Minggu, 18 September 2011

Imam Ibnul Jauzi Menghabiskan masa Mudanya Untuk Mencari Ilmu

Imam Ibnul Jauzi Menghabiskan masa Mudanya Untuk Mencari Ilmu


Semoga Allah merahmati Abul Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzi (wafat tahun 597 H.), ketika dia menjelaskan keseriusannya dalam mencari ilmu, dan dia menghabiskan masa mudanya untuk meraihnya. Dia menyinggung nikmatnya menggeluti ilmu tersebut, saat ia telah berusia setengah baya dan telah sempurna ilmunya.

Dia berkata di dalam kitabnya Shaidul Khatir, II:329, “Barangsiapa menghabiskan masa mudanya untuk ilmu, maka pada masa tuanya nanti ia akan memuji hasil dari apa yang telah ia tanam. Dia akan menikmati hasil karya yang telah ia himpun. Dia tidak akan menggubris hilangnya kenyamanan fisik yang ia alami, setelah ia melihat kelezatan ilmu yang telah ia raih. Disamping itu, ia juga merasakan kelezatan saat mencarinya, yang dengannya ia berharap mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan, bisa jadi berbagai upaya untuk mendapatkan ilmu tersebut lebih terasa nikmat daripada hasil yang telah ia raih.
Sebagaimana seorang penyair berkata:
Aku berjingkrak-jingkrak saat berharap mendapatkannya
Terkadang impian lebih manis daripada keberhasilan
Aku merenungi keadaan diriku, membandingkannya dengan kondisi keluargaku yang banyak menghabiskan umur mereka untuk meraih dunia. Aku menghabiskan masa kecilku dan masa mudaku untuk mencari ilmu. Aku merasa tidak kehilangan sesuatu seperti yang mereka peroleh, kecuali sesuatu yang seandainya aku meraihnya, justru aku menyesalinya. Kemudian aku merenungi keadaanku, dan aku merasa hidupku di dunia ini lebih baik daripada kehidupan mereka, dan kedudukanku lebih tinggi dibanding  kedudukan mereka. Ilmu yang aku dapatkan pun tidak ternilai harganya.
Iblis berkata kepadaku, “Kamu lupa terhadap  kelelahan dan begadangmu?” Aku menjawabnya,”Wahai bodoh,terlukanya tangan tidak di gubris saat melihat ketampanan Yusuf. Dan, jalan yang mengantarkan kepada seorng teman tidaklah panjang :
Semoga Allah membalas perjalanan kepadanya dengan kebaikan
Walaupun dia membiarkan unta kurus seperti kantong air dari kulit[1]
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah,  Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.

SUMBER :
Artikel www.KisahMuslim.com

[1] Unta kurus disini disebabkan seringnya ia dipakai untuk perjalanan, sehingga yang tersisa padanya adalah kulit yang membungkus tulang,karena ia benar-benar lelah dan kurus. Maka, iapun seperti kantong air dari kulit yang kosong. Ia tidak bisa berdiri dan tidak memiliki kekuatan.

Jumat, 16 September 2011

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik

Akh, ana lebih senang bergaul dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit ilmunya”. [SMS seorang ikhwan]
Kok dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh, saya juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan seorang akhwat]
Ana suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab tapi akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”. [Pengakuan seorang ikhwan]
Mungkin fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut yang sudah lama “ngaji”1 . Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun bahkan belasan tahun tetapi akhlaknya tidak berubah menjadi lebih baik bahkan semakin rusak. Sebagian dari kita sibuk menuntut ilmu tetapi tidak berusaha menerapkan ilmunya terutama akhlaknya. Sebaliknya mungkin kita jarang melihat orang seperti dikomentar ketiga yang merupakan cerminan keikhlasannya dalam beragama meskipun nampaknya ia kurang berilmu dan. semoga tulisan ini menjadi nasehat untuk kami pribadi dan yang lainnya.
Akhlak adalah salah satu tolak ukur iman dan tauhid
Hal ini yang perlu kita camkan sebagai penuntut ilmu agama, karena akhlak adalah cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu yang diperoleh. Lihat bagimana A’isyah rodhiallohu ‘anha mengambarkan langsung akhlak Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A’isyah rodhiallohu ‘anha berkata,
 كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
 “Akhlak beliau adalah Al-Quran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad 6/54]
Yang berkata demikian Adalah A’isyah rodhiallohu ‘anha, Istri yang paling sering bergaul dengan beliau, dan perlu kita ketahui bahwa salah satu barometer ahklak seseorang adalah bagaimana akhlaknya dengan istri dan keluarganya. Rasulolluh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” [H.R. Tirmidzi dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu Hibban dan Al-Albani menilai hadits tersebut sahih].
Akhlak dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak dirumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari oleh orang lain.
Dan tolak ukur yang lain adalah takwa sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkannya dengan akhlak, beliau bersabda,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rohimahullohu menjelaskan hadist ini,
“Barangsiapa bertakwa kepada Alloh, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia -sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Alloh dan Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul Kutubil ‘ilmiyah]
Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
 ”Yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Tingginya ilmu bukan tolak ukur iman dan tauhid
Karena ilmu terkadang tidak kita amalkan, yang benar ilmu hanyalah sebagai wasilah/perantara untuk beramal dan bukan tujuan utama kita. Oleh karena itu Alloh Azza wa Jalla berfirman,
 جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
 “Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]
Alloh TIDAK berfirman,
جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ
 “Sebagai balasan apa yang telah mereka ketahui.”
Dan cukuplah peringatan langsung dalam Al-Qur’an bagi mereka yang berilmu tanpa mengamalkan,
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَْ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
 ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff : 3)
Dan bisa jadi Ilmunya tinggi karena di karuniai kepintaran dan kedudukan oleh Alloh sehingga mudah memahami, menghapal dan menyerap ilmu.
Ilmu Agama hanya sebagai wawasan ?
Inilah kesalahan yang perlu kita perbaiki bersama, sebagian kita giat menuntut ilmu karena menjadikan sebagai wawasan saja, agar mendapat kedudukan sebagai seorang yang tinggi ilmunya, dihormati banyak orang dan diakui keilmuannya. Kita perlu menanamkan dengan kuat bahwa niat menambah ilmu agar menambah akhlak dan amal kita.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah juga tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.” [Al-Fawa’id hal 171, Maktabah Ast-Tsaqofiy]
Sibuk belajar ilmu fiqh dan Ushul, melupakan ilmu akhlak dan pensucian jiwa
Yang perlu kita perbaiki bersama juga, sebagian kita sibuk mempelajari ilmu fiqh, ushul tafsir, ushul fiqh, ilmu mustholah hadist dalam rangka memperoleh kedudukan yang tinggi, mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan dalam berbagai pertanyaan. Akan tetapi terkadang kita lupa mempelajari ilmu akhlak dan pensucian jiwa, berusaha memperbaiki jiwa dan hati kita, berusaha mengetahui celah-celah setan merusak akhlak kita serta mengingat bahwa salah satu tujuan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus adalah untuk menyempurnakan Akhlak manusia.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Ahlak yang mulia juga termasuk dalam masalah aqidah
Karena itu kita jangan melupakan pelajaran akhlak mulia, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan aqidah. Beliau berkata,
“Dan mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada (penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan 'Aqiidah al-Waashithiyyah]
Bagi yang sudah “ngaji” Syaitan lebih mengincar akhlak bukan aqidah
Bagi yang sudah “ngaji”, yang notabenenya insyaAlloh sudah mempelajari ilmu tauhid dan aqidah, mengetahui sunnah, mengetahui berbagai macam maksiat, tidak mungkin syaitan mengoda dengan cara mengajaknya untuk berbuat syirik, melakukan bid’ah, melakukan maksiat akan tetapi syaitan berusaha merusak Akhlaknya. Syaitan berusaha menanamkan rasa dengki sesama, hasad, sombong, angkuh dan berbagai akhlak jelak lainnya.
Syaitan menempuh segala cara untuk menyesatkan manusia, tokoh utama syaitan yaitu Iblis berikrar untuk hal tersebut setelah Alloh azza wa jalla menghukumnya dan mengeluarkannya dari surga, maka iblis menjawab:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَْ ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan(menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 16-17)
Kita butuh teladan akhlak dan takwa
Disaat ini kita tidak hanya butuh terhadap teladan ilmu tetapi kita lebih butuh teladan ahklak dan takwa, sehingga kita bisa melihat dengan nyata dan mencontoh langsung akhlak dan takwa orang tersebut terutama para ustadz dan syaikh.
Yang perlu kita camkan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya. Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik anaknya, beliau memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’. (Waratsatul Anbiya’, dikutip dari majalah Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78)
Kemudian pada komentar ketiga,
Baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat
Hal inilah yang kita harapkan, banyak teladan langsung seperti ini. Para ulama pun demikian sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,
“Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]
Sudah lama “ngaji” tetapi kok susah sekali memperbaiki Akhlak?
Memang memperbaiki Akhlak adalah hal yang tidak mudah dan butuh “mujahadah” perjuangan yang kuat. Selevel para ulama saja membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki akhlak.
Berkata Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :
طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا يطلبون الأدب ثم العلم
“Saya mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20 tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah Syamilah]
Dan kita tetap terus menuntut ilmu untuk memperbaiki akhlak kita karena ilmu agama yang shohih tidak akan masuk dan menetap dalam seseorang yang mempunyai jiwa yang buruk.
Imam Al Ghazali rahimahullahu berkata,
“Kami dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” [Thabaqat Asy Syafi’iyah, dinukil dari tulisan ustadz Kholid syamhudi, Lc, majalah Assunah].
Jadi hanya ada kemungkinan ilmu agama tidak akan menetap pada kita ataupun ilmu agama itu akan memperbaiki kita. Jika kita terus menerus menuntut ilmu agama maka insyaAlloh ilmu tersebut akan memperbaiki akhlak kita dan pribadi kita.
Mari kita perbaiki akhlak untuk dakwah
orang salafi itu ilmunya bagus, ilmiah dan masuk akal tapi keras dan mau menang sendiri” [pengakuan seseorang kepada penyusun]
Karena akhlak buruk, beberapa orang menilai dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang keras, kaku, mau menang sendiri, sehingga beberapa orang lari dari dakwah dan menjauh. Sehingga dakwah yang gagal karena rusaknya ahklak pelaku dakwah itu sendiri. Padahal rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]
Karena Akhlak yang buruk pula ahlus sunnah berpecah belah, saling tahzir, saling menjauhi yang setelah dilihat-lihat, sumber perpecahan adalah perasaan hasad dan dengki, baik antar ustadz ataupun antar muridnya. Dan kita patut berkaca pada sejarah bagaimana Islam dan dakwah bisa berkembang karena akhlak pendakwahnya yang mulia.
Jangan lupa berdoa agar akhlak kita menjadi baik
Dari Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:
,أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ, فَإِنَّهُ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّاأَنْتَ
وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَالَايَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَاإِلَّاأَنْتَ
Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)
Dan doa dijauhkan dari akhlak yang buruk,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
Ya Alloh, aku berlindung kepadamu dari akhlak, amal dan hawa nafsu yang mungkar” (HR. Tirmidzi no. 3591, dishohihkan oleh Al-Albani dalam Dzolalul Jannah: 13)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.
Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
27 Ramadhan 1432 H Bertepatan 27 Agustus 2011
 Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis dan memperbaiki akhlak kami

SUMBER :
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslim.or.id
[1] ngaji: istilah yang ma’ruf, yaitu seseorang mendapat hidayah untuk beragama sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dengan pemahaman salafus shalih, istilah ini juga identik dengan penuntut ilmu agama

Sabtu, 10 September 2011

Hakekat Ilmu

Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” [QS. Faathir : 28].
Al-Hafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
أي: إنما يخشاه حق خشيته العلماء العارفون به؛ لأنه كلما كانت المعرفة للعظيم القدير العليم الموصوف بصفات الكمال المنعوت بالأسماء الحسنى -كلما كانت المعرفة به أتمّ والعلم به أكمل، كانت الخشية له أعظم وأكثر

“Yaitu : orang-orang yang takut kepada-Nya dengan sebenar-benarnya hanyalah para ulama yang mengenal-Nya. Karena, setiap kali pengetahuan tentang Allah Yang Maha Agung, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui serta memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama-Nya yang baik; semakin sempurna dan semakin lengkap, maka setiap kali itu pula rasa takut semakin besar dan semakin banyak.
وقال سعيد بن جبير: الخشية هي التي تحول بينك وبين معصية الله عز وجل.
وقال الحسن البصري: العالم مَن خشي الرحمن بالغيب، ورغب فيما رغب الله فيه، وزهد فيما سَخط الله فيه، ثم تلا الحسن: { إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ } .
وعن ابن مسعود، رضي الله عنه، أنه قال: ليس العلم عن كثرة الحديث، ولكن العلم عن كثرة الخشية.
وقال أحمد بن صالح المصري، عن ابن وهب، عن مالك قال: إن العلم ليس بكثرة الرواية، وإنما العلم نور يجعله الله في القلب.
قال أحمد بن صالح المصري : معناه: أن الخشية لا تدرك بكثرة الرواية، وأما العلم الذي فرض الله، عز وجل، أن يتبع فإنما هو الكتاب والسنة، وما جاء عن الصحابة، رضي الله عنهم، ومن بعدهم من أئمة المسلمين، فهذا لا يدرك إلا بالرواية ويكون تأويل قوله: "نور" يريد به فهم العلم، ومعرفة معانيه.
وقال سفيان الثوري، عن أبي حيان [التميمي] ، عن رجل قال: كان يقال: العلماء ثلاثة: عالم بالله عالم بأمر الله، وعالم بالله ليس بعالم بأمر الله، وعالم بأمر الله ليس بعالم بالله. فالعالم بالله وبأمر الله: الذي يخشى الله ويعلم الحدود والفرائض. والعالم بالله ليس بعالم بأمر الله: الذي يخشى الله ولا يعلم الحدود ولا الفرائض. والعالم بأمر الله ليس بعالم بالله: الذي يعلم الحدود والفرائض، ولا يخشى الله عز وجل.
“Sa’iid bin Jubair berkata : ‘Al-Khasyyah adalah sesuatu yang menghalangi antaramu dan maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla’.
Al-Hasan Al-Bashriy berkata : ‘Seorang ‘aalim adalah orang yang takut kepada Ar-Rahmaan (Allah) dalam kesendirian, senang dengan apa yang disenangi oleh Allah, zuhud terhadap apa yang yang dimurkai Allah’ – kemudian Al-Hasan membaca ayat : ‘Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun’ (QS. Faathir : 28).
Dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Ilmu bukanlah dengan banyaknya bicara, akan tetapi ilmu itu adalah banyaknya khasyyah (rasa takut kepada Allah)’.
Telah berkata Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy, dari Ibnu Wahb, dari Maalik (bin Anas), ia berkata : ‘Sesungguhnya ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu itu hanyalah cahaya yang Allah letakkan dalam hati’.
Ahmad bin Shaalih Al-Mishriy berkata : ‘Maknanya adalah, kasyyah itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Adapun ilmu yang telah Allah ‘azza wa jalla wajibkan untuk diikuti, maka ia hanyalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan apa-apa yang datang dari para shahabat radliyallaahu ‘anhum, dan yang datang dari generasi setelah mereka dari kalangan para imam kaum muslimin. Maka ini tidak mungkin didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna perkataannya (Maalik) tentang ‘cahaya’, adalah pemahaman atas ilmu dan pengetahuan akan makna-maknanya”.
Telah berkata Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Abu Hayyaan (At-Tamiimiy), dari seorang laki-laki, ia berkata : “Pernah dikatakan : ‘Ulama itu ada tiga : (1) Yang mengetahui Allah dan mengetahui perintah Allah, (2) Yang mengetahui Allah, namun tidak mengetahui perintah Allah, dan (3) Yang mengetahui perintah Allah, namun tidak mengetahui Allah. Ulama yang mengetahui Allah dan perintah-Nya adalah orang yang takut kepada Allah, mengetahui hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban (yang telah ditetapkan-Nya). Ulama yang mengetahui Allah namun tidak mengetahui perintahnya adalah orang yang takut kepada Allah, namun tidak mengetahui hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban (yang telah ditetapkan-Nya). Ulama yang mengetahui perintah Allah namun tidak mengetahui Allah adalah orang yang mengetahui hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban (yang telah ditetapkan-Nya) namun tidak takut kepada Allah” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim, 6/544-545, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1420 H].
Al-Baghawiy rahimahullah menyebutkan atsar dalam Tafsir-nya :
وقال مسروق: كفى بخشية الله علمًا وكفى بالاغترار بالله جهلا. وقال رجل للشعبي: أفتني أيها العالم، فقال الشعبي: إنما العالم من خشي الله عز وجل.
“Masruuq berkata : ‘Cukuplah rasa takut kepada Allah disebut sebagai ilmu, dan cukuplah durhaka kepada Allah disebut sebagai kebodohan’. Dan seorang laki-laki perah berkata kepada Asy-Sya’biy : ‘Berilah aku fatwa wahai ‘aalim’. Maka ia (Asy-Sya’biy) berkata : ‘Seorang ‘aalim itu hanyalah orang yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla” [Tafsir Al-Baghawiy, 6/419, tahqiq & takhrij : Muhammad bin ‘Abdillah bin An-Namr dkk; Daaruth-Thayyibah, Cet. 4/1417 H].
Allah ta’ala berfirman :
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” [QS. Az-Zumar : 9].
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ (23)
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya” [QS. Az-Zumar : 23].
قال عبد الرزاق: حدثنا مَعْمَر قال: تلا قتادة، رحمه الله: { تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ } قال: هذا نعت أولياء الله، نعتهم الله بأن تقشعر جلودهم، وتبكي أعينهم، وتطمئن قلوبهم إلى ذكر الله، ولم ينعتهم بذهاب عقولهم والغشيان عليهم، إنما هذا في أهل البدع، وهذا من الشيطان.
‘Abdurrazzaaq berkata : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar, ia berkata : Qataadah pernah membaca ayat ini : ‘gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah’ (QS. Az-Zumar : 23), ia berkata : “Ini adalah sifat para wali Allah. Allah telah menyifati mereka bahwasannya gemetar kulit mereka, menangis mata-mata mereka, dan tenang hati-hati mereka ketika mengingat Allah. Allah tidak menyifati mereka dengan hilangnya akal-akal dan mabuk kepada mereka. Sifat seperti ini hanyalah ada pada ahlul-bida’, dan ini berasal dari setan” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/95].[1]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ: قُلْتُ لَجَدَّتِي أَسْمَاءَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأُوا الْقُرْآنَ؟ قَالَتْ:"كَانُوا كَمَا نَعَتَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى، تَدْمَعُ أَعْيُنُهُمْ وَتُقَشْعِرُّ جُلُودُهُمْ"، قُلْتُ: فَإِنَّ نَاسًا هَاهُنَا إِذَا سَمِعُوا ذَلِكَ تَأْخُذُهُمْ عَلَيْهِ غَشْيَةٌ، فَقَالَتْ:"أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ"
Dari ‘Abdullah bin ‘Urwah bin Az-Zubair, ia berkata : Aku bertanya kepada nenekku Asmaa’ radliyallaahu ‘anhaa : “Bagaimanakah sikap yang dilakukan para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika mereka membaca Al-Qur’an ?”. Asmaa’ menjawab : “Mereka, sebagaimana yang Allah ta’ala terangkan kepada mereka, mata mereka meneteskan air mata dan kulit mereka bergetar”. Aku berkata : “Sesungguhnya manusia sekarang ini apabila mereka mendengar Al-Qur’an, membuat mereka pingsan”. Asmaa’ berkata : ‘A’uudzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)” [Tafsir Ibni Abi Haatim, hal. 3249 no. 18383, tahqiq : As’ad Muhammad Thayyib; Maktabah Nizaar Mushthafaa Al-Baaz, Cet. 1/1417 H. Lihat juga atsar ini dengan sanadnya dalam Tafsir Al-Baghawiy, 7/116].
Kondisi ulama dan penuntut ilmu tanpa ruh pernah menjadi keprihatinan Ibnul-Jauziy rahimahullah, sebagaimana perkataannya berikut :
رأيت أكثر العلماء مشتغلين بصورة العلم دون فهم حقيقته ومقصوده؛ فالقارئ مشغول بالروايات، عاكف على الشواذ، يرى أن المقصود نفس التلاوة، ولا يتلمح عظمة المتكلم، ولا زجر القرآن ووعده، وربما ظن أن حفظ القرآن يدفع عنه، فتراه يترخص في الذنوب، ولو فهم، لعلم أن الحجة عليه أقوى ممن لم يقرأ!
والمحدث يجمع الطرق، ويحفظ الأسانيد، ولا يتأمل مقصود المنقول، ويرى أنه قد حفظ على الناس الأحاديث، فهو يرجو بذلك السلامة، وربما ترخص في الخطايا، ظنًّا منه أن ما فعل في الشريعة يدفع عنه!
والفقيه قد وقع له أنه بما قد عرف من الجدال، الذي يقوي به خصامه، أو المسائل التي قد عرف فيها المذهب: قد حصل بما يفتي به الناس ما يرفع قدره، ويمحو ذنبه؛ فربما هجم على الخطايا، ظنًّا منه أن ذلك يدفع عنه! وربما لم يحفظ القرآن، ولم يعرف الحديث، وأنهما ينهيان عن الفواحش بزجر ورفق، وينضاف إليه -مع الجهل بهما- حب الرئاسة، وإيثار الغلبة في الجدل، فتزيد قسوة قلبه!
وعلى هذا أكثر الناس، صور العلم عندهم صناعة، فهي تكسبهم الكبر والحماقة....
.......
وهؤلاء لم يفهموا معنى العلم، وليس العلم صور الألفاظ؛ إنما المقصود فهم المراد منه، وذاك يورث الخشية والخوف، ويري المنة للمنعم بالعلم، وقوة الحجة له على المتعلم
“Aku telah melihat kebanyakan ulama dewasa ini hanya menyibukkan diri dengan simbol ilmu saja tanpa kepahaman akan hakekat dan maksudnya. Seorang qaari’ sibuk dengan riwayat-riwayat dengan menetapi bacaan-bacaan syaadz untuk tujuan tilaawah semata, tanpa menatap akan keagungan Allah dan kandungan Al-Qur’an yang ia baca. Ia menyangka hapalan Al-Qur’an-nya akan dapat memberikan keringanan dalam dosa. Seandainya memahami, niscaya ia akan mengetahui bahwa hujjah Allah kepadanya lebih kuat daripada orang selain dirinya yang bukan qaari’.
Seorang muhaddits yang mengumpulkan jalan-jalan riwayat dan menghapal sanad-sanad, namun tidak merenungkan maksud dari riwayat yang ia bawa, sementara ia memandang dirinya telah menjaga manusia dengan hadits-hadits yang ia bawa; dan ia berharap dengan hal itu semua keselamatan (dari Allah). Ia memberikan keringanan bagi dirinya akan kesalahan-kesalahan dengan sangkaan bahwa jasa yang ia perbuat dalam syari’at dapat melindunginya.
Seorang yang faqiih yang dikenal sebagai ahli debat, kuat dalam perbantahan, serta menguasai berbagai permasalahan madzhab, sehingga fatwa yang diberikannya kepada manusia dapat mengangkat kedudukannya dan menghapus dosanya. Namun seringkali ia melakukan kesalahan dengan sangkaan bahwa apa yang ia lakukan selama ini dalam melindunginya. Seringkali orang seperti ini tidak menghapal Al-Qur’an ataupun mengetahui hadits dimana dua hal tersebut dapat mencegahnya dari berbagai macam kekejian dengan adanya faedah dan larangan. Ia pun – bersamaan dengan kebodohan terhadap Al-Qur’an dan hadits - condong kepada cinta kekuasaan dan kesenangan menang dalam berdebat. Maka, hatinya pun bertambah keras....
........
Mereka itu semua termasuk golongan orang yang tidak memahami makna ilmu. Ilmu itu bukanlah sekedar simbol-simbol lafadh saja. Akan tetapi ilmu itu hanyalah kepahaman akan maksud yang ada padanya dan mewariskan sikap tunduk dan takut, sehingga ia (ilmu) akan menjadi penolong dan hujjah baginya kelak di hadapan Allah ta’ala” [Shaidul-Khaathir, hal. 449-451; Daarul-Qalam, Cet. 1/1425 H].
حدثنا عبد الله بن عبد الرحمن، أنبأنا عبد الله بن صالح، حدثني معاوية بن صالح، عن عبد الرحمن بن جبير بن نفير، عن أبيه جبير بن نفير عن أبي الدرداء قال:  "كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم فشخص ببصره الى السماء، ثم قال: هذا أوان يختلس العلم من الناس حتى لا يقدروا منه على شيئ. فقال زياد بن لبيد الأنصاري: كيف يختلس منا، وقد قرأنا القرآن فوالله لنقرأنه، ولنقرئنه نساءنا وأبناءنا؟ قال: ثكلتك أمك يا زياد إن كنت لأعدك من فقهاء أهل المدينة، هذه التوراة والانجيل عند اليهود والنصارى فماذا تغني عنهم؟ قال جبير: فلقيت عبادة بن الصامت فقلت ألا تسمع ما يقول أخوك أبو الدرداء؟ فأخبرته بالذي قال أبو الدرداء، قال صدق أبو الدرداء إن شئت لأحدثنك بأول علم يرفع من الناس: الخشوع، يوشك أن تدخل مسجد الجامع فلا ترى فيه رجلا خاشعا". هذا حديث حسن غريب.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdulah bin Shaalih : Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Abdurrahmaan bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, Jubair bin Jufair, dari Abud-Dardaa’, ia berkata : Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu tiba-tiba beliau mengangkat pandangannya ke langit dan bersabda : “Inilah waktu ketika ilmu dirampas dari manusia hingga mereka tidak mampu melakukan apapun”. Ziyaad bin Labiir Al-Anshaariy berkata : “Bagaimana ilmu itu dirampas dari kami. Sungguh, kami telah membaca Al-Qur’an. Dan demi Allah, kami benar-benar senantiasa akan membacakannya kepada istri-istri dan anak-anak kami”. Beliau bersabda : “Celaka engkau wahai Ziyaad. Aku mengira engkau adalah salah satu fuqahaa’ penduduk Madiinah. Taurat dan Injil ini ada di sisi Yahudi dan Nashara. Lalu mengapa hal itu tidak mencukupi bagi mereka ?”. Jubair berkata : “Aku pernah menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit, lalu aku berkata : “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan saudaramu Abud-Dardaa’ ?. Lalu aku khabarkan apa yang dikatakan Abud-Dardaa’”. Ia (‘Ubaadah) berkata : “Abud-Dardaa’ benar. Apabila engkau ingin, akan aku katakan kepadamu awal ilmu yang akan diangkat dari manusia, yaitu : Khusyu’ (ketundukan). Boleh jadi engkau masuk masjid Jaami’, namun engkau tidak melihat satupun orang di dalamnya yang khusyu’” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2653, dan ia berkata : “Hadits hasan ghariib”. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy, 3/58-59; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H].
Allah ta’ala berfirman :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Hadiid : 16].
حدثني يونس بن عبد الأعلى الصدفي. أخبرنا عبدالله بن وهب. أخبرني عمرو بن الحارث عن سعيد بن أبي هلال، عن عون بن عبدالله، عن أبيه؛ أن ابن مسعود قال: ما كان بين إسلامنا وبين أن عاتبنا الله بهذه الآية: {ألم يأن للذين آمنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله} إلا أربع سنين.
Telah menceritakan kepadaku Yuunus bin ‘Abdil-A’laa Ash-Shadafiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Sa’iid bin Abi Hilaal, dari ‘Aun bin ‘Abdillah, dari ayahnya : Bahwasannya Ibnu Mas’uud pernah berkata : “Jarak antara keislaman kami dengan celaan Allah kepada kami dengan ayat ini : ‘Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka mengingat Allah’ (QS. Al-Hadiid : 16) adalah empat tahun” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 3027].
حدثنا أبو أسامة عن عثمان بن واقد عن نافع قال : كان عبد الله بن عمر إذا قرأ هذه الآية ( ألم يأن للذين آمنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله ) بكى حتى يغلبه البكاء
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Utsmaan bin Waaqid, dari Naafi’, ia berkata : “’Abdullah bin ‘Umar apabila membaca ayat ini : ‘Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ (tunduk) hati mereka mengingat Allah’ (QS. Al-Hadiid : 16) menangis tersedu-sedu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/237; hasan].
Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وقال الجنيد "الخشوع تذلل القلوب لعلام الغيوب".
وأجمع العارفون على أن (الخشوع) محله القلب وثمرته على الجوارح وهي تظهره و"رأى النبي صلى الله عليه وسلم رجلا يعبث بلحيته في الصلاة فقال: لو خشع قلب
هذا لخشعت جوارحه"
وقال النبي صلى الله عليه وسلم "التقوى ههنا وأشار إلى صدره ثلاث مرات"
وقال بعض العارفين: حسن أدب الظاهر عنوان أدب الباطن ورأى بعضهم رجلا خاشع المنكبين والبدن فقال: يا فلان الخشوع ههنا وأشار إلى صدره لا ههنا وأشار إلى منكبيه.
وكان بعض الصحابة رضى الله عنهم وهو حذيفة يقول: "إياكم وخشوع النفاق فقيل له: وما خشوع النفاق؟ قال: أن ترى الجسد خاشعا والقلب ليس بخاشع" ورأى عمر بن الخطاب رضي الله عنه رجلا طأطأ رقبته في الصلاة فقال: "يا صاحب الرقبة ارفع رقبتك ليس الخشوع في الرقاب إنما الخشوع في القلوب"
“Al-Junaid berkata : ‘Khusyuu’ adalah tunduk/merendahkan hati kepada Allah ta’ala. Orang-orang ahli ma’rifat bersepakat bahwasanya khusyuu’ tempatnya di dalam hati, buahnya ada di (amalan) anggota badan yang menampakkannya. Nabi shalalaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang laki-laki bermain-main dengan jenggotnya ketika shalat. Lalu beliau bersabda : ‘Seandainya hati ini khusyu’, niscaya akan khusyu’ pula angota badan’.[2]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda : ‘Taqwa itu ada di sini’ – dan beliau berisyarat pada dadanya ­­-. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali[3].
Sebagian ahli ma’rifat berkata : ‘Baiknya adab dari seseorang yang nampak merupakan alamat baiknya adab yang ada dalam dada (batin). Sebagian dari mereka pernah melihat seorang laki-laki yang merendahkan kedua pundak dan badannya. Maka ia berkata : ‘Wahai Fulaan, khusyuu’ itu ada di sini’ – dan ia berisyarat pada dadanya – ‘bukan di sini’ – dan ia berisyarat pada dua pundaknya.
Dulu sebagian shahabat radliyallaahu ‘anhum, di antaranya Hudzaifah, berkata : “Berhati-hatilah kalian akan khusyuu’ nifaaq”. Dikatakan kepadanya : ‘Apa itu khusyu’ nifaaq ?’. Ia menjawab : ‘Engkau melihat jasadnya khusyu’ (tunduk), namun hatinya tidak khusyu’ (tunduk)’.
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah melihat seorang laki-laki menundukkan leher/kepalanya amat sangat ketika shalat, lalu ia berkata : ‘Wahai orang yang memiliki leher, angkatlah leher/kepalamu. Ke-khusyu’-an itu tidak terletak di leher, akan tetapi ke-khusyu’-an ada di dalam hati” [Madaarijus-Saalikiin, 1/521; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 2/1393 H].
عَن سعيد بن عبد الرحمن الجمحي أنا ابن ابن عمر: مر برجل من أهل العراق ساقطًا فقال: ما بال هذا؟ قالوا: إنه إذا قرئ عليه القرآن أو سمع ذكر الله سقط، قال ابن عمر: إنا لنخشى الله وما نسقط! وقال ابن عمر: إن الشيطان ليدخل في جوف أحدهم، ما كان هذا صنيع أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم
Dari Sa’iid bin ‘Abdirrahmaan Al-Jumahiy : Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Umar, ia berjalan melewati seorang laki-laki dari kalangan penduduk ‘Iraaq yang terjatuh. Maka ia berkata : “Ada apa gerangan dengan orang ini ?”. Orang-orang menjawab : “Sesungguhnya ia apabila dibacakan kepada Al-Qur’an atau mendengar dzikrullah terjatuh”. Ibnu ‘Umar berkata : “Sesungguhnya kami (para shahabat) sangat takut kepada Allah, namun kami tidak sampai terjatuh”. Ibnu ‘Umar melanjutkan : “Sesungguhnya setan masuk ke dalam hati salah seorang di antara kalian. Hal ini bukan termasuk yang dilakukan para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Baghawiy dalam Tafsir-nya, 7/116].
Akhirnya, artikel ini kami tutup dengan riwayat :
أخبرنا أحمد بن سعيد بن بشر قال حدثنا ابن أبي دليم قال حدثنا ابن وضاح قال حدثنا أبو الفضل صالح بن عبيد قال حدثنا سعيد بن عامر الضبعي سيد أهل البصرة غير مدافع عن صالح بن رستم أبي عامر الخزاز عن أيوب السختياني قال قال لي أبو قلابة إذا أحدث الله لك علما فأحدث له عبادة ولا يكن همك أن تحدث به
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Sa’iid bin Bisyr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dulaim, ia bekata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wadldlaah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Fadhl Shaalih bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin ‘Aamir Adl-Dlab’iy, pembesar penduduk Bashrah, dari Shaalih bin Rustum Abu ‘Aamir Al-Khazzaaz, dari Ayyuub As-Sukhtiyaaniy, ia berkata : Telah berkata kepadaku Abu Qilaabah : “Apabila Allah menciptakan ilmu untukmu, maka balaslah Ia dengan beribadah kepada-Nya, dan jangan sampai tujuanmu adalah membicarakan (Dzat)-Nya” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 708 no. 1279, tahqiq : Abu Asybal Az-Zuhairiy; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1414 H; muhaqqiq berkata : “Hasan”].
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم ومحمد بن عبدالله بن نمير - واللفظ لابن نمير - (قال إسحاق: أخبرنا. وقال الآخران: حدثنا) أبو معاوية عن عاصم، عن عبدالله بن الحارث؛ وعن أبي عثمان النهدي، عن زيد بن أرقم. قال:
لا أقول لكم إلا كما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: كان يقول ".....اللهم! إني أعوذ بك من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعوة لا يستجاب لها".
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Ishaaq bin Ibraahiim, Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair – dan lafadh ini milik Ibnu Numair – (Ishaaq berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami, sedangkan yang lain berkata : Telah menceritakan kepada kami) Abu Mu’aawiyyah, dari ‘Aashim, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits; dan dari Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, dari Zaid bin Arqam, ia berkata : Aku tidak akan berkata kepada kalian kecuali sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda : “....Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’ (tunduk), dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak terkabulkan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2722].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 16610, 1st Ramadlaan 1432 H – banyak mengambil faedah dari kitab yang Aafaatul-‘Ilmi oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Sa’iid Raslaan, hal. 86-97; Daar Adlwaais-Salaf, dengan beberapa tambahan].



[1]      Dhahir sanad atsar ini shahih. Muslim mengambil periwayatan Ma’mar dari Qataadah dalam Shahih-nya, sebagaimana dikatakan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal. Akan tetapi beberapa ahli hadits mengkritik periwayatan Ma’mar dari penduduk Bashrah, sedangkan Qataadah adalah ulama Bashrah.
[2]      Maudluu’ (palsu), sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah Adl-Dla’iifah, 1/227-28 no. 110; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1412 H. Rekan-rekan dapat membaca pembahasannya di : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=123411
[3]      Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564, Ahmad 2/277, At-Tirmidziy no. 1927, dan yang lainnya.
 
 
SUMBER : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/08/hakekat-ilmu.html
AddThis

Mengambil Manfaat dari Ilmu

Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah

Saya telah bertemu dengan banyak masyaikh dan urusan yang satu berbeda dengan lainnya, dan tingkatan ilmu mereka berbeda-beda. Dan yang keberadaannya paling bermanfaat bagiku adalah yang senantiasa mengamalkan ilmunya, walaupun ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi dari mereka.




Saya telah bertemu dengan sekelompok ahli hadits yang menghapal & mengetahui banyak hadits, namun mereka berbuat ghibah dengan mengatasnamakan jarh wa ta’dil, mengambil bayaran uang dari meriwayatkan hadits, dan mereka tergesa-gesa dalam memberikan jawaban-jawaban, walaupun mereka salah, agar mereka tidak kehilangan status mereka.



Saya telah bertemu ‘Abdul Wahhaab Al-Anmaati, ia berada di atas manhaj salaf. Orang tidak akan mendengar beliau berbuat ghibah ataupun mengambil bayaran untuk mengajar hadits. Setiap kali saya membacakan hadits yang mengandung pelembut hati, ia selalu menangis. Saya masih sangat muda pada saat itu, (tetapi) tangisnya mempengaruhi hatiku. 



Saya telah bertemu Abu Mansur Al-Jawaaliqii, ia sangat pendiam, sangat berhati-hati akan apa yang dikatakannya, teliti dan ilmiah. Kadang-kadang ia ditanya, (dengan pertanyaan) yang kelihatan mudah; pertanyaan yang kita para pemuda akan tergesa-gesa untuk menjawabnya, tetapi ia akan menahan diri untuk menjawab sampai ia yakin. Ia terbiasa banyak puasa dan sering diam.



Karena itu, saya lebih mengambil manfaat dari dua orang di atas daripada orang lain, dan yang saya pahami dari sini adalah, ‘membimbing orang dengan perbuatan lebih berhikmah daripada dengan kata-kata’. Jadi demi Allah, seseorang harus mengamalkan apa yang ia ketahui karena ini merupakan dasar yang paling utama. Dan orang yang miskin, yang benar-benar miskin adalah seseorang yang menghabiskan umurnya untuk belajar apa yang tidak ia praktikkan, karena itu ia kehilangan kenikmatan dunia dan kebaikan akhirat, datang dalam keadaan bangkrut (di Hari Perhitungan) dengan bukti-bukti nyata yang memberatkan dirinya sendiri.





Taken from “Saydul-Khaatir” (138) by Imaam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah, translation in English by Hishaam ibn Zayd (www.troid.org) adapted to Bahasa Indonesia by Tami for Jilbab Online (www.jilbab.or.id)

http://jilbab.or.id/archives/219-mengambil-manfaat-dari-ilmu/

Kamis, 08 September 2011

Bantahan Syubhat ‘Alawi al-Maliki Dan ‘Abdurrahman bin Sa’di

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi

Saat sampai kepadaku syubhat berupa kisah dialog antara as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’di, mudah-mudahan Allah merahmati keduanya- saya tidak berminat menjawabnya pada waktu ini, mengingat kesibukanku dalam mendakwahi Nasrani dan Syi’ah. Di samping itu saya tidak ingin mengusik kedamaian antara kami dan saudara kami -meskipun kami berselisih dengan mereka, namun mereka akan tetap menjadi saudara kami, karena kami bersepakat dengan mereka dalam ushul (pokok) agama ini dan banyak sekali dalam furu’ (cabang)nya-. Akan tetapi saya terpaksa menjawab syubhat ini tanpa menundanya, karena melihat pentingannya, bahayanya, dan penyebarannya. Juga karena syubhat tersebut sampai kepada saya dari orang yang tidak mungkin saya menolak permintaannya, yaitu Akhi al-Ustadz Agus Hasan Bashori hafizhahullah. Berikut ini adalah teks dari syubhat tersebut:
Suatu ketika, as-Sayyid ‘Alwi bin Abbas sedang duduk di dalam halaqahnya di Masjidil Haram Makkah. Sementara di sisi lain bagian Masjidil Haram duduk pula as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy, penulis kitab Tafsir (Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan) sementara manusia sedang dalam shalat dan thawaf mereka. Kala itu, langit tengah membawa mendung, kemudian turunlah hujan, dan tertumpah dari talang Ka’bah. Maka orang-orang Hijaz, sebagaimana kebiasaan mereka, berhamburan menuju air yang tumpah dari talang Ka’bah untuk mengambil dan menunangkannya ke baju dan tubuh mereka guna bertabarruk dengannya.
Maka terkejutlah ahlul hasbah dari kalangan Badui dan menganggap bahwa manusia telah datang dengan kesyirikan dan menyembah selain Allah!!! Jadilah mereka kemudian berkata kepada ahlul Hijaz tersebut, ‘Wahai orang-orang musyrik, syirik… syirik….!’
Maka bubarlah orang-orang tersebut, kemudian berpaling menuju halaqah as-Sayyid ‘Alawiy, lalu mereka bertanya kepadanya (tentang hal itu). Lantas diapun membolehkan mereka untuk melakukan hal itu dan menganjurkannya. Maka untuk kedua kalinya, orang-orang itu berhamburan menuju talang Ka’bah untuk mengambil air tanpa menghiraukan ahlul hasbah yang badui tersebut. Kemudian orang-orang itu berkata kepada mereka, ‘Kami tidak akan mempedulikan kalian setelah as-Sayyid Alawiy bin ‘Abbas memberikan fatwa kepada kami…’
Maka orang-orang Badui itupun pergi ke halaqah as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy untuk mengadukan as-Sayyid ‘Alawiy kepadanya. Lantas Ibnu Sa’diy pun mengambil sorbannya lalu pergi dan duduk di sisi as-Sayyid dengan adab yang agung, sementara manusia berkumpul di sekitar keduanya. Kemudian Ibnu Sa;diy berkata kepada as-Sayyid, ‘Apakah benar wahai Sayyid, bahwa Anda telah berkata kepada manusia bahwa terdapat keberkahan pada air ini?!
Maka berkatalah as-Sayyid, ‘Bahkah saya katakan, terdapat dua keberkahan!! ’
Ibnu Sa’di berkata, ‘Bagaimanakah yang demikian itu?’
As-Sayyid menjawab, ‘Dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi…” (QS. Qaaf: 9)
Dan Dia berfirman tentang Ka’bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (٩٦)
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 96)
Maka keduanya sekarang adalah dua keberkahan; satu keberkahan air langit, dan keberkahan Ka’bah ini.’
Maka takjublah as-Syaikh Ibnu Sa’di seraya berkata, ‘Subhanallah, bagaimana kita bisa lalai dari hal ini?’ lantas diapun berterima kasih kepada as-Sayyid dan meminta izin untuk pergi.
Maka berkatalah as-Sayyid kepadanya, ‘Tenang wahai Syaikh, apakah Anda melihat orang-orang badui tersebut? Sesungguhnya mereka menyangka bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang itu adalah sebuah kesyirikan. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan manusia dan melemparkan tuduhan syirik kepada mereka dalam perkara ini hingga mereka melihat orang seperti Anda menahan mereka, maka bangkitlah menuju talang Ka’bah, lalu ambillah air darinya dihadapan mereka hingga mereka menahan diri dari manusia.’
Maka tidak ada apa pun dari Ibnu Sa’di melainkan dia bangkit dan pergi lalu membuka bajunya, mengambil air dan bertabarruk dengannya. Lalu pergilah orang-orang badui itu dari manusia.
As-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah memberitakan kepadaku dengan kisah ini dalam Tsabatnya.

Jawab:
Saya memohon pertolongan kepada Allah, dan saya banyak bersyukur dan memuji Allah karena syubhat ini dimintakan jawabannya dari saya bukan dari ahli ilmu selain saya. Hal itu bukan karena ilmu saya yang sederhana ini, akan tetapi karena suatu perkara yang para pembaca akan mengetahuinya  dari sela-sela jawaban saya.
Sesungguhnya kisah buatan (atau fiktif) ini, saat memperhatikannya, menjadi jelas bahwa orang yang mengarangnya terjerumus pada banyak kesalahan fatal. Pengarang ini meninggalkan banyak jejak bagi kejahatannya, bukan hanya satu jejak.
Karena perhatian saya agar pembahasan ini menjadi pembahasan yang ilmiah lagi menyeluruh yang mencangkup segala sisinya, maka saya membagi pembahasan ini menjadi sepuluh bagian. Pertama, sanad riwayat kisah; kedua, matan (isi, kandungan) kisah; ketiga, rincian riwayat; keempat, perbandingan riwayat; kelima, pandangan sejarah; keenam, perselisihan redaksional; ketujuh, tujuan dari periwayatan kisah; kedelapan, diagnosa kejiwaan dan psikologi; kesembilan, perbandingan antara as-Syaikh bin Sa’diy dengan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki; kesepuluh, Risalah untuk ummat.

Sanad Periwayatan:
Saat melihat kepada sanad periwayatan, kami mendapatinya dalam keadaan rapuh. Tidak ditemukan sanad shahih lagi terpercaya yang sambung sampai kepada as-Sayyid ‘Alawiy Maliki secara langsung. Sekalipuan ini sudah cukup menjadi dalil yang mu’tabar atas runtuhnya dan tertolaknya riwayat tersebut. Terutama bahwa penulis kisah fiktif itu adalah orang bayangan yang tidak dikenal jati dirinya. Dimana dia menaruh kisah ini di dunia maya yang kemudian dikutip oleh orang-orang tanpa ilmu, pemahman atau klarifikasi. Lalu mengklaim bahwa as-Syaikh Bayangan itu telah mendengar riwayat itu dari as-Sayikh ‘Abdul Fattah Rawwah. Di sinilah riwayat tersebut jatuh berantakan, dan terbuka kedustaannya sama sekali. Yang demikian itu karena as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah adalah tetangga dekat kami di Makkah, di distrik al-Hujun. Dimana tidak terpisah antara rumah kami dengan rumah Syaikh kecuali oleh satu rumah saja. Saya sendiri kenal dengan as-Syaikh Rahimahullah, dan sepanjang hidup saya, saya tidak pernah mendengar darinya, atau dari seorang pun dari penduduk distrik, atau dari murid-murid beliau yang telah menukil kisah ini dari beliau hingga beliau wafat Rahimahullah.
Agar saya tidak meninggalkan satu kesempatan bagi mereka yang menentang dengan meragukan ucapan saya, maka sesungguhnya saya telah menelephon putra beliau, yaitu Ibrahim pada hari Selasa yang bertepatan dengan 24 Rabiutstsaniy 1432 H (29 Maret 2011) pada jam 12 siang, dimana saya bertanya kepadanya jika dia pernah mendengar kisah ini suatu hari dari ayahandanya di dalam mejelis ilmuanya. Maka dia pun menafikannya dari ayahandanya sama sekali. Dan dia menyebut bahwa ayahandanya memiliki delapan belas kitab yang semuanya terdapat di Perpustakaan Masjidil Haram, dan tidak ada satu pun kitab-kitab itu yang berisi kisah ini. Dan yang mengagetkan, sesungguhnya saya bertanya kepadanya, jika ayahandanya berkeyakinan akan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah, maka diapun menafikan keyakinan ini dari ayahandanya.
Sesungguhnya saya selalu siap kapan saja bagi siapa saja yang ingin bertemu dengan putra Syaikh, saya menjamin dan menjanjikan hal itu di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Dia adalah sebaik-baik saksi.
Sebagaimana kami di majalah Qiblati akan menerbitkan –dengan izin Allah- VCD (video) untuk menguatkan persaksian Ibnu as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah dan saksi lainnya.
Saya kira dengan demikian, kita patut “bertakbir empat kali” atas jenazah sanad riwayat kisah tersebut setelah saya menghadirkan dalil qath’i yang membatalkannya.

Matan Riwayat:
Saat kita mengikuti isi dari kisah ini, maka kita mendapati bahwa kisah ini mengandung berbagai perselisihan syari’at yang jelas. Argumentasi yang mereka klaim bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki berdalil dengannya adalah argumentasi dengan Qiyas yang batil lagi tidak benar. Dimana beliau membuktikan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi…” (QS. Qaaf: 9)
Kemudian ia  menjadikannya bercampur dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ (٩٦)
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 96)
Agar para penuntut ilmu bisa memahami kesalahan argumentasi yang rancu ini, pertama-tama kita harus memberikan batasan pemahaman dan makna dari al-barakah (keberkahan) yang disebutkan dalam dua ayat tersebut.
Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: [لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا] maksudnya adalah bahwa rumah ini (Ka’bah) diberkahi oleh Allah, akan tetapi bukanlah makna keberkahan dalam rumah ini dengan kita membuat segala yang kita kehendaki, lalu mengusap-usap tembok Masjidil Haram, atau lantainya, atau Maqam Ibrahim, atau dengan sebagian tempat dari Ka’bah yang tidak ada dalil pun yang menunjukkan perintah pengusapannya, atau dengan apa yang tumpah dari air hujan; bukan ini makna keberkahan tersebut.
Akan tetapi keberkahan yang dimaksud adalah bahwa keberkahan rumah tersebut ada pada kesinambungan kunjungan manusia kepadanya tanpa terputus; penunaian haji dan umrah; diraihnya pahala dengan tambahan pahala satu shalat hingga menjadi seratus ribu shalat; i’tikaf di masjidil Haram, dan membaca al-Qur`an padanya.
Inilah keberkahan Ka’bah yang hakiki, yang sungguh disayangkan tidak difahami oleh as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sebagaimana yang diinginkan oleh sang pengarang kisah buatan ini. Dimana dia telah berbuat buruk kepada beliau dari sisi keinginan baiknya ini.
Adapun keberkahan yang dimaksud dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala: [وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا], maka demikian juga, telah hilang dari pikiran as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sebagaimana yang dikehendaki oleh sang pengarang.
Pemahaman yang benar bagi keberkahan tersebut telah jelas dalam ayat tersebut secara ekplisit, dimana ayat tersebut berbunyi:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ (٩)
“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam…” (QS. Qaaf: 9)
Maksudnya adalah bahwa Dia menurunkan air yang bermanfaat dari langit, dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menumbuhkan bumi, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman. Dan diantara hasilnya adalah manusia mengambil manfaat dan memakannya. Maka hujan adalah satu nikmat dari sekian nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengannyalah ada kehidupan manusia, hewan dan bumi. Dengan turunnya hujan, bumi menumbuhkan segala kebaikannya, meratanya keberkahan, dan banyaknya rizki. Akan tetapi keberkahan di sisi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki –sebagaimana yang digambarkan oleh pengarang kisah- adalah sesuatu yang lain sebagaimana yang sudah kita baca dalam kisah fiktif di atas. Beliau mengqiyaskan air hujan yang diberkahi dengan turunnya di atas Ka’bah yang diberkahi, kemudian dengan demikian beliau menyimpulkan bahwa terdapat dua keberkahan yang saling bercampur (tumpang tindih). Ini adalah sebuah kesalahan besar yang telah mereka lakukan terhadap as-Sayyid ‘Alawiy. Dikarenakan air hujan itu tetap diberkahi sekalipun turun di negeri kafir dan tidak memiliki kekhususan saat turun di Masjidil Haram. Kami meminta mereka untuk menetapkan dalil bahwa air hujan memiliki kekhususan dengan turunnya di Baitul Haram jika mereka mampu. Maka atas dasar apa mereka menjadikan pengkhususan ini dari istinbath yang disebutkan dalam dua ayat tersebut? Dan kami telah menyebutkan serta menjelaskan maksud keberkahan pada keduanya.
Seandainya kami mengalah, bahwa air hujan yang turun dari talang Ka’bah membawa dua keberkahan yang berarti bahwa manusia akan mengambil manfaat besar dengannya, maka jika demikian, bagaimana hal itu bisa hilang dari pengetahuan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak pernah memberikan wasiat kepada umatnya dengan kebaikan agung ini sementara as-Sayyid ‘Alawi Maliki mengetahuinya?
Bagaimana para sahabat, tabi’in dan para imam tidak mengetahui kebaikan agung ini dan as-Sayyid ‘Alawi Maliki mengetahuinya? Maka apakah masuk akal bahwa beliau mengetahui satu perkara yang tidak diketahui oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dan juga para sahabat, tabi’in dan para imam belum pernah mengetahuinya? Yang juga tidak pernah ditemukan satu dalilpun bahwa mereka pernah mengatakan seperti perkataan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki.
Pada hakikatnya, as-Sayyid ‘Alawiy Maliki dengan logika yang datang dalam kisah ini, beliau tidak hanya lebih ‘alim dari as-Sayikh ibn Sa’diy bahkan dia lebih ‘alim dari seluruh sahabat, tabi’in, dan para imam, termasuk di antara mereka adalah al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah yang tidak pernah memberikan peringatan kepada umat terhadap permasalahan ini seperti apa yang dilakukan oleh as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy. Jika al-Imam as-Syafi’i tertinggal dari masalah ini, maka bagaimana tidak tertinggal atas as-Sayikh Ibn Sa’di yang dia lebih kecil daripada al-Imam as-Syafi’i. Kemudian siapa as-Sayikh Ibn Sa’diy di hadapan para sahabat, tabi’in yang mereka tidak tahu masalah ini, dan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki mengetahuinya?!
Termasuk yang penting kita fahami adalah bahwa hujan termasuk perkara yang turunnya terus berulan-ulang. Sekalipun demikian tidak pernah dinukil dengan satu sanad yang shahih bahwa ada salah seorang sahabat atau para imam yang melakukannya atau menganjurkannya. Bahkan dengan sedikit akal, kita akan bisa sampai bahwa seandainya ucapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki adalah benar, maka pastilah para sahabat dan kaum muslimin akan saling berdatangan dari setiap tempat untuk menuju Makkah pada musim hujan untuk mendapatkan dua keberkahan yang agung tersebut. Sekiranya ini tidak pernah terjadi, maka kita bisa mengetahui akan kebid’ahan tujuan periwayatan kisah tersebut dan kedustaan pengarangnya.

Rincian riwayat:
Anda telah mengikuti dalam kisah tersebut bahwa orang-orang Badui saat mereka pergi kepada as-Sayikh ‘Abdurrahman ibn Sa’di lalu mengadukan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki kepadanya, Sayikh bin Sa’di pun pergi ke Majelis as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy dan mendapatinya di sana, kemudian berdialog bersamanya tentang masalah tersebut. Di sini menjadi jelas akan kebohongan dan kedustaan penulis kisah. Sebab, seandainya as-Sayyid ‘Alawiy beriman bahwa air hujan yang turun dari talang ka’bah membawa dua keberkahan, maka pastilah saat itu dia sendiri yang akan berdiri di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan keberkahan tersebut, bukannya duduk di majelisnya! Maksudnya, seharusnya as-Sayikh bin Sa’di tidak mendapati as-Sayyid ‘Alawiy kecuali di bawah talang Ka’bah. Karena hal ini tidak terjadi, maka hal itu merupakan dalil atas kebatilan kisah tersebut.
Demikian juga kita mendapati bahwa manusia saat orang-orang Badui melarang mereka, mereka pergi ke as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di majelisnya. Maksudnya bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sejak awal turunnya hujan tidak berada di bawah talang Ka’bah untuk mendapatkan keberkahan dan keutamaan yang agung tersebut! Maka bagaimana mungkin dia menjadikan keutamaan agung itu lepas darinya?! Di sinlah pengarang kisah dusta tersebut menampakkan bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki bukanlah termasuk para ulama yang mengamalkan ilmu mereka. Maka diapun tanpa sadar telah menghinakan beliau, padahal maksudnya ingin memuliakan beliau.
Sebagaimana sang pengarang menampakkan bahwa orang-orang Badui itu lebih banyak ilmunya dari as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, dikarenakan ucapan dan pengingkaran mereka yang disebutkan dalam kisah adalah kebenaran. Dimana keyakinan keberkahan air hujan yang turun dari talang Ka’bah termasuk sarana kesyirikan dan termasuk syirik ashghor. Adapun jika berkeyakinan bahwa itu merupakan wasilah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau hujan itu yang memberi keberkahan maka menjadi syirik besar. Demikian pula dengan orang mengusap tembok-tembok Masjidil Haram atau Ka’bah atau Maqom Ibrahim dengan berharap keberkahan, maka itu juga termasuk sarana kesyirikan.
Maka kaum muslimin mencontoh dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mengamalkan sunnah Nabi berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
»خُذُوا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ«
“Ambillah dariku oleh kalian manasik kalian.”
Dan beliau bersabda:
»صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ«
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Maka kita diperintahkan untuk shalat sebagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat, dan berhaji sebagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berhaji.
Demikianlah, tanpa sengaja Sang Pengarang telah menjadikan orang-orang Badui pada kedudukan para ulama. Sementara dia jadikan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki tampil sebagai seorang pelaku bid’ah dalam agama, dimana beliau telah memerintahkan sesuatu yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah memerintahkannya, melakukannya, dan tidak pernah mengakuinya, dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, serta para imam, termasuk di antara mereka adalah al-Imam as-syafi’i Rahimahullah yang telah hidup bertahun-tahun di Makkah, dan belum pernah dinukil dari beliau satu perintah pun seperti ini, tidak juga dari seorang pun dari para imam.
Sebagaimana Sang Pengarang menjadikan orang-orang yang mencontoh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta mengikuti sunnah beliau sebagai orang-orang Badui. Sedangkan pelaku bid’ah dalam agama menurut pengarang adalah orang yang mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Yang mengejutkan sekarang, yang wajib kami peringatkan adalah bahwa tidak ada satu ulama ahli tafsir pun yang menyebutkan seperti yang disebutkan oleh as-Sayyid ‘Alawiy Maliki pada tafsir-tafsir mereka untuk kedua ayat tersebut. Padahal jika qiyas ini benar maka seharusnya mereka menyebutkannya sebagai bab tambahan istidlal atas keagungan dan keberkahan Ka’bah. Akan tetapi tidak ada satu ahli tafsir pun yang beristidlal dengan hal itu, maka hal ini menunjukkan atas apa? Bagaimana mungkin pada masa ini datang seorang bodoh yang ingin merendahkan ilmu as-Syaikh ibn Sa’di untuk perkara aneh ini yang umat Islam tidak pernah mengetahuinya sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membawa risalah ini.

Perbandingan Riwayat
Wajib bagi kita untuk mengarahkan satu pertanyaan penting; yaitu mana yang lebih banyak keberkahannya; air zam-zam atau air hujan? Saya kira tidak akan ditemukan satu orang berakal pun yang menjadikan air hujan yang merupakan hasil dari menguapnya air laut itu lebih banyak keberkahannya daripada air zam-zam yang telah disebutkan dalam banyak hadits dengan terang-terangan akan keberkahannya, dan bertabarruk dengannya, serta mencari kesembuhan dengan wasilahnya.  Cukuplah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan air zam-zam, tidak air selainnya untuk memandikan hati manusia termulia, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dengan logika qiyas yang sama, yang diqiyaskan oleh pengarang kisah atas nama as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, kami bertanya, bagaimana seandainya kita menjadikan air zam-zam mancur dari talang Ka’bah? Bukankah air zam-zam akan menjadi lebih agung manfaatnya dengan kondisi ini ataukah air hujan lebih agung?  Lalu mengapa as-Syari’ (Allah) tidak menunjukkan kita untuk mengamalkan hal ini agar mendapatkan keberkahan yang teragung? Padahal bisa saja para khalifah, raja-raja untuk melakukannya, lalu mengapa usaha agung ini tertinggal dari meeka, terutama pada masa mereka terdapat para imam pemuka para ulama?
Saya akan membuat satu permisalan dengan satu riwayat hipotesa yang kemudian kita bandingkan dengan kisaf fiktif tersebut. Semuanya akan menjadi yakin bahwa dengan logika yang sama riwayat hipotesa saya akan mengunggulinya, dan hendaknya orang-orang berakallah yang menghukuminya:
Kasus as-Sayyid ‘Alawiy Maliki hanyalah mandi dengan air hujan saat turun (mancur) dari talang Ka’bah, sementara riwayat hipotesa saya yang akan mengungguli riwayat bikinan tersebut adalah; air zam-zam saya masukkan ke dalam Ka’bah, lalu saya meminumnya dari tempat yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu shalat di dalamnya. Sekarang perhatikanlah perbedaan antara riwayat as-Sayyid ‘Alawiy dan riwayat saya. Dia mengandalkan air hujan sementara saya mengandalkan air zam-zam. Secara sepakat air zam-zam lebih utama dari air hujan. Kemudian mendasarkan keberkahan pada tempat turunnya air hujan saja yaitu atap Ka’bah, dan airnya datang dari luar Ka’bah, sementara saya menyandarkan pada tempat di dalam Ka’bah, dan itu lebih utama secara sepakat. Dia menyandarkan pada mandi, dan saya menyandarkan pada minum, dan minum lebih utama secara sepakat. Sebagai tambahan atas as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, saya menjadikan minum tersebut di tempat yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu shalat di dalam ka’bah, dan tempatnya telah diketahui. Sekarang orang-orang berakal menyaksikan, bukankah setelah perbandingan ini riwayat hipotesa saya lebih kuat dan lebih banyak hujjahnya dari riwayat bikinan tersebut? Akan tetapi pertanyaannya apakah as-Syari’ (Allah yang menetapkan syari’at) telah menunjukkan kepada kita akan kedua riwayat tersebut? Dan apakah para sahabat, tabi’in dan para imam melakukannya? Secara yakin, as-Syari’ tidak pernah menunjukkan kepada kita riwayat as-Sayyid ‘Alawiy yang palsu ini, tidak juga riwayat hipotesa saya. Maka itu menjadi bukti akan kebatilan kedua riwayat tersebut. Maka jika mereka bersikukuh atas kebenaran keberkahan dalam riwayat as-Sayyid ‘Alawi, maka keberkahan yang ada dalam riwayat saya lebih agung.

Pandangan Sejarah:
Sebenarnya apa yang saya sampaikan sudah cukup, tidak perlu pembahasan ini dan pembahasan berikutnya, akan tetapi untuk melepas tanggung jawab dan untuk kelengkapan pembahasan ilmiah ini akan saya lanjutkan dengan sebatas kemampuan saya, siapa tahu sebagian akal bergerak menjauh dari sifat ta’ashshub (fanatik). Untuk  itu saya akan cukup menyebutkan sebagian soal-soal penting yang diharapkan bisa membantu para pencari kebenaran dalam memahami permasalahan dari segala sisinya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
Mengapa kisah ini tidak menyebar saat kelompok shufiy memiliki peran di Makkah, dan baru menyebar pada hari ini saat kelompok shufiy tidak memiliki peran?
Mengapa orang-orang Hadhramaut tidak mengetahui kisah ini sejak hari itu sementara Hadramaut adalah markas Syufiy, sementara orang-orang Indonesia mengetahuinya belakangan ini?
Bukankah termasuk aneh, tidak ada seorang pun yang mengetahui kisah ini dari waktu kejadiannya, dan sepanjang masa itu, kemudian menjadi terkenal dan dikenal setelah kurang lebih enam puluh tahun setelah kejadiannya?
Mengapa kisah ini tidak keluar pada masa hidupnya as-Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah, lalu keluar setelah wafat beliau sementara beliau adalah saksi terakhir atas kisah tersebut sesuai dengan riwayat yang telah diterjemah?
Mengapa Syaikh ‘Abdul Fattah Rawwah tidak memberikan wasiat kepada anak-anaknya sebagaimana dia telah belajar dari gurunya as-Sayyid ‘Alawiy Maliki dalam kehidupannya, atau setelah kematiannya agar mereka mandi dari air hujan yang turun dari talang Ka’bah. Mengapa beliau menjadikan keutamaan ini hilang dari mereka?
As-Sayyid ‘Alawiy Maliki dulu tinggal di distrik yang persis bersebelahan dengan kami, yaitu distrik al-‘Utaibah, dan kisah ini sama sekali tidak pernah diketahui dari orang-orang tua di distrik al-‘Utaibah, atau penduduk distrik al-Hujun yang bersebelahan dengannya dari majelis-majelis mereka. Lalu bagaimana kisah tersebut tidak menyebar di distrik yang as-Sayyid ‘Alawiy Maliki tinggal di sana, serta menyampaikan kajian di dalamnya lalu bisa menyebar di Indonesia? Demikian juga mengapa penduduk Makkah yang kejadian itu terjadi di sana tidak mengetahuinya, lantas orang-orang Indonesia  justru yang mengetahuinya?
Sekalipun kisah ini bukanlah untuk dibanggakan, sebagaimana telah saya jelaskan, karena menunjukkan kebodohan terhadap al-Qur`an dan sunnah nabi, tetapi kami akan mengalah dan menganggapnya sebagai satu kebanggaan besar bagi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki. Maka sesungguhnya jika demikian, lalu mengapa putranya, yaitu as-Sayyid Muhammad ‘Alawiy tidak pernah meriwayatkannya sepanjang hidupnya, sementara dia adalah orang yang paling tahu tentang ayahandanya? Terutama telah ada permusuhan keras antara as-Sayyid Muhammad yang putra ‘Alawiy Maliki itu dengan para pengikut manhaj salaf (wahhabiy)? Maka mengapa dia tidak menggunakannya jika memang itu benar, lalu menyebarkannya dalam satu kitab dari kitabnya, atau satu kaset dari kaset-kasetnya atau dalam kajian video dari kajian-kajiannya? Terutama hal itu sangat dibutuhkan?
Kemudian, mengapa as-Sayyid ‘Abbas, yang dia adalah putra ‘Alawiy Maliki, tidak pernah menceritakan kisah ini sementara dia masih hidup?
Jika kisah ini benar, maka bagaimana kisah ini bisa hilang dari orang-orang shufiah untuk kemudian mereka bisa menggunakannya, merekamnya dengan suara as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sendiri agar menjadi bukti-bukti kemenangan mereka atas pengikut manhaj salaf (wahhabiy)? Dan perlu diketahui bahwa as-Sayyid ‘Alawiy Maliki telah wafat pada tahun 1971 M, dan kala itu kamera video telah banyak, maka mengapa para pengikutnya tidak merekam realitas ini kemudian menetapkannya untuk sejarah?
Jawabannya dengan mudah, mereka tidak melakukannya karena kisah tersebut adalah kisah bikinan (fiktif), tidak benar, dan diada-adakan secara dusta atas  nama kedua Syaikh tersebut, rahimahumallah.
Saya tutup bagian ini bahwa Sang Pengarang yang dusta tidak memberikan tanggal bagi kita akan waktu terjadinya kejadian itu jika benar. Jika tidak, seandainya dia menyebut tanggal begitu saja, maka pekara dia akan terbongkar dengan mudah. Karena kami akan menentukan, jika kala itu dalam musim panas atau dingin. Jika di musim dingin, maka memungkinkan bagi kami untuk menentukannya jika air hujan turun di atas Makkah dengan tanggal tertentu. Atau bisa dari sebagian kitab yang menetapkan jatuhnya air hujan di Makkah, atau juga melalui lembaga penelitian. Yang menyebabkan hal itu mudah adalah karena Makkah tidak seperti Indonesia yang banyak hujan. Air hujan di Makkah paling-paling turun setahun sekali atau kebanyakan dua kali, dan jarang sekali sampai tiga kali. Akan tetapi Sang Pengarang, karena khawatir terbongkar, dia pun diam sama sekali, dan menjadikannya tanpa penegasan seperti halnya cerita yang kita ceritakan kepada anak-anak kita agar mereka tidur.
Terakhir, saya katakan apakah masuk akal air hujan yang turun dari talang Ka’bah memiliki keberkahan seperti yang ada dalam kisah sementara para sahabat, tabi’in dan para ulama tidak bersegera untuk meraih karunia ini, atau pernah dinukil dari mereka, atau mereka menyebutnya dalam kitab-kitab mereka?
Bahkan seaindainya tabarruk (ngalap berkah) dengan cara itu syar’iy (sesuai syariat), pastilah sejarah akan mencatat untuk kita nama-nama para sahabat, tabi’in dan para ulama yang telah menuai keberkahan ini, lalu sukses mendapat karunia agung ini, dan sekiranya bahwa kisah ini tidak terjadi, maka telah tetap kebatilan dan kedustaan kisah ini.

Kesalahan Redaksioanal (Lafzhiyah):
Pengarang kisah ini terjerumus dalam satu kesalahan besar yang tidak sepatutnya terjadi seandainya dia tahu perbedaan masyarakat antara penduduk Najed dan al-Qashim, serta penduduk Hijaz. Maka diantara kesalahan fatal yang terjadi di dalamnya yang menunjukkan akan kedustaannya adalah bahwa dia menyebutkan as-Syaikh bin Sa’di saat datang kepada ‘Alawiy Maliki, dia menyerunya dengan panggilan sayyid, dan pengarang tersebut lupa bahwa penduduk Najed dan al-Qoshim tidak mengatakan kalimat tersebut (gelar sayyid) hingga hari ini. Sementara kami ahlul Hijaz menggunakan panggilan sayyid itu atas setiap orang yang nasabnya sampai kepada al-Husain Radhiallahu ‘Anhu. Adapun selain kami dari penduduk Najed tidak demikian. Penduduk Najed menggunakan panggilan Syaikh atas setiap ahli ilmu, dikarenakan budaya antara kami, penduduk al-Hijaz dan Penduduk Najed berbeda dalam banyak sisi, dan diantaranya adalah sisi ini.
Pengarang tersebut tidak memikirkan hal itu, karena dia tidak menelitinya. Maka tidak terbersit dalam pikiran sama sekali bahwa penduduk Najed dan al-Qoshim -yang ibnu Sa’di berasal dari mereka-, tidak pernah mengucapkan kalimat sayyid, maka terbongkarlah tipu daya dan kedustaan pengarang kisah ini.

Tujuan Periwayatan tersebut:
Kisah fiktif ini tidaklah disusun tiba-tiba, atau tanpa tujuan yang penulisnya berharap bisa merealisasikannya. Akan tetapi –menurut kami- terdapat berbagai tujuan dan dia berusaha untuk merealisasikannya, diantaranya adalah;
Pertama, sampai kepada disyariatkannya keumuman tabarruk.
Penuntut ilmu pada umumnya mengetahui bahwa terdapat satu kelompok yang berusaha keras  dengan segenap kekuatan yang diberikan kepadanya untuk menetapkan tabarruk (ngalap berkah) dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta beristighatsah dengannya dan dengan orang-orang shalih. Mereka berdalil dengannya untuk membolehkan bertabarruk dengan kuburan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sesungguhnya mereka mengatakan pada sisi lain, jika Ka’bah diberkahi sementara dia adalah sekumpulan batu, maka apakah kedudukan Ka’bah bila dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang merupakan makhluk Allah paling utama? Mereka juga mengatakan, jika seorang muslim sangat mulia di sisi Allah dibanding Ka’bah, maka bagaimana kedudukan Ka’bah bila dibandingkan dengan para wali dan orang-orang shalih?
Maka akal mereka pun –mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka- mengambil kesimpulan jika Ka’bah diberkahi, dan ditabarruki, maka bertabarruk dengan para Nabi dan para wali lebih utama untuk dibolehkan. Dan tidak diragukan lagi bahwa kita tidak menyetujui mereka atas bolehnya bertabarruk dengan Ka’bah. Seandainya saja bukan karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) maka pastilah mencium hajar aswad adalah bid’ah. Dan adalah Umar t berkata,
إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَبَّلَكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu adalah sebuah batu, yang tidak bisa mendatangkan madharat dan tidak bisa memberikan manfaat, seandainya bukan karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.”
Oleh karena itulah, tidak boleh mencium kelambu Ka’bah, atau batu-batu ka’bah, atau rukun Yamani. Kita, saat mengusap batu rukun Yamani misalnya, maka itu adalah untuk beribadah, bukan untuk mencari berkah. Mencium hajar aswad pun demikian, bukan untuk meraih berkah, akan tetapi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, dan mengikuti syari’atn-Nya. Dan ucapan Umar Radhiallahu ‘Anhu terdahulu adalah sebaik-baik dalil.

Kedua, menampakkan ulama shufi sebagai orang yang lebih alim dari ulama wahhabiy. ([1])
Pengarang kisah tersebut bersungguh-sungguh dalam merendahkan ilmu dan kedudukan as-Syaikh bin Sa’diy. Dan menampakkannya di hadapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki seperti seorang murid kecil yang belajar dari ustadznya. Dan sesungguhnya saya katakan demi membela as-Sayyid ‘Alawiy Maliki yang sekali-kali tidak mungkin beliau berakhlak dengan akhlaq yang buruk ini dalam pergaulannya dengan para ulama, terutama terhadap orang yang lebih banyak ilmu dan lebih tua usianya. Sayyid ‘Alawiy Maliki Rahimahullah dikenal di antara penduduk Makkah dengan adab dan akhlaq tingginya. Dan pengarang telah mensifatkan duduknya as-Syaikh bin Sa’di di sisi as-Sayyid ‘Alawi bahwa dia duduk dengan adap yang agung. Kemudian dia menampakkan as-Syaikh Sa’di mengambil ilmu dari as-Sayyid ‘Alawiy saat sang pengarang menjadikan as-Syaikh bin Sa’di berkata, ‘Bagaimana kita bisa lalai dari ini?’ kemudian dia berterima kasih atas ilmu yang dia belajar darinya. Dan saat dia ingin pamitan, as-Sayyid ‘Alawiy menghentikannya dan memerintahkannya untuk pergi ke tempat tersebut, dan bertabarruk dengan air yang turun dari talang Ka’bah, lalu Syaikh Ibnu Sa’di melakukannya.
Permasalahannya sekarang bukanlah pada pengarang akan tetapi pada akal orang yang membenarkan riwayat lemah seperti riwayat ini. Seandianya saja pengarang tidak mengetahui kebodohan dan sedikitnya ilmu orang yang akan menukil riwayat ini untuk mereka, dia tidak akan berbuat lancang atas mereka. Dia tidak hanya telah menyalahi hak as-Sayikh bin Sa’di, akan tetapi dia juga telah menyalahi hak as-Sayyid ‘Alawiy Maliki, dan juga hak manusia yang telah dia manfaatkan dan peralat, seakan-akan mereka tidak punya akal, membenarkan segala sesuatu yang dikatakan kepada mereka tanpa konfirmasi.
Ketiga; demi kemenangan atas dakwa salafiyah.
Setelah dakwah salafiyah yang mengajak kepada pembenahan aqidah, serta mencabut kebid’ahan dan kembali berpegang teguh dengan kitabullah dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mendapatkan pertolongan besar, dan jejak dakwah mereka benar-benar bisa dirasakan di medan dakwah sekalipun masa dakwahnya pendek, banyak di antara da’i-da’i kebatilan yang merasa rugi dengan penyebaran kelompok ini di setiap tempat, dan semakin bertambah kemarahan mereka dengan keluarnya banyak dari para pengikutnya ke barisan kelompok ini, sementara tidak ditemukan para pengikut manhaj salaf yang bergabung dengan mereka. Yang demikian karena mustahil bagi orang yang telah mengetahui sunnah yang shahih untuk kembali kepada kelompok lamanya. Semua ini menjadikan marah kelompok tersebut yang mengajak dengan berpegang pada adat agama, sebagaimana mereka mewarisinya dari bapak-bapak, dan ulama-ulama mereka. Agama menurut mereka adalah kebiasaan, bukan ibadah. Yang menjadikan orang-orang ghuluw di antara mereka menyusun hikayat bikinan seperti ini. Maka Allah membantah tipu daya mereka di leher mereka, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka dan kita semua. Aamiin.

Diagnosa Kejiwaan dan Psikologi
Saat kita mengikuti cerita buatan lagi dusta seperti ini, dan bagaimana mereka terbang dengan kegembiraan, seolah merasakan kebahagiaan besar karenanya maka kita bisa menyimpulkan secara ilmiah, dan dengan ringkas, bahwa pada diri mereka terdapat simpul kekurangan, dan perasaan takut, yaitu bahwa jalan keberagamaan mereka selalu membutuhkan (merindukan dan mendambakan) penguat-penguat dan penenang-penenang, agar para pengikut mereka merasa puas dengan jalan keberagamaan mereka. Sesunggungguhnya kebahagiaan berlebihan yang mengenai mereka karena penguat dan penenang ini benar-benar sebuah petunjuk bahwasannya mereka selalu hidup dalam keadaan takut dan gelisah dari berpalingnya pengikut mereka untuk mengikuti manhaj salafus shalih. Dikarenakan mustahil bagi orang yang mengetahui manhaj salafus shalih mau menerima selainnya.
Oleh karena itu, ada dari mereka yang sengaja membuat pahlawan khayalan dan menyanyikannya. Lalu mereka pun merayakan kemenangan semu tersebut. Semua hal ini disebabkan oleh perasaan rendah dan kurang. Lalu mereka melupakan kemenangan hakiki, yaitu mengikuti al-Qur`an yang mulia dan sunnah shahihah dengan pemahaman salafus shalih, bukan dengan pemahaman kisah-kisah bikinan, cerita dusta, dan mimpi syaithani (dari godaan setan).

Perbandingan Antara as-Syaikh Sa’diy dan as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy:
Kami, saat kami hidup sejaman dengan dua Syaikh, maka kami mampu membangun satu hukum (kesimpulan), serta menentukan siapa yang lebih ‘alim dari yang lain, tanpa melihat karya tulis masing-masing. Karena kadang orang yang sedikit karyanya lebih banyak ilmunya dari orang yang banyak karyanya. Akan tetapi kami, saat kami ingin membandingkan kadar keilmuan dua syaikh tersebut yang kami tidak sejaman dengan mereka, kami tidak bisa –biasanya- kecuali dengan merujuk kepada karya tulis masing-masing. Pada saat merujuk kepada karya-karya as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy kita menemuinya lebih besar. Cukuplah diantaranya adalah tafsir al-Qur`anul Karim yang berjudul Taisirul Karimil Mannan dalam delapan jilid, dan karya itu menyamai semua kitab-kitab as-Sayyid ‘Alawiy Maliki. Maka lihatlah kepada orang yang dia memiliki delapan jilid tentang Tafsir al-Qur`anul Karim, lalu pengarang kisah itu menjadikannya seperti seorang murid bagi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki! Bahkan dia menjadikannya mendengar ayat-ayat dari as-Sayyid ‘Alawi seakan-akan dia baru mendengarnya, dan belum memahami maknanya -sementara dia adalah pemiliki kitab tafsir- kecuali saat as-Sayyid ‘Alawiy menjelaskannya kepadanya! Subhanallah…!!!
Sebagaimana akan tampak jelas bagi setiap peneliti dan dengan mudah, saat dia memperhatikan kitab-kitab as-Sayikh bin Sa’diy, kekuatan, keluasan dan kedalaman ilmu beliau yang membuat musuh-musuhnya marah. Sungguh beliau dikenal di Masjidil Haram bahwa jika beliau berbicara, maka yang mendengar beliau akan berharap agar beliau tidak diam karena kefashihan, dan kekuatan ilmu beliau sebagaimana yang dituturkan oleh orang yang sezaman dengan beliau. Kemudian datanglah penulis kisah dusta tersebut dan menjadikan ulama besar ini sebagai seorang murid kecil di hadapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki sementara beliau lebih tua dua puluh tahun darinya. Dimana as-Sayikh bin Sa’di dilahirkan pada tahun 1889 M, sementara as-Sayyid ‘Alawiy Maliki pada tahun 1910 M. Yaitu saat as-Sayikh bin Sa’di tengah menyampaikan berbagai pengajian dan pelajaran, kala itu as-Sayyid ‘Alawiy adalah seorang penuntut ilmu yang masih terus mengikuti pelajarannya. Maka jadilah hujjah kami lebih kuat seandainya kami yang membuat kisah tersebut, dan kami jadikan as-Sayyid ‘Alawiy tampak sebagai seorang murid bagi as-Sayikh bin Sa’di di dalamnya. Akan tetapi kami tidak melakukannya karena kami tidak merasakan adanya problem kekurangan, walhamdulillah.
Perlu diperhatikan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan penerimaan dan penyebaran kitab-kitab as-Syaikh bin Sa’di diantara kaum muslimin. Hampir-hampir tidak ditemukan satu perpustakaan keIslaman di negeri Islam dan lainnya kecuali di dalamnya terdapat sejumlah kitab-kitabnya, dan yang paling pokok adalah Taisirul Karimil Mannan¸ sementara sebaliknya, kami tidak menemukan pengaruh apapun bagi kitab-kitab as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di perpustakaan-perpustakaan Islam. Jika ditemukan, maka itu pun jarang. Karena kitab beliau tidak menyebar sebagaimana kitab-kitab as-Syaikh bin Sa’di. Dan termasuk perkara yang mengherankan adalah seorang laki-laki yang pada kisah tersebut tampak lebih mengerti dari para sahabat, tabi’in, dan para imam ternyata tidak ditemukan pengaruhnya di umat ini pada hari ini, sama saja apakah karyanya yang menyebar atau kajiannya yang tersimpan. Ini bukan berarti menyepelekan ilmu as-Sayyid ‘Alawiy Rahimahullah, akan tetapi kita hanyalah mempersoalkan satu kenyataan.

Risalah saya kepada umat ini:
Setelah pembahasan ilmiah untuk membantah syubhat ini, menjadi jelaslah bagi semua orang kadar kedustaan sebagian mereka serta keberaniannya untuk pemalsuan, dan pembuatan kisah-kisah dusta. Maka seandainya mereka itu berada pada zaman orang yang mengumpulkan hadits, dan para ulama al-Jarh wat-Ta’dil, maka pastilah para ahli al-Jarh wat-Ta’dil itu akan berkata tentang mereka -dalam kitab-kitab mereka-, ‘Mereka pendusta, pemalsu hadits, tidak diterima dari mereka tebusan apapun.’ Sementara kita dapati mereka pada hari ini memimpin majelis-majelis ilmu, wala haula wala quwata illa billah.
Bukan hanya sekali ini mereka membikin kisah-kisah dusta dan istidlal-istidlal batil atas para pengikut manhaj salaf, bahkan mereka terus menerus menyuntik medan dakwah dengan banyak kisah khayalan, kebohongan dan kedustaan. Andai saja mereka mencukupkan diri dengan yang demikian, bahkan lebih dari itu mereka menyematkan tuduhan dusta atas para pengikut manhaj salaf, seolah menjadikan seluruh usaha ini adalah proyek mereka dalam kehidupan ini. Mereka tipu diri mereka sendiri, serta waktu mereka karenanya. Lantas mereka pecah persatuan umat ini, dan menambah perselisihannya. Maka buah dari yang demikian adalah terus berlarutnya kebencian, dan permusuhan seraya berkeyakinan bahwa mereka, dengan yang demikian, tengah memberikan pelayanan kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sementara sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri dari perubuatan-perbuatan mereka. Lalu untuk kemaslahatan siapakah apa yang telah mereka lakukan itu? Dan apakah dengan perbuatan tersebut mereka menutup luka umat dan menghimpun kembali urusan mereka yang terpecah belah?
Sesungguhnya umat pada hari ini lebih butuh kepada ukhuwah dan penyatuan barisan di hadapan musuh-musuhnya, dan lebih membutuhkan penebaran kebaikan, serta penyemaian cinta di antara generasi-generasi penerusnya. Terutama di bawah bayang-bayang konspirasi musuh-musuh yang terang-terangan, serta penjajahan mereka terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun demikian, hal itu tidaklah menghalangi kita untuk saling berdialog dalam permasalahan khilaf (yang kita perselisihkan) dengan metode ilmiah dan damai, dengan berpegang dengan dalil, hujjah, dan bukti dari al-Qur`anul Karim dan sunnah nabi yang shahih. Kita saling menjaga ihtiram (pemuliaan), dan penghargaan sebagian kita terhadap sebagian yang lain, seraya bertolak dari landasan al-Imam as-Syafi’i Rahimahullah:
إِنْ صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Jika hadits tersebut shahih, maka itu adalah madzhabku.”
Kami tidak ingin berdialog bersama dengan saudara-saudara kami dengan tujuan untuk mengalahkan dan membela diri (menang-menangan), justru kami memohon kepada Allah agar menjadikan kebenaran itu mengalir dari lisan mereka, kemudian kami mengikutinya. Dan kami di majalah Qiblati membuka untuk mereka dan yang lain untuk bedialog dalam masalah furu’ yang kita berselisih, kemudian silakan masing-masing dari kita menyampaikan dalilnya, yang setelahnya marilah kita jadikan hukum bagi Allah, kemudian bagi para ulama yang obyektif.
Sesungguhnya saya, ketika mengatakan ucapan ini, saya mengetahui dengan jujur dan ikhlas bahwa banyak di antara orang-orang yang menyebarkan berita dusta dan bikinan ini. Mereka menyebarnya dengan niat baik, terutama sebagian mereka memiliki usaha besar yang patut disyukuri dalam menghadapi Syi’ah, Ahmadiyah, dan sekte-sekte sesat lainnya. Dan kami sama sekali tidak akan pernah mengingkarinya, bahkan kami berdo’a agar mereka mendapatkan taufik. Maka mudah-mudahan Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan.
Wahai umat Islam…!
Sekalipun riwayat bikinan ini telah menjadi jelas kedustaannya bagi Anda sekalian, serta kadar kezhaliman yang ditimpakan kepada kami, namun demikian kami tetap mengulurkan tangan-tangan kami, seraya memaafkan, dan meminta kepada orang-orang ikhlas lagi berakal dari mereka untuk membuka lembaran baru dalam hubungan di antara kita. Maka marilah kita tutup masa lalu dan segala isinya, dan marilah kita menjadi generasi masa kini. Sebagian kita menyayangi sebagian yang lain sebagaimana sifat  orang-orang mukmin yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam al-Qur`anul Karim [رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ] ‘saling mengasihi di antara mereka’. Sesungguhnya saya bersaksi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa saya mengatakan ucapan ini dengan jujur, kita semua adalah saudara, tali agama ini tengah mengumpulkan kita, dan itu akan terus seperti itu, kita mau atau mengabaikannya. Maka marilah kita bertakwa kepada Allah terhadap diri-diri kita, dan generasi setelah kita… Inilah tangan kami terbentang bagi setiap orang yang menginginkan saling memaafkan dan persaudaraan.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwa kami, ketakwaan, dan kesuciannya. Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang mensucikannya, Engkaulah wali dan penolongnya. Ya Allah, berikanlah ilham kepada kami kepada petunjuk kami, serta selamatkanlah kami dari keburukan syaitan, dan keburukan diri-diri kami, serta janganlah Engkau pasrahkan kami kepada diri-diri kami sekejap mata pun. Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kami, dan saudara-saudara kami kepada perkara yang di dalamnya terdapat segala kebaikan dan kemaslahatan. (AR)*
[1] Kami ingatkan bahwa tidak boleh menggunakan satu nama dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyebut sebagian dari makhluk-Nya, apakah sendirian, atau sekelompok, apakah untuk celaan atau yang lainnya. Maka ucapan Wahhaby aslinya adalah dari asma Allah al-Wahhab, sehingga penggunaan nama ini atas seseorang mengandung unsur perbuatan buruk terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta lancang terhadap asma-asma-Nya sekalipun hanya penisbatan saja. Maka bagaimana nama Wahhaibiy digunakan sebagai pelecehan? Dan kita qiyaskan atas hal ini kepada asma Allah yang lain seperti Rahmaniy, Quddusiy… dst. Mudah-mudahan Allah mengampuni para ulama yang telah wafat, dari golongan yang mengulang-ulang penamaan Wahhabiy tanpa memahami atau mengetahui bahayanya.
(Majalah Qiblati Th. VI ed. 9)