Sabtu, 01 Januari 2011

MENUNTUT ILMU UNTUK MERAIH MATERI DAN IJAZAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dilema yang berkembang di kalangan para pelajar (mahasiswa) terutama di fakultas-fakultas dan lembaga-lembaga pengajaran, ungkapan bahwa "ilmu telah sirna bersama para ahlinya. Tidak ada seorang pun yang belajar di lembaga-lembaga pengajaran kecuali untuk memperoleh ijazah dan materi." Bagaimana menyangkal mereka dan apa hukumnya bila terpadu antara tujuan materil dan ijazah dengan niat menuntut ilmu untuk kemanfaatan diri dan masyarakatnya?

Jawaban
Pernyataan ini tidak benar, ungkapan-ungkapan seperti ini tidak pantas diungkapkan, siapa yang mengatakan 'binasalah manusia', sebenarnya dia sendiri yang paling binasa.

Seharusnya yang diungkapkan adalah berupa sugesti dan dorongan untuk menuntut ilmu, konsentrasi dengan ilmu, kecuali yang memang benar-benar diketahui demikian adanya.

Diriwayatkan, bahwa ketika ajal hampir menjemput Mu'adz, ia berwasiat kepada orang-orang yang di sekitarnya untuk menuntut ilmu, ia mengatakan, "Sesungguhnya kedudukan ilmu dan iman adalah bagi yang menghendaki dan mengusahakannya." Maksudnya, bahwa kedudukan ilmu dan iman adalah di dalam Kitabullah yang agung dan Sunnah RasulNya yang terpercaya. Karena sesungguhnya seorang alim itu akan mati bersama ilmunya, jadi ilmu itu dicabut dengan matinya para ulama. Namun alhamdulillah, masih ada golongan yang ditolong dalam mempertahankan kebenaran.

Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan sekali pencabutan begitu saja dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tatkala tidak ada lagi orang alim, manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya (tentang ilmu) kemudian merekapun memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga (akibatnya) mereka sesat dan menyesatkan."[1]

Inilah yang ditakutkan, yaitu ditakutkan akan tampilnya orang-orang bodoh yang memberi fatwa dan pelajaran sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Inilah yang dimaksud dari ungkapan "ilmu telah sirna dan yang ada hanya ini dan itu." Dikhawatirkan hal ini akan meredupkan ambisi sebagian orang, walaupun sebenarnya orang yang teguh dan berakal tidak akan tergoyahkan dengan itu, bahkan akan memotivasinya untuk lebih giat menuntut ilmu hingga bisa menutupi kelangkaan/kelowongan.

Orang faham yang ikhlas, yang berpandangan jernih, tidak akan terpengaruh dengan ungkapan seperti tadi, bahkan sebalik-nya ia akan maju dan bersemangat, bergegas dan belajar karena kebutuhannya terhadap ilmu dan untuk mengisi kelowongan, yaitu yang diklaim oleh mereka yang mengatakan bahwa 'tidak ada lagi orang alim. Padahal, walaupun ilmu telah berkurang karena meninggalkan sebagian besar para ahlinya, namun alhamdulillah, masih tetap ada golongan yang dibela dalam mempertahankan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
,
“Artinya : Akan tetap ada golongan dari umatku yang mempertahankan kebenaran, mereka tidak akan dicelakakan oleh orang-orang yang menghinakannya hingga datangnya ketetapan Allah."[2]

Maka hendaknya kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, mendorong dan memotivasi untuk menutupi kelowongan tersebut serta melaksanakan kewajiban di medan kita dan yang lainnya, sebagai manifestasi dalil-dalil syari'at yang menganjurkan hal tersebut, dan untuk memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan mengajari mereka. Di samping itu, hendaknya kita memotivasi untuk melaksanakan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan dalam menuntut ilmu.

Barangsiapa yang mengharapkan ijazah untuk mengokohkannya dalam menyampaikan ilmu dan mengajak kepada kebaikan, maka itu baik, bahkan sekali pun sambil mengharapkan materi dalam hal ini. Jadi, tidak apa-apa belajar dan memperoleh ijazah, yang dengan itu ia bisa menyebarkan ilmu dan dengan itu pula ilmunya bisa diterima. Bahkan boleh juga menerima materi yang dapat membantunya dalam kegiatan penyampaikan ilmu ini, karena, jika bukan karena Allah ta’ala kemudian materi, tentu banyak orang yang tidak dapat belajar dan menyampaikan dakwah. Materi bisa membantu seorang muslim untuk menuntut ilmu, memenuhi kebutuhannya dan menyampaikan ilmu kepada orang lain. Adalah Umar Radiyallahu ‘anhu, ketika ditugasi dengan berbagai pekerjaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya materi (upah), tapi lalu Umar mengatakan, "Berikan saja kepada orang yang lebih membutuhkan daripada aku." maka Nabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Artinya : Ambillah lalu kembangkanlah atau sedekahkanlah. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini sementara engkau tidak mengharapkan dan tidak memintanya, maka ambillah. Adapun yang tidak demikian, maka jangan engkau sertakan dirimu di dalamnya."[3]

Nabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kepada orang-orang yang dibujuk hatinya untuk memotivasi mereka sehingga mereka masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Seandainya itu terlarang, tentu beliau tidak akan memberi mereka. Namun kenyataannya, beliau memberikan itu, baik sebelum maupun setelah penaklukkan kota Makkah.

Pada hari penaklukkan Makkah, ada orang yang diberi seratus ekor unta oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada juga yang diberi banyak harta sehingga tidak takut jatuh miskin. Ini semua untuk menyukakan mereka terhadap Islam dan untuk mengajak mereka ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menetapkan bagian dari zakat untuk orang-orang yang dibujuk hatinya, juga menetapkan bagian bagi mereka dari baitul mal, juga untuk selain mereka, yaitu; para pengajar, para da'i dan lain sebagainya. Wallahu waliyut taufiq.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 67, hal. 157-160, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. HR. AI-Bukhari dalam kitab shahihnya pada kitab Al-'Ilm (100).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Imarah (1290).
[3]. Dikeluarkan oleh AI-Bukhari dalam Az-Zakah (1473), Muslim dalam kitab shahihnya, Az-Zakah (1045).

MENUNTUT ILMU HANYA BERSANDAR PADA KASET-KASET CERAMAH DAN MENGGAMPANGKAN UNTUK DUDUK DI HALAQAH-HALAQAH ILMU


Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya : Semoga Allah Jalla Jalaluhu menjadikan kebaikan bagi Syaikh, sebagian pemuda hanya bersandar pada kaset-kaset dalam menuntut ilmu, dimana mereka menggampangkan dalam duduk di halaqah-halaqah (tempat pengajian) dengan alasan bahwa pelajaran Syaikh ini direkam dan ada kasetnya ?! Apa nasehat Syaikh kepada mereka.

Jawaban
Mendengarkan secara langsung dengan menghadiri pelajaran-pelajaran terdapat beberapa manfaat yang tidak dijumpai dari hanya mendengarkan ilmu (melalui kaset saja). Tidak dapat diragukan lagi bahwa mendengarkan ilmu melalui kaset terdapat faedah dan banyak manfaatnya, karena engkau mendengarkan ilmu dari ahli ilmu yang kokoh ilmunya, akan tetapi di sana terdapat perkara-perkara lain yang tidak didapati jika kita mendengarkan ilmu hanya melalui kaset-kaset diantaranya.

[1]. Duduk bersama para penuntut ilmu lainnya dalam sebuah halaqah di masjid, hal ini memberikan perkara-perkara ibadah dan jiwa bagi penunutut ilmu.
[2]. Mengambil manfaat dari petunjuk pengajar dalam ucapan, pandangan, pendidikan dan pengajarannya, cara mengingatkannya, jalannya, cara menyelesaikan perkara, bagaimana ketika menghadapi suatu perkara, bagaimana cara menjawab, bagaimana bermualamah dengan orang yang menyalahinya, dengan orang yang kurang baik adabnya, dengan orang-orang yang memuliakan secara berlebih-lebihan. Semua adab-adab ini diperoleh dari petunjuk para ulama dengan cara duduk menuntut ilmu dihadapan mereka.
[3]. Selain itu ada hal-hal berupa ibadah (yang dapat dicontoh dari para ulama) seperti rasa takut kepada Allah Jalla Jalaluhu. Sedangkan engkau jika melihat para ulama dalam membimbing manusia dalam beribadah, berdzikir, dan kesungguhan mereka dalam berbuat kebaikan, engkau akan terpengaruh dalam suatu perkara yang engkau memerlukannya yaitu istiqomah dan ketekunan dalam ibadah kepada Allah Jalla Jalaluhu.

Adapun mendengar ilmu melalui kaset, kamu hanya dapat mendengarkan ilmu akan tetapi tidak dapat melihat petunjuk para ulama, ibadahanya, shalatnya, kesegeraannya ke masjid, kesungguhannya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, hafalannya, shalat malamnya dan semisal itu, yang mana hal-hal tersebut hanyalah didapati dari berguru dan mendengarkan ilmu secara langsung. Oleh karena itu Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Guru kami itu, tidaklah kami hadir di majlisnya kecuali manfaat yang kami dapati dari tangisannya (karena takut kepada Allah Jalla Jalaluhu), melebihi manfaat yang kami dapati dari ilmunya”. Beliau mendapatkan ilmu dari guru beliau, akan tetapi faedah yang beliau dapatkan dari tangisan, rasa takut guru beliau kepada Allah Jalla Jalaluhu, dan sikap wara’nya, lebih banyak dari mendapatkan ilmu guru beliau.

Hal-hal ini memberikan pengaruh bagi penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu itu akan sangat terpengaruh oleh sosok kepribadian seorang guru dan akhlaknya, bagaimana gurunya bermu’amalah dan bagaimana gurunya menangis karena takut kepada Allah Jalla Jalaluhu, bagaimana gurunya shalat, bagaimana gurunya banyak membaca Al-Qur’an, bagaimana kekhusuannya, bagaimana ia bermuamalah dengan keluarganya. Sedangkan mendengarkan kaset tidak mengetahui hal-hal seperti itu. Mendengarkan ilmu melalui kaset itu penting, akan tetapi seseorang harus berguru dihadapan ulama sehingga tidak luput darinya sisi-sisi kebaikan lainnya.


MENGHILANGKAN KEBODOHAN

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya : Saya tidak mampu menjadi “Syaikh Rabbani”, karena saya tidak mempunyai kecerdasan yang kuat, dan alasan-alasan lainnya, apa nasihat Syaikh kepadaku?

Jawaban.
Saya menasehatimu sebagaimana saya telah menasehati saudaramu sebelum ini, bukanlah syarat penuntut ilmu itu harus menjadi seorang alim rabbani. Mintalah kepada Allah Jalla Jalaluhu petunjuk, dan anda tidak mengetahui jika anda mampu untuk menekuni ilmu dan menjadi seorang alim yang terkemuka, apakah ini baik ataukah malah bencana bagimu ?

Tujuan menuntut ilmu adalah.
[1]. Anda berniat menghilangkan kebodohan dari diri anda
[2]. Mengharapkan ridha Allah Jalla Jalaluhu, karena anda telah menempuh jalan untuk menunutut ilmu.
[3]. Anda berniat agar hati dan anggota tubuh menjadi baik.

Maka tuntuntlah ilmu, jika Allah Jalla Jalaluhu menempatkan anda kedudukan seorang alim rabbani, ini adalah karunia dan nikmat Allah Jalla Jalaluhu, dan pengetahun tentang hal ini hanya ada padaNya. Dan kalau tidak demikian halnya, maka anda adalah seorang penuntut ilmu. Allah Jalla Jalaluhu berfirman.

“Artinya : Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” [Al-Qashas : 68]

Saya memohon kepada Allah Jalla Jalaluhu agar memberi petunjuk bagi anda dan saudara-saudara anda sekalian, dan bagi seseorang yang mengharapkan kebaikan dan belum mendapatkan apa yang ia harapkan, (saya nasehati dengan syair dari Syinqithi).

“Wahai pemuda janganlah berburuk sangka terhadap ilmu, karena sesungguhnya, buruk sangka terhadap ilmu adakah kebinasaan”.


[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo’dah 1423/Januari 2003. Diterbitkan : Ma’had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya]

DAKWAH TANPA ILMU TIDAK AKAN ISTIQOMAH SELAMANYA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kita sering menemukan sebagian da’i memiliki perhatian terhadap dakwah ke jalan Allah dan ukhuwah di jalan Allah serta saling mencintai di dalamnya, namun tidak memperhatikan persoalan ilmu dan tafaqquh dalam perkara-perkara Ad-Dien dan aqidah serta dalam menghadiri majlis-majlis ilmu, maka apakah komentar Syaikh terhadap hal ini ?

Jawaban
Komentar saya terhadap hal itu adalah : Saya mengatakan bahwa bekal paling pertama yang wajib dipegangi oleh seorang da’i adalah hendaknya menjadi seorang yang ‘alim (berilmu). Karena meremehkan urgensi ilmu artinya seseorang akan tetap dalam kondisi bodoh, dan dakwahnya menjadi buta tanpa mengetahui apa yang benar di dalamnya.

Jika dakwah itu berdiri di atas kebodohan maka setiap orang akan memberikan hukum sesuai dengan apa yang didiktekan oleh akalnya, yang ia sangka benar padahal salah. Maka saya berpendapat bahwa pandangan ini adalah salah ! Wajib ditinggalkan, dan hendaknya seseorang tidak berdakwah kecuali setelah mempelajaari (apa yang ia akan dakwahkan). Oleh karena itu Imam Al-Bukhari Rahimahullah telah membuat bab yang semakna dengan ini dalam kitab Shahihnya dengan menuliskan : Bab Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal, lalu beliau menjadikan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) meliankan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” [Muhammad : 19]

Maka seseorang haruslah mengetahui terlebih dahulu lalu kemudian mendakwahkannya.

Adapun dakwah tanpa landasan ilmu tidak akan istiqomah (konsisten) selamanya. Tidakkah anda melihat jika kita keluar dari Jeddah dan berangkat menuju Riyadh, lalu kita menunjuk seseorang yang kita ketahui sebagai orang yang memiliki prilaku dan niat yang baik, lalu kita katakan padanya : “Kami ingin anda menunjukkan pada kami jalan ke Riyadh”. Namun ia sebenarnya tidak mengetahui jalannya. Maka iapun membawa kita ke perjalanan yang jauh dan panjang, hingga kita letih dan lelah, dan hasilnya adalah bahwa kita tidak sampai ke kota Riyadh. Kenapa ? Karena orang itu tidak mengetahui jalannya.

Maka bagaimana mungkin dapat menjadi petunjuk jalan untuk (mengetahui) syari’at seseorang yang tidak mengetahui syari’at tersebut ? Ini tidak mungkin selama-lamanya.


[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]