mungkin juga dia jujur. Jika dalam kesehariannya dia mampu membeli berbagai macam pakaian dengan model yang beraneka ragam, mampu membeli perlengkapan ini dan itu, maka berarti dia telah bohong. Dia sebenarnya memang tidak berniat untuk membeli pakaian yang sesuai tuntunan syari'at. Padahal pakaian syar،¦i biasanya tidak semahal pakaian-pakaian model baru yang bertabarruj.
Maka apakah saudari tidak memilih pakaian yang seharusnya dikenakan oleh seorang wanita muslimah. Apakah anda tidak memilih sesuatu yang dapat menyelamatkan anda dari adzab Allah Subhannahu wa Ta'ala dan kemurkaan-Nya? Ketahuilah pula bahwa kemuliaan seseorang bukan pada model pakaiannya, namun pada takwanya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dia telah berfirman, artinya,
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu." (QS. al-Hujurat:13)
Adapun jika memang anda seorang yang jujur, jika benar-benar saudari berniat untuk memakai jilbab maka Allah Subhannahu wa Ta'ala akan memberikan jalan keluar. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah mengatakan, artinya,
"Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (QS. ath-Thalaq 2-3)
Kesimpulannya adalah bahwa untuk mencapai keridhaan Allah dan untuk mendapatkan surga, maka segala sesuatu akan menjadi terasa ringan dan mudah.
4. Cuaca Sangat Panas
Jika saudari beralasan bahwa cuaca sangat panas, kalau memakai jilbab rasanya gerah, maka saudari hendaklah selalu mengingat firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , artinya,
"Katakanlah, "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jikalau mereka mengetahui."(QS. 9:81)
Apakah anda menginginkan sesuatu yang lebih panas lagi daripada panasnya dunia ini, dan bagaimana saudari menyejajarkan antara panasnya dunia dengan panasnya neraka? Yang dikatakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala , artinya,
"Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah." (QS. 78:24-25)
Wahai saudariku, ketahuilah bahwa surga itu diliputi dengan berbagai kesusahan dan segala hal yang dibenci nafsu, sedangkan neraka dihiasi dengan segala yang disenangi hawa nafsu.

5. Khawatir Nanti Aku Lepas Jilbab Lagi
Ada seorang muslimah yang mengatakan, "Kalau aku pakai jilbab, aku khawatir nanti suatu saat melepasnya lagi." Saudariku, kalau seseorang berpikiran seperti anda, maka bisa-bisa dia meninggalkan seluruh atau sebagian ajaran agama ini. Bisa-bisa dia tidak mau shalat, tidak mau berpuasa karena khawatir nanti tidak bisa terus melakukannya.
Itu semua tidak lain merupakan godaan dan bisikan setan, maka hendaklah suadari mencari sebab-sebab yang dapat menjadikan anda selalu beristiqamah. Di antaranya dengan banyak berdo'a agar diberikan ketetapan hati di atas agama, bersabar dan melakukan shalat dengan khusyu'. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya,
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'." (QS. 2:45)
Jika saudari telah memegang teguh sebab-sebab hidayah dan telah merasakan manisnya iman maka saudari pasti tidak akan meninggalkan perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala , karena dengan melaksanakan itu anda akan merasa tentram dan nikmat.
6. Aku Takut Tidak Ada Yang Menikahiku
Saudariku! Sesungguhnya laki-laki yang mencari istri seorang wanita yang bertabarruj, membuka aurat dan senang melakukan berbagai kemaksiatan maka dia adalah laki-laki yang tidak memiliki rasa cemburu. Dia tidak cemburu terhadap yang diharamkan Allah Subhannahu wa Ta'ala, tidak cemburu terhadapmu, dan tidak akan membantumu dalam ketaatan, menuju surga serta menyelamatkanmu dari neraka.
Jadilah engkau wanita yang baik, insya Allah Subhannahu wa Ta'ala engkau mendapatkan suami yang baik pula. Engkau lihat berapa banyak wanita yang tidak berhijab, namun dia tidak menikah, dan engkau lihat berapa banyak wanita berjilbab yang telah menjadi seorang istri.
7. Kita Harus Bersyukur
"Oleh karena kecantikan merupakan nikmat dari Allah Subhannahu wa Ta'ala, maka kita harus bersyukur kepada-Nya, dengan memperlihatkan keindahan tubuh, rambut dan kecantikan kita." Mungkin ada di antara muslimah yang beralasan demikian.
Suadariku! Itu bukanlah bersyukur, karena bersyukur kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala bukan dengan cara melakukan kemaksiatan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka." (QS. an-Nur:31)
Dalam firman-Nya yang lain,
"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS.al-Ahzab:59)
Nikmat terbesar yang Allah Subhannahu wa Ta'ala berikan kepada kita adalah iman dan Islam, jika anda ingin bersyukur kepada Allah maka perlihatkanlah kesyukuran itu dengan sesuatu yang disenangi dan diperintahkan Allah Subhannahu wa Ta'ala, di antaranya adalah dengan mememakai hijab atau jilbab. Inilah syukur yang sebenarnya.
8.Belum Mendapatkan Hidayah
Ada sebagian muslimah yang mengatakan, "Saya tahu bahwa jilbab itu wajib, namun saya belum mendapatkan hidayah untuk memakainya." Kepada saudariku yang yang beralasan demikian kami katakan, "Bahwa hidayah itu ada sebabnya sebagaimana sakit itu akan sembuh dengan sebab pula. Orang akan kenyang juga dengan sebab, yakni makan. Kalau anda setiap hari meminta kepada Allah agar ditunjukkan ke jalan yang lurus, maka anda harus berusaha meraihnya.Di antaranya, hendaklah anda bergaul dengan wanita yang baik-baik, ini merupakan sarana yang sangat efektif, sehingga hidayah dapat anda raih dan terus-menerus terlimpah kepada ukhti.
9.Aku Takut Dikira Golongan Sesat
Ketahuilah saudariku! Bahwa dalam hidup ini hanya ada dua kelompok, hizbullah (kelompok Allah) dan hizbusy syaithan (kelompok syetan). Golongan Allah adalah mereka yang senantiasa menolong agama Allah Subhannahu wa Ta'ala, melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Sedangkan golongan setan sebaliknya selalu bermaksiat kepada Allah dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan ketika ukhti melakukan ketaatan, salah satunya adalah memakai hijab maka berarti ukhti telah menjadi golongan Allah ƒ¹, bukan kelompok sesat.
Sebaliknya mereka yang mengumbar aurat, bertabarruj, berpakaian mini dan yang semisal itu, merekalah yang sesat. Mereka telah terbius godaan syetan atau menjadi pengekor orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Maka berbahagialah anda sebagai kelompok Allah Subhannahu wa Ta'ala yang pasti menang.
Jilbab atau hijab adalah bentuk ibadah yang mulia, jangan sejajarkan itu dengan ocehan manusia rendahan. Dia disyari'atkan oleh Penciptamu, kalau engkau taat kepada manusia dalam rangka bermaksiat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala maka sungguh engkau akan binasa dan merugi. Mengapa engkau mau diperbudak oleh mereka dan meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan dan mematikanmu?
Sumber: Buletin Darul Qasim, " Wa man Yamna'uki minal hijab", Dr Huwaidan Ismail

Kesalahan-Kesalahan Dalam Hal Pakaian Wanita & Laki-Laki

Kesalahan-kesalahan Dalam Hal Pakaian Wanita

1. Mengenakan pakaian yang sempit, transparan (tembus pandang) dan yang membuat orang tertarik untuk memandang.

Ini jelas haram. Setiap muslimah dilarang memakai pakaian yang sempit dan memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, juga pakaian tipis yang menampakkan warna kulit dan pakaian lain secara umum yang membuat orang terutama laki-laki tertarik untuk memandangnya. Ironinya, kenyataan ini menimpa mayoritas kaum muslimah. Allah berfirman:
"Dan janganlah wanita-wanita muslimah menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada para suami mereka." (An-Nur: 31).
"Dan janganlah mereka (wanita-wanita muslimah) memukulkan kaki-kaki mereka untuk diketahui apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka." (An-Nur: 31).
Jika memperdengarkan suara perhiasan seperti gelang kaki atau perhiasan sejenisnya yang tersembunyi tidak dibolehkan, maka bagaimana pula dengan perhiasan yang tampak nyata, lebih dari itu bagaimana halnya dengan menampakkan lengan tangan, dada, betis bahkan paha?

2. Mengenakan pakaian yang terbuka dari bawah, atau tidak menutupi betis, dua telapak kaki, punggung, mengenakan celana pendek juga pakaian-pakaian yang menampakkan kecantikan wanita di hadapan laki-laki bukan mahramnya.

Hal ini tidak boleh dilakukan oleh wanita di hadapan laki-laki bukan mahramnya, baik di dalam maupun di luar rumah. Tetapi ironinya, pakaian jenis inilah yang membudaya di kalangan yang mengaku dirinya muslimah. Para wanita itu tidak menyadari bahwa pakaiannya tersebut merupakan jenis kemungkaran yang besar, bahkan ia salah satu penyebab terbesar bagi timbulnya berbagai tindak perkosaan dan kriminalitas. Yang lebih mengherankan, seakan jenis pakaian ini terutama di kota sudah demikian diterima masyarakat, sehingga jarang bahkan tak terdengar upaya mengingatkan kaum muslimah dari pakaiannya yang jauh dari Islam tersebut, baik lewat media massa maupun elektronik. Bahkan yang digelar di berbagai stasiun telivisi adalah pakaian-pakaian seronok dan telanjang, dan itu yang dilahap oleh kaum muslimah setiap hari sebagai panutan.

Sesungguhnya munculnya keadaan ini telah pernah disinyalir oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dua (jenis manusia) dari ahli Neraka yang aku belum melihatnya sekarang yaitu; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan menggoyang-goyangkan pundaknya dan berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk onta yang condong. Mereka tidak akan masuk Surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi Surga telah tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian." (HR. Muslim, shahih).

3. Mengenakan pakaian yang berlengan pendek, termasuk di dalamnya mengenakan kaos sehingga menampakkan kedua lengan tangan.

Ini jelas haram karena tidak menutup aurat. Tetapi betapa banyak wanita muslimah yang tidak memperhatikan masalah ini, sehingga mereka mengenakan pakaian tersebut di jalan-jalan, di pasar dan di tempat-tempat umum. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar setan membuatnya indah (dalam pandangan laki-laki)." (HR. At-Tirmidzi, hasan shahih). Yakni setan membuat segenap mata memandang kepada si wanita sehingga menimbulkan fitnah.

4. Mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki, baik dalam bentuk maupun ciri-cirinya.

Ini adalah dilarang. Wanita memiliki pakaian khusus dengan segenap ciri-cirinya, dan laki-laki juga memiliki pakaian yang khusus, yang membedakannya dari pakaian wanita. Dan wanita tidak diperbolehkan menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan dan cara berjalan. Dalam hadits shahih disebutkan:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." (HR. Al-Bukhari, shahih).
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki." (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim).

5. Mengenakan konde (sanggul) rambut, karena ia termasuk menyambung rambut.

Ketika acara walimah pernikahan atau acara-acara pesta lainnya banyak wanita muslimah yang berdandan dengan sanggul rambut. Ini adalah dilarang. Asma' binti Abi Bakar berkata, seorang wanita datang kepada Nabi `. Wanita itu berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai anak perempuan yang pernah terserang campak sehingga rambutnya rontok, kini ia mau menikah, bolehkah aku menyambung (rambut)nya? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab:
"Allah melaknat perempuan yang menyambung (rambut) dan yang meminta disambungkan rambutnya." (HR. Muslim).
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang wanita menyambung (rambut) kepalanya dengan sesuatu apapun." (HR. Muslim).

Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan wig (rambut palsu) yang biasanya dipasangkan oleh perias-perias yang salon-salon mereka penuh dihiasi dengan berbagai kemungkaran. Kebanyakan orang-orang yang melakukan hal ini adalah kalangan artis, bintang film, pemain drama, teater juga wanita-wanita yang kurang percaya diri dan ingin tampil lebih. Mudah-mudahan Allah menunjuki mereka dan kita semua.

6. Mengecat kuku sehingga menghalangi air mengenai kulit ketika berwudhu.

Setiap kulit anggota wudhu tidak boleh terhalang oleh air, termasuk di dalamnya kuku. Mengenakan cat kuku menjadikan air terhalang mengenai kuku, sehingga wudhu menjadi tidak sah. Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian hendak mendirikan shalat maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu hingga ke siku, dan usaplah (rambut) kepalamu dan kakimu hingga ke mata kaki." (Al-Maidah: 6).
Biasanya yang mengecat kuku adalah para wanita, tetapi larangan ini berlaku umum, baik laki-laki maupun wanita.

7. Memakai kuku palsu atau memanjangkan kuku tangan dan kaki.

Ini adalah menyalahi fithrah, dan larangan ini berlaku umum, baik bagi laki-laki maupun wanita. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ada lima fithrah; yaitu memotong rambut kemaluan, khitan, menggunting kumis, mencabut rambut ketiak dan memotong kuku." (Muttafaq alaih).
Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata:
"Kami diberi waktu dalam menggunting kumis, memo-tong kuku, mencabut bulu ketiak dan rambut kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam." (HR. Muslim).

Meskipun bagi sementara orang, memanjangkan kuku ada manfaatnya, misalnya untuk keperluan-keperluan khusus, tetapi ia tidak menjadikan hukumnya berubah menjadi boleh. Karena itu setiap muslim harus menjaga agar kukunya tidak sampai panjang, segera memotongnya jika telah tumbuh. Adapun di antara hikmahnya adalah untuk menjaga kebersihan, sehingga ia merupakan salah satu tindakan penjagaan.

8. Tidak memakai kerudung (penutup kepala).

Malapetaka besar yang dipropagandakan oleh kaum sekuler dan murid-murid orientalis adalah pendapat bahwa kerudung (penutup kepala) hanyalah kebudayaan Arab belaka, tidak merupakan perintah syari'at. Oleh mereka yang terbiasa tidak memakai kerudung, pendapat ini merupakan legitimasi dan pembenaran terhadap perbuatan mungkar mereka. Sedangkan mereka yang masih labil dan perlu pembinaan, mereka menjadi bimbang, tetapi biasanya mereka lebih mudah mengikuti trend yang ada. La haula wala quwwata illaa billah. Tidak seorang ulama salaf pun yang berpendapat kerudung (penutup kepala) bukan perintah agama. Pendapat aneh ini hanya terjadi di kalangan cendekiawan muslim yang jauh dari tuntunan salaf. Dan dalil masalah ini sebagaimana disebutkan dalam pembahasan-pembahasan terdahulu.

9. Tidak memakai kaos kaki, sehingga tampak telapak kakinya.

Bagi sebagian muslimah yang ta'at memakai pakaian muslimah pun, terkadang masalah ini dianggap sepele. Telapak kaki termasuk aurat, karena itu ia harus ditutupi, membiarkannya kelihatan berarti kemungkaran dan dosa. Dalil masalah ini sebagaimana disebutkan dalam masalah-masalah terdahulu.

Wanita pada dasarnya sangat senang dipuji, baik kecantikannya, kelembutannya dan sifat-sifat indahnya yang lain. Tetapi banyak yang terperosok jauh, ingin dipuji kecantikannya, meski dengan resiko membuka aurat, agar tampak lebih indah mempesona. Ingatlah, wanita adalah sumber fitnah. Dan fitnah terbesar dari wanita adalah soal auratnya. Kaum muslimah yang menutup aurat secara syar'i berarti telah memberikan sumbangan terbesar bagi tertutupnya sumber fitnah. Karena itu, berhati-hatilah wahai kaum muslimah dalam hal berpakaian! (ain).

Kesalahan-kesalahan Dalam Hal Pakaian Laki-Laki

1. Isbal.

Isbal yaitu menurunkan atau memanjang-kan pakaian hingga di bawah mata kaki. Larangan isbal bersifat umum untuk seluruh jenis pakaian, baik celana panjang, sarung, gamis, mantel atau pakaian lainnya. Ironinya, larangan ini dianggap remeh oleh kebanyakan umat Islam, padahal dalam pandangan Allah ia merupakan masalah besar. Rasulullah ` bersabda:
"Kain yang memanjang hingga di bawah mata kaki tempatnya di Neraka." (HR. Al-Bukhari, shahih).
Ancaman bagi musbil (orang yang melakukan isbal ) dengan Neraka tersebut sifatnya adalah muthlak dan umum, baik dengan maksud takabur atau tidak. Jika isbal tersebut dilakukan dengan maksud takabur maka ancamannya lebih besar. Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam bersabda:
"Pada hari Kiamat, Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret bajunya (musbil, ketika di dunia) karena takabur." (Muttafaq Alaih, shahih).

Dan secara tegas Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam melarang kita kaum laki-laki melakukan isbal. Beliau Shallallahu 'alaihi wasalam bersabda:
"Dan tinggikanlah kainmu hingga separuh betis, jika engkau enggan maka hingga mata kaki. Dan jauhilah olehmu memanjangkan kain di bawah mata kaki, karena ia termasuk kesombongan, dan sungguh Allah tidak menyukai kesombongan." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dengan sanad shahih , At-Tirmidzi berkata, hadits ini hasan shahih).

Hadits di atas memberi kata putus terhadap orang yang beralasan bahwa memanjangkan kain hingga di bawah mata kaki dibolehkan asal tidak karena sombong. Ini adalah alasan batil dan dicari-cari untuk pembenaran kebiasaan mereka yang menyalahi sunnah. Hadits di atas dengan tegas memasukkan perbuatan isbal sebagai sikap sombong, apatah lagi jika memang isbal-nya itu diniati untuk sombong. Maka pantaslah ancamannya sangat berat. Dan fakta menunjukkan, laki-laki yang musbil itu, memanglah pada umumnya untuk bergaya yang di dalamnya ada unsur bangga diri dan sombong. Buktinya kebanyakan mereka menganggap kampungan, kolot dan udik serta melecehkan saudara-saudara mereka yang mengenakan pakaian di atas mata kaki, padahal itulah yang diperintahkan syari'at.

Adapun kaum wanita, mereka diwajibkan menutupi tubuhnya hingga di bawah mata kaki, karena ia termasuk aurat. Namun pada umumnya, yang dipraktikkan umat Islam di zaman ini adalah sebaliknya. Laki-laki memakai pakaian hingga di bawah mata kaki, sedang wanita pakaiannya jauh di atas mata kaki. Na'udzubillah, dan kepada Allah kita memohon keselamatan.

2. Mengenakan pakaian tipis dan ketat.

Dalam kaca mata syari'at, jika bahan-bahan pakaian itu sangat tipis sehingga menampakkan aurat, lekuk-lekuk tubuh atau sejenisnya maka pakaian itu tidak boleh dikenakan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurun-kan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan." (Al-A'raf: 26).

Tetapi jika pakaian itu tidak menampakkan aurat dan lekuk-lekuk tubuh maka hal itu tidak mengapa. Namun jika pakaian itu menyerupai dan menunjukkan identitas pakaian orang kafir maka ia tidak dibolehkan.

3. Mengenakan pakaian yang menyerupai pakaian wanita.

Di antara fithrah yang disyari'atkan Allah kepada hambaNya yaitu agar laki-laki menjaga sifat kelelakiannya dan wanita menjaga sifat kewanitaannya seperti yang telah diciptakan Allah. Jika hal itu dilanggar, maka yang terjadi adalah kerusakan tatanan hidup di masyarakat. Dalam hadits shahih disebutkan:
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." (HR. Al-Bukhari).

Sebagian ulama' berkata, 'Yang dimaksud menyerupai dalam hadits tersebut adalah dalam hal pakaian, berdandan, sikap, gerak-gerik dan sejenisnya, bukan dalam berbuat kebaikan.' Karena itu, termasuk dalam larangan ini adalah larangan menguncir rambut, memakai anting-anting, kalung, gelang kaki dan sejenisnya bagi laki-laki, sebab hal-hal tersebut adalah kekhususan bagi wanita. Rasulullah ` bersabda:
"Allah melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki." (HR. Abu Daud, Shahihul Jami' , 5071) .

4. Mengenakan pakaian modis yang sedang nge-trend.

Saat ini sebagian umat Islam, terutama kaum mudanya sering tergila-gila dengan mode pakaian yang sedang in (nge-trend ) atau pakaian yang dikenakan oleh para bintang dan idola mereka. Seperti pakaian bergambar penyanyi, kelompok-kelompok musik, botol dan cawan arak, gambar-gambar makhluk hidup, salib atau lambang-lambang club-club dan organisasi-organisasi non Islam, juga slogan-slogan kotor yang tidak lagi memperhitungkan kehormatan dan kebersihan diri, yang biasanya ditulis di punggung pakaian atau kaos dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa asing.

Pada umumnya para pemakai pakaian-pakaian tersebut merasa bangga dengan pakaiannya, bahkan dengan maksud untuk memperoleh popularitas karena pakaiannya yang aneh tersebut. Padahal Nabi ` bersabda:
"Barangsiapa mengenakan pakaian (untuk memper-oleh) popularitas di dunia, niscaya Allah mengenakan kepadanya pakaian kehinaan pada hari Kiamat." (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, hasan).

Imam Asy-Syaukani berkata, 'Hadits di atas menunjuk-kan diharamkannya mengenakan pakaian untuk meraih popularitas. Dan larangan tersebut tidak khusus terhadap pakaian untuk popularitas, tetapi termasuk juga pakaian yang menyelisihi pakaian masyarakat pada umumnya (yang bertentangan dengan agama/etika). Jika pakaian itu untuk maksud popularitas, maka tidak ada bedanya antara pakaian yang mahal atau kumal, sesuai dengan yang dikenakan orang pada umumnya atau tidak, sebab pengharaman tersebut berporos pada (niat) popularitas.'

5. Mengenakan pakaian yang tidak menutupi aurat.

Seperti memakai celana pendek atau pakaian olah raga lainnya yang menampakkan paha. Aurat laki-laki adalah dari pusar hingga dua lutut kaki. Karena itu, paha termasuk aurat. Setiap muslim diperintahkan menutup dan menjaga auratnya kecuali di depan isteri atau hamba sahayanya. Ketika Rasulullah ` melihat sahabat Ma'mar tersingkap pahanya, beliau ` bersabda:
"Wahai Ma'mar, tutupilah pahamu, karena paha adalah aurat." (HR. Ahmad).
"Jagalah auratmu kecuali dari isterimu atau hamba sahayamu." (HR. Imam lima kecuali An-Nasa'i dengan sanad hasan).

6. Tidak memperhatikan masalah pakaian ketika masuk masjid.

Sebagian orang yang akan menunaikan shalat berjama'ah tak peduli dengan pakaian yang dikenakannya, bahkan terkadang di luar kepatutan dan kepantasan. Misalnya masuk masjid dengan mengenakan jenis pakaian sebagaimana disebutkan pada poin keempat. Shalat adalah untuk menghadap kepada Allah, karena itu kita harus mengenakan pakaian yang bagus dan indah sebagaimana yang diperintahkan. Allah berfirman:
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid." (Al-A'raf: 31).

Disunnahkan pula agar kita memakai wangi-wangian ketika hendak ke masjid dan menghindari bau-bauan yang tidak sedap. Demikianlah yang dituntunkan dan dipraktikkan baginda Nabi ` dan para sahabatnya yang mulia.

7. Mengenakan pakaian bergambar makhluk bernyawa

Apalagi gambar orang-orang kafir, baik penyanyi, seniman, negarawan atau orang-orang terkenal lainnya. Mengenakan pakaian bergambar makhluk bernyawa adalah haram, baik gambar manusia atau hewan. Nabi Shalaluhu'alaihi Wa salam bersabda:
"Setiap tukang gambar ada di Neraka, Allah mencipta-kan untuknya (dari) setiap gambar yang ia bikin sebuah nyawa, lalu mereka menyiksanya di Neraka Jahannam." (HR. Muslim).
"Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada di dalamnya anjing dan gambar-gambar." (HR. Al-Bukhari).

Adapun gambar orang-orang kafir maka memakai atau menggunakannya madharatnya akan semakin besar, sebab akan mengakibatkan pengagungan terhadap mereka.

8. Laki-laki menggunakan perhiasan emas dan kain sutera.

Saat ini banyak kita jumpai barang-barang perhiasan untuk laki-laki yang terbuat dari emas. Seperti jam tangan, kaca mata, kancing baju, pena, rantai, cincin dan sebagainya. Ada pula yang merupakan hadiah dalam suatu pertandingan, misalnya sepatu emas dan lainnya.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam melihat cincin emas di tangan seorang laki-laki, serta merta beliau mencopot lalu membuangnya, seraya bersabda:
"Salah seorang dari kamu sengaja (pergi) ke bara api, kemudian mengenakannya di tangannya!' Setelah Rasulullah ` pergi, kepada laki-laki itu dikatakan, 'Ambillah cincinmu itu dan manfaatkanlah!' Ia menjawab, 'Demi Allah, selamanya aku tidak akan mengambilnya, karena Rasulullah ` telah membuangnya." (HR. Muslim, 3/1655).

Dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda:
"Dihalalkan emas dan sutera itu untuk kaum wanita dari kaumku dan diharamkan keduanya bagi kaum prianya dari mereka." (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i, shahih). (ain).

Kekeliruan sikap Di Masa Muda

Masih amat banyak para pemuda yang jatuh dalam pergaulan yang salah, senang dengan tindakan brutal dan kekerasan, ugal-ugalan, hura-hura dan bahkan kemaksiatan seperti, minum minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Termasuk tingkat yang mengkhawatirkan adalah meninggalkan kewajiban yang seharusnya dilaku-kan oleh setiap muslim yang telah baligh, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Alasannya sangat sederhana, yakni memang begitulah seharusnya seorang pemuda itu, kalau tidak demikian namanya bukan anak muda.

Kita semuanya tanpa kecuali pasti menyadari, bahwa masing-masing kita mempunyai kesalahan dan pernah berdosa, terlupa serta khilaf. Hanya saja orang yang mendapatkan taufiq dan mau menyadari kekeliruannya pasti akan bersegera untuk bertaubat dan minta ampun kepada Allah. Menyesali perbuatan itu dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi-nya, sebagaimana difirmankan Allah,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS. 3:135-136)

Betapa Maha Besarnya Allah! Seseorang telah melakukan tindak kekejian, menganiaya diri sendiri, kemudian mau bertaubat, menyesal, minta ampunan dan meninggalkan kemaksiatan itu lalu Allah mengampuni dan memberikan untuknya kenikmatan abadi di Surga.Mengalir di bawahnya sungai-sungai, disediakan buah-buahan ranum tak kenal musim, keteduhan dan kedamaian, bidadari yang jelita dan memandang wajah Allah Yang Agung lagi Mulia yang merupakan nikmat paling besar bagi penduduk Surga.

Pangkal Kekeliruan

Berbagai tindakan menyimpang yang dilakukan para pemuda ternyata memiliki muara yang boleh dikatakan sama, yaitu kekeliruan dalam memaha-mi dan menyikapi masa muda. Hampir sebagian besar pemuda memiliki persangkaan dan persepsi, bahwa masa muda adalah masa berkelana, hura-hura, bersenang-senang, main-main, berfoya-foya dan mengabiskan waktu untuk bersuka ria semaunya.

Untuk menimbang dan meman-dang dari sudut syar’i dikatakan belum waktunya dan bukan trendnya. Padahal kenyataannya syari’at berbicara lain, yaitu masa muda adalah masa dimulainya seseorang untuk memikul suatu beban tanggung jawab sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, bahwa ada tiga golongan yang pena diangkat (tidak ditulis dosanya) yang salah satunya adalah seorang anak hingga ia dewasa (menjadi pemuda). Maka bagaimanakah seorang pemuda muslim yang ketika itu catatan keburukan sudah mulai ditulis malah justru memperbanyak keburukannya?

Yang sebenarnya adalah, masa muda merupakan masa dimulainya seseorang memulai menumpuk dan memperbanyak amal kebajikan, masa menghitung dan introspeksi diri, masa penuh semangat dan jiwa membara untuk membangun dan beramal sebanyak-banyaknya. Masa di mana segenap kemampuan dan tenaga dicurahkan serta masa yang penuh dengan kesempatan emas untuk melakukan berbagai ketaatan dan kebaikan.

Bentuk-Bentuk Kesalahan yang Sering Dilakukan Pemuda

1. Meremehkan Kewajiban
Banyak sekali di antara para pemuda yang meremehkan kewajiban-kewajiban yang telah di tetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala , mereka lupa, bahwa Allah menciptakan manusia tidak lain adalah agar beriba-dah kepada-Nya. Allah telah berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan”. (QS. 51:56-57)

Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam hadits qudsi, berfirman,
“Tidaklah hamba-Ku melakukan taqarrub (ibadah) dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Kewajiban paling pokok yang sering dilupakan oleh kebanyakan anak-anak muda adalah shalat (lima waktu) yang merupakan ibadah paling agung setelah syahadatain. Nabi telah menegaskan dalam sabdanya,
“Pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah (dalam hal) meninggalkan shalat.” (HR Muslim).
Dan sabdanya yang lain, “Perjanjian antara kita (muslimin) dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, maka barang siapa meninggalkannya ia telah kafir.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan An-Nasai dishahihkan oleh Al-Albani).
Apabila seseorang telah menyia-nyiakan shalatnya, maka terhadap selain shalat biasanya lebih menyia-nyiakan lagi.

2. Terlalu Menuruti Hawa Nafsu

Yakni dengan tanpa memperhati-kan halal dan haram lagi, yang penting kemauannya terpenuhi. Jika saja ia mau bersungguh-sungguh memegang aturan Islam serta mau berpegang dangan talinya, maka tentu Allah akan menjaganya dari hal-hal yang haram. Kemudian Allah akan memberikan untuknya kesenangan yang halal yang dapat mencukupinya. Namun karena keimanan yang lemah dan rasa malu yang tipis, maka ia malah enggan dengan pemberian Allah tersebut dan lari darinya sehingga melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Maka ia berhak mendapatkan celaan dari Allah dalam firmanNya,
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. 19:59)

3. Menyia-Nyiakan Waktu/Umur.

Hal ini disebabkab karena kitidak-tahuan terhadap hakekat fase masa muda, serta tujuan dari kehidupan. Seandainya para pemuda menyadari, bahwa waktu adalah kehidupannya dan umur adalah segala-galanya, tentu mereka tidak akan membuangnya dengan percuma.
Sebagian salaf berkata,”Wahai anak Adam! kalian adalah hari-hari yang berputar, tatkala lewat satu hari, maka bagian dari dirimu telah hilang.”

Mabuk-Mabukan dan Mengkonsumsi Narkoba

Ini merupakan bala’ yang sangat besar bagi kawula muda, karena dengan terjurumus di dalamnya berarti ia telah menyerahkan jiwanya untuk dikendalikan setan dan hawa nafsu yang buruk.
Khamer adalah biang kekejian sedangkan narkoba tak ada bedanya dengan khamer karena sama-sama memabukkan dan merusak akal. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam sabdanya telah menegaskan,
“Setiap yang memabukkan adalah khamer dan setiap yang memabukkan adalah haram.” (Muttafaq ‘alaih).

5. Merokok

Merokok memang bukan kategori miras atau narkoba, namun tetap saja merupakan sesuatu yang membahayakan ditinjau dari berbagai segi, baik kesehatan, kejiwaan, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu banyak ulama yang menyatakan keharamannya berdasarkan banyak dalil yang terkait dengan bahaya-bahaya tersebut. Di antara dampak negatif merokok adalah membahayakan kesehatan, jika dilaku-kan di tempat umum asapnya mengganggu dan membahayakan orang lain serta termasuk menyia-nyiakan uang untuk sesuatu yang tidak berguna.

6. Kebiasaan Rahasia (Onani)

Biasanya para pemuda yang melakukan ini karena khawatir terjerumus ke dalam dosa zina, maka dengan itu ia berharap agar dapat meredam gejolak syahwatnya. Namun kenyataannya tidak sesuai yang di harapkan, malahan justru menambah besar dorongan hawa nafsunya. Ia bukanlah obat penyembuh, dan bukanlah cara penyaluran yang sesuai syariat.
Obat yang dianjurkan adalah menikah, menjaga pandangan, puasa, menyibukkan diri dengan kegiatan positif, mencari teman yang baik, menjauhi tempat-tempat yang banyak fitnah, tidak menonton acara-acara yang merusak dll.

7. Suka Meniru Trend Orang Kafir (Tasyabbuh)

Masalah ini cukup serius dan membahayakan, muncul akibat perasaan kurang dan rendah kemauan yang membawanya berputar dalam lingkaran keburukan. Tidak mau menghiasi diri dengan tingginya akhlak yang diajarkan oleh agamanya sendiri. Mereka lupakan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam ,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya.” (HR Ahmad dan Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Albani)

8. Hobi Mengumbar Lisan

Bentuknya berupa mengejek dan mengolok-olok orang, menggunjing dan adu domba, dusta, mencela dan melaknat serta mengucapkan perkataan perkataan buruk dan jorok. Di antara firman Allah yang melarang hal-hal tersebut adalah surat Al-Hujurat :11-12.

9.Durhaka Kepada Kedua Orang Tua

Allah telah mengingatkan kita semua dengan firman-Nya
“Dan Kami perintahkan kepada manu-sia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya” (QS.Luqman :14)
Dan sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam , “Terlaknatlah siapa saja yang mendurhakai kedua orang tuanya.”(HR. Ath-Thabrani dishahihkan oleh Al-Albani)

10. Mendengarkan Nyanyian dan Musik

Para pemuda dan juga kebanyakan manusia amat perhatian dengan musik dan nyanyian-nyanyian, hingga rumahnya penuh dengan koleksi lagu-lagu yang boleh dibilang sebagian besarnya berbicara tentang cinta, syahwat dan segala yang memancing tindakan buruk.
Nabi telah mensinyalir melalui sabdanya, “Sungguh akan datang suatu zaman pada umatku ini dimana saat itu orang-orang menganggap halal perzina-an, sutra, khamer dan musik.”(HR. Al-Bukhari)

11.Bangga dengan Perbuatan Dosa

Amat banyak anak muda yang merasa bangga apabila dapat mencelakai sesamanya, memukul atau menghajar hingga terluka, kuat minum sekian botol, tidak puasa Ramadhan dan lain sebagainya. Andaikan ia tidak terang-terangan dan merasa bangga dengan dosanya, maka besar kemungkinan Allah akan mengampuninya, karena dalam Hadits Muttafaq ‘Alaih, Nabi Salallahi alaihi wa salam telah bersabda, bahwa seluruh umatnya akan diampuni kecuali al-mujahirun (orang yang terang-terangan dalam berbuat dosa).

12. Tidak mensyukuri nikmat Allah dan menyia-nyiakannya.

13. Mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak menghormati yang tua.

14. Memutuskan hubungan silatur rahmi.

15. Suka mengikuti program obrolan dengan lawan jenis via telepon.

16. Menunda taubat dan panjang angan-angan.

17. Terlalu banyak tertawa dan bercanda

18. Bergaul dengan teman yang buruk perangai.

19. Tidak perhatian dengan urusan-urusan kaum muslimin.

Sumber: Kutaib “Min Akhtha’ Asy Syabab” Qism Al-Ilmi Darul Wathan Riyadh.