Selasa, 20 April 2010

Perkembangan Dakwah Salafiyah Di Indonesia

Al-Ustadz Abdurrahman bin Abdul Karim At-Tamimi hafidhahullah
Disampaikan tgl 13-15 Jumadil Akhir 1425 H/1-3 Juli 2004 M
di Markaz Al Imam Al Albani di Jordania

Setelah memuji Allah dan bershalawat kepada nabi صلی الله عليه وسلم, beliau menyampaikan makalahnya sebagai berikut :

Yang mulia, para Syaikh .....,
Yang mulia Syaikh kami Asy-Syaikh Salim bin Id al-Hilali Direktur Markaz Al Imam Al-Albani dan para anggotanya yang aktif serta kepada saudara-saudaraku yang hadir dari kalangan para ulama yang mulia, dan saudara-saudaraku para penuntut ilmu.

Saya mengucapkan penghormatan kepada anda sekalian dengan penghormatan Islami :

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Sungguh sangat menggembirakan dan membahagiakan diri saya karena dapat berdiri di tempat yang mulia ini dan pertemuan yang diberkahi ini dengan izin Allah سبحانه و تعالى dengan membawa salam dari saudara-saudara anda, salafiyyin di Indonesia, sebagaimana hal ini wajib bagi diri saya sebagai wakil dari Ma'had kami, Ma'had Al Irsyad Al Islami beserta seluruh salafiyyin di Indonesia, agar saya berterima kasih kepada Markaz kita, Markaz Al Imam Al Albani, terutama kepada direkturnya Syaikhuna Asy Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafidhahullah (semoga Allah menjaga beliau) yang telah memuliakan kami dengan mengundang kami untuk ikut serta pada Muktamar yang diberkahi ini, dan mengizinkan kami ikut andil dalam memberikan beberapa patah kata yang berjudul :

"Perkembangan Dakwah Salafiyyah Di Indonesia"

dengan pertimbangan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Islam terbesar, ditinjau dari jumlah penduduknya yang beragama Islam.

Saya berdoa kepada Allah سبحانه و تعالى Yang Maha Mulia lagi Maha tinggi agar Dia memberkahi kesungguhan beliau dan saudara-saudara beliau dalam meninggikan dakwah yang diberkahi ini, yang mana kita hidup dari kemuliaan dakwah ini. Dan kami memohon kepada Allah سبحانه و تعالى agar mematikan kami diatas dakwah ini, dan agar Dia memberkahi Markaz Al Imam Al Abani ini yang darinya terpancar cahaya keimanan, ketentraman dan keamanan.

Mengawali ceramah ini saya katakan : "Tidaklah diketahui secara pasti awal mula masuknya agama Islam ke negeri Indonesia dan pulau-pulau disekitarnya." Pendapat para ahli sejarah berbeda-beda tentang sejarah timur jauh . Dan yang paling mendekati kebenaran, bahwasanya awal mula masuknya agama Islam dan penyebarannya terjadi pada akhir abad pertama hijriyah, dengan perantaraan para pedagang Arab yang datang dari selatan semenanjung Arab.[Lihat kitab yang dikarang Arnold The Preaching of Islam hal 262 terbitan London 1913M]

Al Ustadz Arnold berkata : "Sesungguhnya Islam dibawa ke Asia tenggara oleh orang-orang Arab pada abad -abad pertama hijriyah." Disebutkan dalam kitab “Nukhbatul Dahri” karya Syamsyuddin Ubaidillah Muhammad bin Tholib Ad Dimasyqi yang terkenal dengan julukan “Syaikhur Robwah” wafat pada tahun 727 H : "Sesungguhnya agama Islam sampai di jazirah Indonesia pada tahun 30 H).”

Seorang petualang asal Irak yang bernama Yunus Bahri berkata dalam buku hariannya, yang teksnya : "Pertama kali penguasa beragama Hindu dari kalangan kerajaan Pajajaran masuk Islam, dan keislamannya adalah pembuka era yang baru bagi tersebarnya agama Islam."

Dan sejarah memberitakan kepada kita bahwasanya kerajaan Islam yang pertama, berdiri di Demak dengan dukungan para ulama yang bermadzhab Syafi'i.

Beberapa riwayat mengatakan sesungguhnya para penguasa pemerintahan di Demak adalah yang menghancurkan patung-patung dan membuangnya di tengah lautan.

Sungguh telah bersinar bintang kerajaan Demak pada tahun 1478 M hingga tahun 1546 M. Dan Demak (dahulu) adalah pusat bagi para penguasa Islam di Jawa. Dan bisa jadi tersebarnya madzhab Syafi’i di Indonesia dan Hadromaut memberikan kepada kita bukti yang pasti bahwa orang-orang yang membawa agama Islam ke Indonesia adalah para
pedagang Hadromaut.

Adapun faktor-faktor yang membantu tersebarnya agama Islam dengan cepat di Indonesia dan pulau-pulau sekitarnya dapat diringkas dengan beberapa hal berikut ini :

[1]. Mudahnya agama Islam, tidak terdapat hal-hal yang rumit bagi seseorang yang berkeinginan memeluk agama Islam.
[2]. Jernihnya hati penduduk Indonesia dan fitrah mereka yang siap untuk memeluk agama Islam.
[3]. Pernikahan yang terjadi antara orang-orang Arab dengan penduduk Indonesia.
[4]. Akulturasi bangsa Arab dengan penduduk Indonesia dan pergaulan mereka dengan penduduk Indonesia seperti saudara sekandung.

Berlalulah tahun demi tahun, dan hubungan antara para pendatang dan penduduk Indonesia dalam keadaan semakin baik. Akulturasi penggabungan budaya) semakin bertambah mendalam pada awal-awal pertengahan kedua pada abad ke-20, dimana seorang Arab tidak datang dengan Istrinya ke Indonesia, namun Setiap pendatang menikah dengan penduduk setempat.

Dan sungguh hijrahnya orang-orang Arab dari selatan Arab ke Indonesia adalah termasuk hijrah yang terbesar jika dilihat dari jenisnya. Merupakan suatu keniscayaan, pendatang dari Hadromaut yang beragama Islam akan mendapatkan gangguan dan perlawanan dari penduduk Indonesia, terlebih lagi dari para penguasa dan pemuka mereka, namun hati penduduk Indonesia masih didominasi oleh keluguan dan bahkan bersikap loyal terhadap mereka. Mereka tidak melihat dari para pendatang Hadromaut sesuatu yang perlu diwaspadai dan mengeruhkan suasana.

Sebenarnya, orang-orang Hadromaut itu pada asalnya tidak datang ke negeri Indonesia untuk mendirikan sebuah negara atau menyebarkan agama. Tujuan yang paling utama bagi mereka adalah berdagang dan mencari rezki. Kemudian para pedagang itu dengan fitrah mereka yang sabar, keras, cerdas, rajin dan amanah dalam bermuamalah, jujur dalam berkata, mampu membuat jalan mereka di negeri yang jauh ini. Hingga pada suatu masa mereka mampu menguasai perdagangan dan mengokohkan markaz mereka dan “meluncur cepat” diantara para penduduk yang berbeda jenis, bahasa, agama, akhlak dan adat-istiadat dengan mereka.

Kemudian pemerintahan Belanda menyempitkan mereka, pemerintahan Belanda bersikap keras dalam penerapan hijrah atas orang-orang Hadromaut. Pemerintahan Belanda mengumpulkan mereka dalam suatu daerah khusus serta tidak memperbolehkan mereka berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya melainkan dengan izin khusus dan setelah susah payah memperolehnya. Sikap keras dan tekanan ini berjalan bertahun-tahun.

Pada tahun 1916 M, pemerintahan Belanda memberikan semacam kebebasan. Dan pada tahun 1919 M, pemerintah Belanda mencabut tekanan itu dan memberikan kebebasan bagi mereka berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu desa ke desa lainnya, dari satu pulau ke pulau lainnya tanpa ada kesulitan yang mereka jumpai dihadapan mereka. [Lihat kitab “Tarikhul Irsyad fi Indonesia”, oleh Ustadz Sholah Abdul Qadir Bakri hal 10-12]

Dengan berlalunya masa, rusaklah tauhid di negeri Indonesia ini, yang mana tauhid merupakan kekuatan dan pokok dakwah Islam, dan masuklah ke dalam Islam berbagai syubhat (kesamaran) dan kerusakan.

Kuburan-kuburan para wali didatangi orang-orang bodoh untuk berziarah kepadanya, para wanita bernazar untuknya, orang awam meyakini bahwasanya kuburan-kuburan itu mampu memberi manfaat dan memberi mudharat, thariqoh sufiyyah meliputi seluruh negeri, fanatisme madzhab telah mencapai puncaknya maka kebodohanpun merata, kegelapan menguasai, ditambah lagi kegelapan penjajahan Belanda - pada waktu itu - yang melemahkan negeri Indonesia dibawah belenggunya.

Akan tetapi Allah tidak menginginkan melainkan Dia sempurnakan cahaya-Nya. Allah memunculkan untuk negeri ini seorang lelaki shalih, seorang reformis yang datang dari negeri Sudan pada bulan Rabiul Awwal 1329, yang menyeru manusia kepada tauhid, memerangi kesyirikan, khurafat, bid'ah dan ta'ashub terhadap madzhab, beliau adalah Syaikh Ahmad bin Muhammad As Syurkati - rahimahullah - .

Dakwah beliau meliputi seluruh negeri, dan beliau telah mencetak kader yang menolong dan membantu dakwah beliau diseluruh jazirah Indonesia. Syaikh Ahmad Syurkati terpengaruh dengan dakwah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab - rahimahullah - dan juga Syaikh Muhammad Rasyid Ridha - rahimahullah - beserta majalahnya “Al Manar”. Beliau mengarang , mengajar, dan membangun "Madrsasah Al-Irsyad" pada tahun 1914 M.

Akan tetapi musuh-musuh beliau dari kalangan pengikut thariqot Sufiyyah dan aliran bid'ah memerangi, memusuhi, dan menghalangi dakwah beliau. Namun hal itu tidak mengusik beliau, dan beliau terus berdakwah hingga Allah mewafatkan beliau pada tanggal 16 Ramadhan 1326, semoga Allah merahmati beliau seperti rahmat-Nya kepada orang- orang yang berbakti. Akan tetapi sebagai sebuah amanah ilmiyyah dan sebuah sejarah kami tidak mengatakan, bahwa dakwah Syaikh Ahmad Syurkati adalah dakwah salafiyyah yang murni, yang mana hal ini dikarenakan lemahnya penyebaran dan pondasi dakwah salafiyyah pada saat itu, hanya saja dakwah beliau telah mempersiapkan jalan untuk kepada dakwah salafiyyah yang murni, dimana pada pemikiran beliau terdapat sebagian hal-hal yang menyelisihi dan menyimpang dari aqidah salafiyyah, seperti pengingkaran beliau akan datangnya Al Mahdi, dan turunnya nabi Isa -عليه السلام - yang telah jelas kebenaran dalilnya dengan pasti dalam Al Qur'an dan sunnah nabi yang shahih. Akan tetapi kita tidak melupakan keutamaan beliau dan keutamaan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan majalahnya "Al Manar" dalam pencerahan akal- akal kaum muslimin yang bodoh terhadap agama mereka dan memerangi bid'ah, kesyirikan dan sikap beliau berdua yang membuang fanatisme madzhab serta dakwah mereka (yang menyeru) untuk berpegang teguh kepada Al Qur'an dan sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah.

Keadaan ini terus berlangsung demikian hingga penjajahan Belanda pergi dan membawa kekuasaannya dari negeri Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 M. Sesudah itu datanglah bibit- bibit penjajahan Belanda dari kalangan orang-orang sekuler dan atheis, yang mana mereka memerintah negeri ini dengan menyempitkan ruang gerak kebebasan beragama kaum muslimin, hingga sirnalah mendung dan pudar bala bencana dengan perginya pemerintahan Sukarno serta gagallah pemberontakan komunis di negeri ini pada tahun 1965 M, yang demikian ini merupakan karunia Allah semata, dan segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan.

Kemudian datanglah sesudah itu era kebebasan berdakwah, hanya saja yang sangat disayangkan bahwa dakwah salafiyyah sangat disayangkan tidak ikut serta di medan dakwah ini dikarenakan tidak adanya para dai salafiyyin yang mampu - kecuali mereka yang dirahmati Allah -. Hingga dibuka di Jakarta pada tahun 1401 H, bertepatan pada tahun 1981 M, Ma'had yang metodenya mengikuti Universitas Al Imam Muhammad bin Suud Al Islamiyyah di Riyadh, dan banyak penduduk negeri ini yang sekolah padanya, namun sangat disayangkan lulusan dari Ma'had ini tidak mengetahui banyak tentang hakekat manhaj salaf, kebanyakan mereka berakidah salafiyyah - sesuai dengan pelajaran yang diajarkan di negeri mereka- hanya saja manhaj mereka Ikhwani (berpemahaman ikhwanul muslimin) yang menyimpang, bahkan banyak diantara mereka - sesudah itu - bergabung dengan kelompok-kelompok (hizbiyyah) Islam di negeri ini, dan yang berada pada barisan terdepannya adalah partai keadilan "Al Ikhwani,” dan mereka menjadi pemimpin pada partai ini.

Negeri Indonesia belumlah lama mengenal dakwah salafiyyah yang murni dan benar, tidak lebih dari 10 tahun yang lalu melalui perantaraan sebagian putra-putra Indonesia yang lulus dari Universitas Islam Madinah, dan mereka terpengaruh dengan para ulama salafiyyin di Madinah sedangkan mereka itu sedikit. Pengaruh yang jelas dan penyebaran yang luas dakwah salafiyyah ini juga timbul dari penyebaran dan penerjemahan kitab-kitab salafiyyah ke dalam bahasa Indonesia dari para ulama salaf, baik yang lampau maupun ulama pada saat ini. Dari buku-buku itulah mereka mengenal manhaj salaf yang benar. Berada pada bagian yang terdepan dalam hal ini adalah kitab-kitab Syaikhuna Al Imam Sayyidul Muhadditsin (Pemimpin ahli hadits) zaman ini, Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin Al Albani dan murid- murid beliau yang muhkhlis, kemudian buku-buku Al Allaamah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Al Allaamah Al Imam ahli fikih zaman ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al utsaimin. Sungguh kitab-kitab, karangan-karangan dan fatwa-fatwa mereka tersebar di seluruh jazirah Indonesia, dan penduduk negeri ini benar-benar mendapatkan manfaat darinya. Selain itu, demikian pula kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau Al Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dan kitab-kitab Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dan anak-anak beserta cucu-cucu beliau yang shalih. Dan dapat saya katakan bahwa kitab-kitab salafiyyah pada saat ini adalah kitab- kitab Islam terbesar yang tersebar di Indonesia - segala puji bagi Allah atas karunia-Nya.

Para da’i Salafiyyin menegakkan dakwah dengan semangat dan penuh kesungguhan, mereka berkeliling di Jazirah Indonesia, baik kota maupun desanya, dan mereka membangun sekolah-sekolah dan pondok pesantren salafiyyah di beberapa tempat sehingga tersebarlah dakwah salafiyyah sebagaimana menjalarnya api pada rumput kering. Manusiapun menerima dakwah yang murni dari sikap berlebih-lebihan bersikap ekstrim ini, dengan penerimaan yang baik.

Mereka (para da’i) salafiyyah ini tidak mencari kenikmatan dunia yang fana, tidak menginginkan kursi-kursi kekuasaan dan tidak pula bermain dalam hidangan politik, akan tetapi keinginan mereka adalah mendidik generasi dengan pendidikan Islam yang benar diatas dasar “tasfiyyah” (Pemurnian) dan “tarbiyah” (Pendidikan) yang memurnikan pemikiran-pemikiran yang mencemari agama yang lurus ini berupa bid'ah dan khurafat, dengan menumbuhkan, mendidik dan mengembalikan generasi ini sebagaimana generasi terbaik,karena tidak akan baik umat ini hingga mereka beragama sebagaimana generasi yang pertama. Tidaklah suatu kota, atau desa di Indonesia sekarang ini, melainkan padanya terdapat dakwah salafiyyah, sedikit atau banyak.

Namun dakwah salafiyyah ini menemui berbagai rintangan yang merintangi jalannya, dan demikianlah keadaan dakwah yang benar (senantiasa mendapat rintangan) dan demikian juga dakwah para rasul dan nabi. Penghalang terbesar yang muncul adalah dari kaum hizbiyyin (mereka yang fanatik pada kelompoknya) baik dari kalangan "Quthbiyyin" (mereka yang mengikuti pemahaman Sayyid Qutb) atau "Sururiyyin" (mereka yang mengikuti pemahaman Muhamad Surur) maupun "Takfiriyyin" (mereka yang dengan mudah mengkafirkan tanpa petunjuk ulama), demikian juga dari kalangan orang-orang sekuler, thoriqot suffiyyah dan aliran-aliran bid'ah lainnya.

Akan tetapi yang paling menyayat-nyayat jiwa kami adalah sebagian orang yang menisbatkan diri mereka kepada dakwah salafiyyah, akan tetapi hakikatnya mereka adalah orang-orang yang berbuat "ghuluw" (menyimpang dan berlebih-lebihan dalam agama) dan ekstrim, yang mana mereka memusuhi kami lantaran hasad dan dengki yang telah memakan hati mereka. Padahal mereka itu masih anak-anak yang masih ingusan lagi bodoh.

Sungguh mereka telah menjauhkan manusia dari dakwah salafiyyah yang haq ini, akibat perangai mereka yang buruk dan dakwah mereka yang kasar lagi jelek. Tidaklah seorang menyelisihi mereka, sekalipun itu dari teman-teman mereka sendiri, melainkan mereka membid'ahkannya dan mengucilkannya dari pergaulan dengan mereka….

Akan tetapi segala puji bagi Allah, kekuatan mereka hancur berkeping-keping sehingga hilang dan lenyaplah kekuatan mereka. Tersingkaplah keburukan mereka, permusuhan diantara mereka sendiri sangat sengit, mereka bercerai-berai, dan ini adalah pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran. Sesungguhnya Allah tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang merusak. Sekalipun mereka melakukan suatu perbuatan yang mereka inginkan untuk mengelabui manusia…dan sekalipun mereka merubah kulit-kulit (baju-baju) mereka untuk menjelekkan dan mengacaukan.. dan sekalipun mereka membaguskan penampilan mereka, untuk menyembunyikan kejelekan mereka.

Semua itu - dan selainnya - sekali-kali tidak akan ada kelangsungannya atau perbaikannya, sekali-kali tidak akan berjalan bersamanya amal kebenaran yang jelas, justru ia akan hilang dan meleleh serta tidak akan kembali. (lihat tulisan Syaikhuna Abul Harits Ali bin Al Hasan Al Atsari di Majalah Al Ashalah edisi 32 hal. 10)

Dan adalah, dengan diadakannya "Daurah Syariyyah tentang Aqidah dan Manhaj" oleh Ma'had kami, Ma'had Ali Al Irsyad Al Islami yang bekerjasama dengan Markaz yang mulia ini, mempunyai dampak positif yang nyata/produktif dalam menyebarkan dakwah Salafiyyah dan memahamkan aqidah yang benar kepada manusia, dan juga "manhaj" (metode) yang benar, serta berdakwah dengan hikmah dan cara yang baik, jauh dari sikap “ghuluw” (berlebih-lebihan) dan melampaui batas. Telah ikut serta dalam Daurah tersebut, para ulama yang mulia, mereka adalah :

[1].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr
[2].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Salim bin Id Al Hilali
[3].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari
[4].Yang Mulia Syaikhuna Syaikh Mashur bin Hasan Alu Salman

Mereka telah menyampaikan ceramah-ceramah, pelajaran-pelajaran, pertemuan-pertemuan yang bermanfaat sekali bagi para penuntut ilmu (semoga Allah membalas kebaikan bagi mereka) dan banyak manusia telah mendapatkan manfaat dari mereka. Daurah tersebut telah berlangsung selama tiga tahun (segala puji bagi Allah).

Inilah ringkasan bahasan yang singkat tentang perkembangan dakwah salafiyyah di Indonesia, yang saya menulisnya dengan tergesa-gesa, semoga saya diberi petunjuk padanya, dan segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan.

Terakhir, saya mohon kepada Allah سبحانه و تعالى agar memberi petunjuk kepada para syaikh-syaikh kami yang mulia, dan juga kepada para saudara-saudara kami yang mengadakan pertemuan ini, dan agar Dia meninggikan panji salafiyyin.

Allah-lah yang menolong dan kuasa atasnya.

Dan akhirnya kami ucapkan, alhamdulillahi rabbil alamin.

[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 10/Th II/2004/1425H. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda No 45 Surabaya]
KATEGORI: AL-MASAA'IL
SUMBER: HTTP://WWW.ALMANHAJ.OR.ID
TANGGAL: JUMAT, 22 OKTOBER 2004 08:00:42 WIB


Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

Jumat, 09 April 2010

Kedudukan akal di dalam Islam & Tokoh rasionalis

A.Beberapa atsar para Shahabat r.a. tentang pengutamaan nash (dalil) diatas rasio.

1. Dari Ali bin Abi Thalib r.a., dia berkata :
“Andaikata agama itu cukup dengan ra’yu (akal), maka bagian bawah khuf (alas kaki) lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Aku benar-benar melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengusap bagian atas khuf-nya.”
(HR. Abu Daud dengan sanad yang baik. Dalam Al-Talkhishul Habir, 1/160 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata hadits ini shahih, dan juga telah disepakati Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Shahihul Abu Daud, 1/33)

2. Dari Umar bi Al-Khaththab r.a., dia berkata tatkala mencium Hajar Aswad:
”Sesungguhnya aku tahu engkau hanya sekedar batu yang tidak bisa memberi madharat dan manfaat. Kalau tidak karena kulihat Rasulullah menciummu, tentu aku tidak akan menciummu.”(HR. Bukhari dan Muslim)

3. Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata :
“Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian mencegah istri-istrimu (untuk mendatangi) masjid-masjid jika mereka meminta izin kepada kalian.”
Salim bin Abdullah berkata, “Lalu Bilal bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, kami akan mencegah mereka’.”
Salim berkata, “Lalu Ibnu Umar menghampiri Abdullah dan mengolok-oloknya dengan olok-olokan yang amat buruk, yang tidak pernah kudengar sebelumnya seperti itu. Dia berkata, “Aku mengabarkan kepadamu dari Rasulullah, lalu engkau berkata,’Demi Allah, aku benar-benar akan mencegahnya ?’.”(HR. Muslim)

4. Dari Imran bin Hushain r.a., dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Malu itu adalah kebaikan seluruhnya.”
Lalu Busyair bin Ka’ab berkata, “Sesungguhnya di dalam sabda beliau ini terdapat kelemahan.”
Lalu Imran berkata, “Aku memberitahukan dari Rasulullah, lalu engkau datang untuk menentang ? Aku tidak akan memberitahukan satu hadits pun yang kuketahui.”(HR. Bukhari dan Muslim)

5. Dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas r.a.:
“Engkau telah menyesatkan manusia.”“Apa itu wahai Urayyah ?”, tanya Ibnu Abbas.Urwah menjawab, “Engkau memerintahkan umrah pada sepuluh hari itu, padahal hari-hari itu tidak ada umrah.”Ibnu Abbas bertanya, “Apakah engkau tidak bertanya mengenai masalah ini kepada ibumu ?”Urwah menjawab, “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukan hal itu.”Ibnu Abbas berkata, “Inilah yang membuat kalian rusak. Demi Allah, aku tidak melihat melainkan hal ini akan membuat kalian tersiksa. Sesungguhnya aku beritahukan kepada kalian dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun kalian menjawab dengan diri Abu Bakar dan Umar.”(HR Imam Ahmad dan Al-Khathib serta lainnya dengan sanad yang shahih)

Ibnul Qayyim berkata, “Semoga Allah merahmati Ibnu Abbas. Bagaimana andaikata dia tahu sekian banyak orang yang menentang firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan menggunakan perkataan Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Al-Faraby, Jahm bin Shafwan, Bisyr Al-Maraisy, Abul Huzail Al-Allaf, dan orang-orang yang sealiran dengan mereka ?”

Dapat kami katakan (Syaikh Ali Hasan), “Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim. Bagaimana jika dia tahu ada orang-orang rasionalis abad ke dua puluh, yang menentang Sunnah hanya dengan menggunakan rasionya yang serba terbatas, dengan gambaran-gambaran yang rusak dan dengan pendapat yang hina ?”

B. Golongan Rasionalis Masa Kini

1. Salah seorang diantara mereka berkata, “Para pemeluk Islam telah sepakat --kecuali sebagian kecil di antara mereka yang tidak perlu digubris—bahwa jika aqly dan naqly saling bertentangan, maka apa yang ditunjukkan oleh aqly harus diambil.”
(Yang dimaksudkan adalah Muhammad Abduh dalam tulisannya, Al-Islam Wan-Nashraniyyah, hal. 59. Padahal dalam buku Risalatut-Tauhid dia berkata bahwa rasio saja tidak bisa sampai kepada kebahagiaan ummat, jika tidak disertai petunjuk ilahi)

2. Seorang jurnalis yang juga menganggap dirinya sebagai pemikir ulung yang bernama Fahmy Huwaidy berkata di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Watsaniyyun Hum Abadatun-Nushush, “Orang-orang paganis adalah para penyembah nash, menguraikan upaya peniadaan rasio di hadapan nash, bahwa hal ini merupakan gambaran paganisme modern. Sebab yang disebut paganis itu tidak hanya orang-orang yang menyembah berhala. Tetapi paganisme pada zaman sekarang berubah menjadi penyembah terhadap simbol-simbol yang tertuang dalam tulisan dan upacara keagamaan.”

3. Seorang tokoh sekolah Al-Azhar Mesir, Muhammad Al-Ghazaly berkata di dalam bukunya yang sangat zhalim terhadap ilmu dan ilmuwan, As-Sunnah baina Fiqhi wa Ahlil-Hadits, “Kita harus tahu bahwa kebatilan yang ditetapkan rasio mustahil merupakan agama. Agama yang benar adalah yang berunsur kemanusiaan yang benar. Unsur kemanusiaan yang benar adalah rasio yang bisa menetapkan hakikat, yang bisa jelas karena ilmu, yang memburukkan khurafat dan yang dijauhkan dari dugaan. Kami senantiasa menegaskan bahwa setiap hukum yang ditentang rasio, setiap jalan yang tidak dikehendaki kemanusiaan yang benar dan sejalan dengan fitrah yang lurus, mustahil merupakan agama.”
Maka dari itu kita melihat Muhammad Al-Ghazali secara berani menolak sekian banyak hadits Nabawi yang shahih dan kuat, hanya karena hadits-hadits tersebut dianggap menunggangi rasionya.
(Silahkan baca kitab Kasyfu Mauqifi Al-Ghazaly Minas-Sunnah wa Ahliha wa naqdu Ba’dhi Ara’ihi, karya DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly yang sudah diterjemahkan dengan judul Membela Sunnah Nabawy, jawaban terhadap buku Studi Kritis atas Hadits Nabi, karya Muhammad Al-Ghazaly, anda akan mendapatkan di dalamnya bagaimana ia menolak hadits-hadits shahih yang tidak dapat diterima oleh akalnya walau tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Serta setiap syubhat yang dilontarkannya dijawab secara ilmiyah oleh Syaikh DR. Rabi bin Hadi Al-Madkhaly –hafidhahullah)

4. Muhammad Ahmad Khalafullah berkata di dalam bukunya, Ghazwun Minad-Dakhil, hal. 51, “Islam telah membebaskan rasio manusia untuk menguasai nubuwah, dengan mengumumkan penghabisan masa nubuwah secara total dan sekaligus kebebasan manusia dari nubuwah."

5. Husain Ahmad Amin yang merupakan penerus langkah bapaknya, berkata, “Menyerap ruh Islam, dan bukan komitmen terhadap hukum-hukum tertentu, cukup dijadikan tameng yang bisa membawa kita ke jalan yang lurus. Masyarakat yang ada sekarang mendapatkan hukuman pidana pencurian tidak seperti hukuman di masyarakat badui. Begitu pula masalah hijab yang pernah di wajibkan di Madinah. Hukuman potong tangan yang ditetapkan Al-Qur’an sebagai hukuman bagi pencuri adalah syariat masyarakat badui. Hijab lebih tepat untuk masyarakat Madinah Al-Munawwarah, dan tidak tepat untuk masyarakat Cairo pada abad ke dua puluh.”

6. Diantara pendukung paham rasionalis ini adalah seorang Doktor dalam bidang Hukum, Hasan At-Turaby, yang saat ini namanya cukup berkibar karena hubungan dekatnya dengan pemerintah Sudan. Dia berkata dalam bukunya Tajdidul-Fikri-Islamy, hal. 26, “Sumber yang perlu kami tegaskan sekali lagi sebagai dasar adalah rasio.”
Perhatikan pula masalah besar yang dimuntahkan At-Turaby, dalam suatu ceramah yang disampaikannya dengan judul Tahkimusy-Syari’ah, yang secara lancang dia membolehkan kemurtadan dari Islam, “Saya ingin mengatakan, bahwa dalam suatu pemerintahan dan pada satu zaman, orang Muslim boleh mengganti agamanya, sebagaimana yang dilakukan orang Nashrani.”
Yang menguatkan kedok dirinya dan menambah kejelasan jati dirinya ini adalah penjelasan Muhammad Surur Zainul Arifin, dalam bukunya, Dirasat Fis-Sirah An-Nabawiyah, hal. 308, mengisahkan pengalaman pribadi yang dialaminya bersama At-Turaby. Dia berkata, “Dosen dalam bidang hukum di Universitas Sudan, DR. Hasan Abdullah At-Turaby ini mengingkari turunnya Isa Al-Masih pada akhir zaman. Dalam suatu pertemuan pada sebelas tahun yang lalu, saya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau mengingkari hadits yang mutawatir ?”
Dia menjawab, “Saya tidak mengingkari hadits dari segi sanadnya. Tetapi saya melihat hadits tersebut bertentangan dengan rasio. Padahal rasio harus didahulukan daripada nash jika terjadi pertentangan.”

7. Yusuf Al-Qardhawi
Beliau berbeda dengan Muhammad Al-Ghazaly yang frontal (beliau menolak hadits dengan susunan bahasa yang lebih halus dan tidak keras), sekalipun hadits-hadits yang dibicarakan Al-Qardhawy adalah hadits yang sama dengan yang ditolak Muhammad Al-Ghazaly berdasarkan rasionya yang sempit. Hadits yang secara terang-terangan ditolak Muhammad Al-Ghazaly, biasanya Al-Qardhawy cukup berkata, “Saya masih bimbang tentang hadits yang dimaksud.” Baru kemudian ia menyebutkannya.
Paham rasionalisme ini tampak dalam buku karangannya yang terakhir, Kaifa Nata’amalu Ma’as Sunnah An-Nabawiyyah.
Diantaranya adalah kebimbangannya tentang keabsahan hadits yang diriwayatkan di dalam shahih Muslim, dari Anas, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang laki-laki, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di dalam neraka.”
Kadang-kadang Al-Qardhawy beralih kepada takwil yang bertentangan dengan zahir nash, seperti sikapnya dalam menghadapi hadits, “Kematian di datangkan dalam bentuk domba berwarna hitam bercampur putih.”(Muttafaq Alaihi)

Maka tidak heran jika engkau melihat kebebasan pemikiran mereka, yang menganggap Islam itu bukan satu-satunya agama Allah. Berarti mencari agama selain Islam bukan merupakan kesesatan dan kekufuran. Bahkan mencari agama Nashrani dan Yahudi bisa membawa pelakunya ke surga dan bahkan bisa ke Firdaus, surga yang paling tinggi, seperti pendapat Muhammad Ammarah, Fahmy Huwaidy, Abdul Aziz Kamil, Sa’id Al-Asymawy, Mahmud Abu Rayyah dan lain-lainnya. ( Al-Aqlaniyyah, Hidayah Am Ghiwayah, hal. 46)

Wallaahu a’lam bishshawab.

(Diringkas dari kitab “Muslim Rasionalis” (Aqlaniyyun), karya Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsary – hafidhahullah)

Sumber : Annajiyah - Kompilasi Artikel dan Tanya Jawab/An-Najiyah/Artikel.IND/1_Al-Islam/Kedudukan Akal Didalam Islam & Tokoh Rasionalis.htm

Jawaban Terhadap Pluralisme

Akhir-akhir ini beredar pema-haman yang menggoyahkan keimanan, mengaburkan, dan membuat keragu-raguan (tasykik) dalam dada Muslimin. Maka diacak-acaklah bibit fitrah keimanan kaum terpelajar bahkan eksekutif —yang kondisi ekonominya mapan dan ingin mencari kedamaian lewat agama — dengan trik-trik yang cukup memukau, namun sebenarnya adalah racun penghapus keimanan. Yaitu di antaranya ditawarkan faham-faham yang membabat Islam, misalnya faham pluralisme yang menganggap semua agama itu sama saja, tujuannya sama, semua mengajarkan kebaikan, semuanya masuk surga, sama dan sejajar, paralel, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri. Dengan tawaran yang tampaknya toleran, adil, humanis, dan sesuai dengan kondisi itu, si Muslim yang awam yang telah terseret ke penawaran ini kemudian masuk ke jerat yang mencopot keimanan tanpa terasa.

Sehingga, sebenarnya fahamnya telah berbalik dari faham fitrah Islami menjadi faham yang membuang Islam dan mengakui semua agama itu sama. Dan itulah titik temu dari faham pluralisme yang dicanangkan oknum Nasrani, John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973), dan faham tokoh sufi/ tasawuf sesat Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M) yang menca-nangkan Wihdatul Adyan, penyatuan agama-agama, di samping faham kemusyrikan bikinan Ibnu Arabi yang terkenal dengan sebutan wihdatul wujud , menyatunya kawula (hamba) dengan Gusti (Tuhan). Dianggapnya itu adalah maqom (tingkatan) tertinggi, padahal justru itulah tingkatan yang paling jauh sesatnya, karena telah musyrik sekaligus kafir.

Masalah pencampur adukan antara yang haq dengan yang batil itu adalah puncak pengaburan, sehingga tidak jelas lagi batilnya. Padahal di dalam Islam, seseorang hanya mengaburkan jati dirinya yang mestinya laki-laki namun meniru-niru perempuan atau perempuan namun meniru-niru laki-laki saja sangat dilaknat. Namun kini pengaburan-pengaburan itu bukan sekadar penga-buran jenis kelamin, namun bahkan pengaburan agama Islam sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Paradigma plural (pluralisme): Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satu-satunya jalan (paradigma ekskulsif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Rahman: 1996). (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum'at 26 Mei 2000, hal 8).

Dalam ayat berikut ditegaskan, yang artinya: "Sebahagian diberiNya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk." (QS Al-A'raf: 30).

Kita tanyakan kepada kaum pluralis. Kalau menurut pandangan pluralis: Bahwa semua agama itu sama, sejajar, hanya beda teknis; Ini apakah artinya, semua itu tidak ada yang mendapat petunjuk? Ataukah tidak ada yang sesat? Ataukah semuanya mendapat petunjuk, atau semuanya sesat? Apakah Semuanya tunduk kepada Allah, ataukah semuanya tunduk kepada syetan?

Jelas-jelas paradigma pluralis itu bertentangan dengan ayat. Dan juga bertentangan dengan do'a kita setiap shalat, yang artinya: "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni'mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai (Yahudi), dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (Nasrani)." (Al-Fatihah: 6,7).

Dalil-dalil menjawab ahli tasykik

Untuk menjawab golongan tasykik (menyebarkan keragu-raguan) itu, perlu disimak ayat-ayat, hadits, sirah Nabi Muhammad yang riwayatnya otentik, murni.

Kalau semua agama itu sama, sedang mereka yang beragama Yahudi, Nasrani, dan Shabi'in itu cukup hanya mengamalkan agamanya, dan tidak usah mengikuti Nabi Muhammad n, maka berarti membatalkan berlakunya sebagian ayat Allah dalam Al-Qur'an. Di antaranya ayat, yang artinya:

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia." (As-Saba': 28).
"Katakanlah (hai Muhammad): Hai manusia! Sesungguhnya aku utusan Allah kepada kamu semua." (Al-A'raaf: 158).

Apakah mungkin ayat itu dianggap tidak berlaku? Dan kalau tidak meyakini ayat dari Al-Qur'an, maka hukumnya adalah ingkar terhadap Islam itu sendiri. Kemudian masih perlu pula disimak hadits-hadits.

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasalam :
"Dahulu Nabi diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku (Muhammad) diutus untuk seluruh manusia." (Diriwa-yatkan Al-Bukhari 1/ 86, dan Muslim II/ 63, 64).

Dalam hadits lain disebutkan: Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah Nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Konsekuensi dari ayat dan hadits itu, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam sebagai pengemban risalah yang harus menyampaikan kepada umat manusia di dunia ini, maka terbukti Nabi Shallallahu alaihi wasalam mendakwahi raja-raja yang beragama Nasrani dan bahkan raja atau kaisar beragama Majusi. Seandainya cukup orang Yahudi dan Nasrani itu menja-lankan agamanya saja dan tidak usah memasuki Islam, maka apa perlunya Nabi Muhammad n mengirimkan surat kepada Kaisar Heraclius dan Raja Negus (Najasi) yang keduanya beragama Nasrani, sebagaimana Kaisar Kisra di Parsi (Iran) yang beragama Majusi (penyembah api), suatu kepercayaan syirik yang amat dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Sejarah otentik yang tercatat dalam kitab-kitab hadits menyebutkan bukti-bukti, Nabi berkirim surat mendakwahi Kaisar dan raja-raja Nasrani maupun Majusi untuk masuk Islam agar mereka selamat di akhirat kelak. Bisa dibuktikan dengan surat-surat Nabi n yang masih tercatat di kitab-kitab hadits sampai kini. Di antaranya surat-surat kepada Raja Najasi di Habasyah (Abesinea, Ethiopia), Kaisar Heraclius penguasa Roma-wi, Kisra penguasa Parsi, Raja Muqouqis di Mesir, Raja al-Harits Al-Ghassani di Yaman, dan kepada Haudhah Al-Hanafi. (Ustadz Hartono A Jaiz dkk, Kematian lady Diana Mengguncang Akidah Umat, Darul Falah, Jakarta, cetakan I, 1418H, halaman 44-46.)

Dalam surat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam yang ditujukan kepada Kaisar Heraclius (lafazh lengkapnya bisa dilihat dalam riwayat Al-Bukhari IV/57 dan Muslim II/90-91), beliau menegaskan, Apabila Anda menolak, maka Anda akan menanggung dosa-dosa orang-orang arisiyyin (penganut) Arianisme (ajaran Arius, uskup Iskandariyah 256-336M, pen). Perlu diketahui Arianisme adalah ajaran Arius (256-336M), seorang ahli ilmu agama bangsa Libia, Uskup di Iskandariah, mengajarkan bahwa sebelum penciptaan umum, Tuhan telah menciptakan dan melahirkan seorang putera, makhluk yang pertama, tetapi tidak abadi dan tidak sama dengan Sang Rama (Ensiklopedi Umum, hal. 79). Kepercayaan itu menurut Islam jelas syirik, orangnya disebut musyrik, suatu dosa yang paling besar karena menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Bagaimana bisa dikatakan bahwa orang-orang ahli kitab sekarang pun akan masuk surga nantinya seperti yang didakwakan oleh sebagian ahli tasykik, padahal Nabi Muhammad n menyurati Kaisar Heraclius sejelas itu? Kalau Heraclius yang Nasrnai itu tidak mau masuk Islam, maka akan menanggung dosa orang-orang Arianisme, yaitu kepercayaan yang menurut Islam adalah musyrik. Dan karena Nasrani itu termasuk ahli kitab, maka masih ditawari pula untuk menjalankan yang sama dengan Islam:

Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) dalam satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."

Ajakan itupun kalau diikuti, berarti mengikuti ajakan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasalam yakni mempercayai Nabi terakhir yang mengajak Kaisar kepada kalimatun sawaa' (kalimat yang sama) itu. Dan risikonya, kalau ajakan itu diikuti, berarti ambruklah sistem kepasturan dan kerahiban di dalam tatacara ahli kitab. Dengan ambruknya sistem kependetaan, kepasturan, dan kerahiban itu hapus pula segala sabda-sabda dalam kitab-kitab maupun aturan-aturan yang mereka bikin-bikin. Yang ada justru ajaran murni di antaranya adalah khabar tentang akan adanya utusan Allah yang bernama Ahmad yaitu Muhammad . Dari sini tidak bisa mengelak lagi kecuali mengikuti ajaran Nabi Muhammad alias masuk Islam.

Jalan keluarnya

Bagaimana menghadapi itu semua? Tentu saja kita harus kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah shahihah sesuai dengan pemahaman yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu alaihi wasalam , difahami dan diamalkan oleh para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'it Tabi'in. Itulah jalan dan manhaj yang perlu ditempuh oleh Ummat Islam, setelah aneka jenis penyelewengan telah dibidikkan dan bahkan dijejalkan kepada Ummat ini dengan aneka cara. Ibarat cara-cara munafiqin dalam membangun masjid dhirar adalah dengan dalih untuk menolong kaum tua, kaum lemah yang tidak tahan dinginnya malam, agar dekat tempatnya dsb. Dalih-dalih itu wajib dipatahkan, sedang bangunan mereka pun wajib dihancur leburkan. Demikian pula bangunan berupa pemahaman dan pemikiran yang merusak Islam, wajib dihancur leburkan, dibalikkan kepada pencetus dan penganjur-penganjurnya, agar menimbuni mereka bagaikan longsoran bangunan yang akan menimpa mereka di jahannam, sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an. (Redaksi AnNur)

Rujukan: 1. Shahih Al-Bukhari, 2 Shahih Muslim, 3 Zaadul Ma'ad, 4 Tsawuf Pluralisme dan Pemurtadan. 5 Berbagai sumber lain.
Sumber : Annajiyah - Kompilasi Artikel dan Tanya Jawab/An-Najiyah/Artikel.IND/Buletin An-Nur/Tauhid - Jawaban Terhadap Pluralisme.htm