Minggu, 25 Desember 2011

Hiasi Diri dengan Sifat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.
Memahami Tawadhu’
Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)
Keutamaan Sifat Tawadhu’
Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)
Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).
Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.
Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.
Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’
قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.
Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.
قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].
‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)
قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”
قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.
Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”
قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.
‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”
قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير
Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”
قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر
Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]
Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Wallahu waliyyut taufiq.




@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 19 Dzulhijjah 1432 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/hiasi-diri-dengan-sifat-tawadhu.html

Senin, 12 Desember 2011

Hukum Kasus Pemerkosaan

hukum-pemerkosa

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Pak Ustadz,
  1. Apa dan pelaku , menurut hukum Islam?
  2. Jika tidak ditemukan empat orang saksi dalam kasus pemerkosaan tersebut, apakah ada cara lain untuk menjerat pelaku?
Jazakumullahu khairan katsira (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan yang banyak).

Jawaban:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh


Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua:
Pertama: Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.
Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.
Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.” (Al-Muwaththa’, 2:734)
Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita yang diperkosa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, ‘Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.’”
Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’, 5:268).
Kedua: Pemerkosaan dengan menggunakan senjata.
Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33)
Dari ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk perampok:
  1. Dibunuh.
  2. Disalib.
  3. Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang. Misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
  4. Diasingkan atau dibuang; saat ini bisa diganti dengan penjara.
Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dia anggap paling sesuai untuk pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud keamanan dan ketenteraman di masyarakat.
Harus ada bukti atau pengakuan pelaku
Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.” (Al-Istidzkar, 7:146)
Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta’zir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.” (Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338).


Dijawab oleh Tim Dakwah Konsultasi Syariah
Artikel www.KonsultasiSyariah.com



 http://konsultasisyariah.com/hukum-kasus-pemerkosaan

Kamis, 08 Desember 2011

Mengucapkan Salam Kepada Lawan Jenis: Bolehkah?

Pertanyaan:
Saya ingin bertanya tentang:
  • Apakah benar bahwa seorang laki-laki muslim memberi salam kepada perempuan lain yang bukan mahramnya hukumnya haram dan adakah dalilnya?
Manshur romi atiq xxxxxxxx@yahoo.com.au
Jawab:
1. Tidak benar bila salam kepada kepada lawan jenis hukumnya haram secara mutlak bahkan hal itu disyari’atkan apabila aman dari fitnah berdasarkan hadits-hadits berikut yang akan kami bagi menjadi dua:
A. Salam wanita kepada laki-laki.
  • Dalil pertama:
عَنْ أُمِّ هَانِئٍ قَالَتْ: ذَهَبْتُ إِلَى النَّبِيِّ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ (بِثَوْبٍ) فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ فَقُلْتُ: أَنَا أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِيْ طَالِبٍ فَقَالَ: مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ.
Dari Ummu Hani’ berkata: “Saya pernah datang kepada Nabi pada tahun fathu (Mekkah) sedang beliau ketika itu sedang mandi. Dan putrinya, Fathimah menutupinya dengan pakaian lalu saya ucapkan salam padanya. Rasulullah bertanya: “Siapa ya?” Jawabku: “Saya Ummu Hani’ binti Abi Thalib”. Nabi bersabda: “Selamat datang wahai Ummu Hani”. (HR. Bukhari no. 6158 dan Muslim no. 336).
Dalam hadits ini Ummu Hani’ mengucapkan salam kepada Nabi padahal dia tidak termasuk mahramnya.
  • Dalil kedua:
عَنِ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ قَالَ: كُنَّ النِّسَاءُ يُسَلِّمْنَ عَلَى الرِّجَالِ
Dari Hasan Al-Bashri berkata: “Dahulu para wanita (sahabat) mengucapkan salam kepada kaum laki-laki”. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1046 dengan sanad hasan).
B. Salam laki-laki kepada wanita.
  • Dalil pertama:
عَنْ أَبِيْ حَازِمٍ عَنْ سَهْلٍ قَالَ: كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. قُلْتُ لِسَهْلٍ: وَلِمَ؟ قَالَ: كَانَتْ عَجُوْزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ –نَخْلٍ بِالْمَدِيْنَةِ- فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُوْلِ السِّلَقِ فَتَطْرَحُهُ فِيْ قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيْرٍ. فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا مِنْ أَجْلِهِ وَمَا كُنَّا نَقِيْلُ وَلاَ نَتَغَذَّى إِلاَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ.
Dari Abu Hazim dari Sahl berkata: “Kami sangat gembira bila tiba hari Jum’at”. Saya bertanya kepada Sahl: “Mengapa demikian?” Jawabnya: “Ada seorang nenek tua yang pergi ke budha’ah -sebuah kebun di Madinah- untuk mengambil ubi dan memasaknya di sebuah periuk dan juga membuat adonan dari biji gandum.  Apabila kami selesai shalat Jum’at, kami pergi dan mengucapkan salam padanya lalu dia akan menyuguhkan (makanan tersebut) untuk kami. Itulah sebabnya kami sangat gembira. Tidaklah kami tidur siang dan makan siang kecuali setelah jum’at”. (HR. Bukhari no. 6248 dan Muslim no. 859).
  • Dalil kedua:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: يَا عَائِشَةُ هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلاَمَ. قَالَتْ: قُلْتُ وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ تَرَى مَا لاَ نَرَى تُرِيْدُ رَسُوْلَ اللهِ.
Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: “Wahai Aisyah, Tadi Jibril mengirimkan salam kepadamu”. Aku (Aisyah) menjawab: “Dan baginya salam dan kerahmatan Allah, engkau (Rasulullah) dapat melihat apa yang tak dapat kami lihat”. (HR. Bukhari no. 6249 dan Muslim no. 2447).
  • Dalil ketiga:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيْدَ الأَنْصَارِيَّةِ: مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِيُّ فِيْ نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا
Dari Asma’ binti Yazid Al-Anshariyyah berkata: “Rasulullah pernah melewati kami -para wanita- dan beliau mengucapkan salam kepada kami”. (Shahih. Diriwayatkan Abu Daud (5204), Ibnu Majah (3701), Darimi (2/277) dan Ahmad (6/452). Lihat pula As-Shahihah no. 823 oleh Al-Albani).
  • Dalil keempat:
عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَزْهَرٍ وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ أَرْسَلُوْهُ إِلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ فَقَالَ: اقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنَّا جَمِيْعًا وَسَلْهَا عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ…
Dari Kuraib, maula Ibnu Abbas bercerita bahwa Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin Azhar dan Miswar bin Makhramah pernah mengutusnya kepada Aisyah, istri Nabi. Mereka mengatakan: Sampaikan salam kami semua kepadanya dan tanyakan padanya tentang shalat dua rakaat setelah Ashar…(HR. Muslim no. 834).
Dalil-dalil di atas secara jelas menunjukkan bolehnya salam kepada lawan jenis. Imam Bukhari membuat bab dalam Shahihnya “Bab salam kaum laki-laki kepada wanita dan salamnya kaum wanita kepada laki-laki”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari juz 11 hal.33-34:
“Imam Bukhari mengisyaratkan dengan bab ini untuk membantah riwayat Abdur Razaq dari Ma’mar dari Yahya bin Abi Katsir, beliau berkata: “Telah sampai khabar kepadaku bahwasanya dibenci kaum laki-laki salam kepada wanita dan wanita salam kepada pria”. Tetapi atsar ini sanadnya maqthu’ atau mu’dhal (jenis hadits lemah). Maksud bolehnya di sini apabila aman dari fitnah.
Al-Hulaimi berkata: “Barangsiapa yang yakin terhadap dirinya selamat dari fitnah, hendaknya dia mengucapkan salam dan bila tidak maka diam lebih utama”.
Al-Muhallab juga berkata: Salamnya kaum laki-laki kepada wanita atau sebaliknya hukumnya boleh apabila aman dari fitnah”. (Lihat pula Syu’abul Iman (6/461) oleh Imam Baihaqi).
  • Kesimpulannya: boleh salam kepada wanita berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan penyebaran salam dengan selalu menjaga kaidah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Membendung kerusakan lebih utama daripada mendapatkan kemaslahatan”.
(Lihat Shahih Adab Mufrad hal.398-399 karya Al-Albani).


www.abiubaidah.com

http://abiubaidah.com/mengucapkan-salam-kepada-lawan-jenis-bolehkah.html/
.

Bisakah Doa Mengubah Takdir?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Afwan, mau tanya. Apakah takdir bisa berubah dengan banyak berdoa?

Jawaban:
Pertanyaan semisal pernah diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dengan redaksi, “Apakah doa memiliki pengaruh mengubah apa yang ditetapkan Allah kepada manusia sebelum terjadi?”
Maka beliau menjawab, “Tidak diragukan lagi, bahwa doa memiliki pengaruh untuk mengubah apa yang telah ditetapkan Allah. Akan tetapi, perubahan karena sebab doa itu pun sebenarnya telah ditetapkan Allah sebelumnya. Janganlah engkau mengira bahwa apabila engkau telah berdoa, berarti engkau meminta sesuatu yang belum ditetapkan. Akan tetapi, doa yang engkau panjatkan itu hakikatnya telah ditetapkan dan apa yang terjadi karena doa tersebut juga telah ditetapkan.
Oleh sebab itu, terkadang kita menjumpai seseorang yang mendoakan kesembuhan untuk  orang sakit, kemudian sembuh. Dan juga kisah sekelompok sahabat yang diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah bertamu di suatu kaum, tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan seekor ular menyengat pemimpin mereka. Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca doa kepadanya agar sembuh. Kemudian para sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk membacakan doa kesembuhan kepadanya. Kemudian mereka (kaum) memberikan sepotong kambing, maka berangkatlah salah seorang dari sahabat untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Maka, hilanglah racun tersebut seperti unta terlepas dari ikatannya. Maka, bacaan doa tersebut berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.
Dengan demikian, doa memiliki pengaruh, namun tidak mengubah ketetapan Allah. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah tertulis dengan lantaran doa yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena ketentuan Allah, begitu juga segala sebab memiliki pengaruh terhadap musabbab (akibat)-nya dengan kehendak Allah. Semua sebab telah tertulis dan semua hal yang terjadi karena sebab itu juga telah tertulis.” (Lihat Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, 2/71).


Sumber: Majalah Al Mawaddah, Vol. 34/-Syawwal 1431 H
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh tim redaksi.

http://konsultasisyariah.com/doa-mengubah-takdir

Membaca Alquran dengan Aurat Terbuka

Membaca Alquran dengan Aurat Terbuka

Membaca Alquran dengan Aurat Terbuka

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb. Ustat, bolehkah membaca Ayat suci Alquran dengan keadaan aurat terbuka seperti mengaji baik laki-laki maupun perempuan?
Dari: Jumain

Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum wanita yang membaca Alquran tanpa memakai jilbab. Apakah semacam ini dibolehkan?
Beliau menjawab, “Untuk membaca Alquran, tidak ada persyaratan bagi wanita untuk menutup kepalanya. Karena tidak disyaratkan untuk menutup aurat ketika membaca Alquran. Berbeda dengan shalat. Shalat seseorang bisa tidak sah kecuali dengan menutup aurat.”
Fatawa Nurun ala ad-Darb: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4805.shtml
Pertanyaan semisal juga pernah diajukan di Syabakah Al-Fatwa Asy-Syar’iyah. Syaikh Prof. Dr. Ahmad Hajji Al-Kurdi memberi jawaban, “Jika tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tindakan itu termasuk melecehkan atau tidak menghormati Alquran, maka perbuatan semacam ini tidak haram. Hanya saja tidak sesuai dengan adab yang diajarkan ketika membaca Alquran.”



Allahu a’lam
Sumber: http://www.islamic-fatwa.net/fatawa
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com


http://konsultasisyariah.com/membaca-alquran-dengan-aurat-terbuka

Senin, 05 Desember 2011

Ulama Salaf, Benteng Kokoh Penjaga Sunnah

بسم الله الرحمن الرحيم
ULAMA SALAF, BENTENG KOKOH PENJAGA SUNNAH

Setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran Islam wajib meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan selalu menjaga kemurnian dan kebenaran agama Islam sampai hari kiamat. Penjagaan Allah ‘Azza wa Jalla terhadap kemurnian agama Islam ini adalah dengan menjaga sumber hukum syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak ada alasan apapun bagi semua manusia, sejak diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir jaman, untuk berpaling dari terangnya kebenaran Islam, ketika Allah Ta’ala meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
{رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا}
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nisaa’ :165).
Penjagaan terhadap kemurnian agama Islam ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr: 9).
Penjagaan terhadap al-Qur’an dalam ayat ini mencakup penjagaan terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kemurnian al-Qur’an pada lafazh (teks) dan kandungan maknanya[1], sedangkan kandungan makna al-Qur’an yang benar dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ}
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menjelaskan kepada umat manusia (kandungan makna al-Qur’an) yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka memikirkan” (QS an-Nahl: 44).
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah penjabar dan penjelas makna al-Qur’an”[2].
Imam Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata: “Firman Allah ini mengandung konsekwensi bahwa syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu terjaga dan sunnah (hadits-hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan senantiasa terpelihara”[3].
Oleh karena itu, beberapa ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) bahwa makna adz-Dzikr dalam ayat di atas bukan hanya al-Qur’an saja, tapi juga mencakup hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena keduanya adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan Allah Ta’ala kepada manusia[4].
Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Hazm berkata: “…Maka benarlah bahwa semua hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang agama adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla, tidak ada keraguan dalam masalah ini. Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ahli bahasa (Arab) dan ahli syariat Islam (ulama) bahwa semua wahyu yang diturunkan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah adz-Dzikr (peringatan) yang diturunkan (oleh Allah). Maka wahyu seluruhnya terjaga (kemurniannya) secara pasti dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua hal yang dijamin penjagaannya oleh Allah ditanggung tidak akan hilang (rusak) sedikitpun dan tidak akan berubah selamanya dengan perubahan yang tidak dijelaskan kebatilan (kesalahannya)…Maka mestilah agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (akan senantiasa) terjaga (kemurniannya) dengan penjagaan langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala…”[5].

Para ulama Ahli hadits penjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara sebab utama yang Allah Ta’ala jadikan untuk penjagaan kemurnian agama-Nya adalah dengan menghadirkan para ulama Ahli hadits di setiap generasi sejak jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat.
Mereka inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
«يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ»
“Akan membawa ilmu agama ini dari setiap generasi orang-orang yang adil (terpercaya) dari mereka, (dan) mereka akan menghilangkan/membersihkan ilmu agama dari (upaya) at-tahriif (menyelewengkan kebenaran/merubah kebenaran dengan kebatilan) dari orang-orang yang melampaui batas, kedustaan dari orang-orang yang ingin merusak (syariat Islam) dan pentakwilan dari orang-orang yang bodoh”[6].
Imam Ibnul Qayiim berkata: “(Dalam hadits ini) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilmu agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa (dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari setiap generasi, supaya ilmu agama ini tidak pudar dan hilang. Ini mengandung rekomendasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para ulama yang membawa ilmu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya (ilmu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[7].
Para ulama Ahli hadits menghabiskan waktu, tenaga dan hidup mereka untuk mempelajari, menghafal dan meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka menjaga kemurnian dan keotentikannya.
Oleh karena itu, imam besar penghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Atbaa’ut taabi’iin yang terkenal, Abdullah bin al-Mubarak, ketika beliau ditanya tentang banyaknya hadits-hadits palsu yang tersebar di tengah kaum muslimin, beliau menjawab: “Para ulama yang menekuni hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mencurahkan) hidup mereka untuk (meneliti dan menjelaskan) hadits-hadits tersebut”, kemudian beliau membaca firman Allah ‘Azza wa Jalla:
{إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ}
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr: 9)[8].
Mereka pantas untuk disebut sebagai makhluk yang khusus diciptakan Allah Ta’ala untuk menjaga kemurnian al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika memuji imam Yahya bin Ma’in: “Di sini ada seorang laki-laki (Yahya bin Ma’in) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (mempelajari dan meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan beliau menyingkap kedustaan orang-orang yang berdusta (dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”[9].
Merekalah yang selalu membela kebenaran agama Islam dan menjaga kemurniaannya sampai di akhir jaman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Senantiasa ada segolongan dari umatku yang (membela dan) memenangkan kebenaran, tidak akan merugikan mereka orang yang meninggalkan mereka, sampai datangnya ketentuan Allah dalam keadaan mereka (tetap) seperti itu”[10].
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘golongan yang selalu ditolong oleh Allah dalam membela kebenaran’ (ath-thaaifah al-manshuurah) dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah para ulama Ahli hadits, sebagaimana ucapan imam Abdullah bin al-Mubarak, imam Ahmad bin Hambal, imam ‘Ali bin al-Madini dan imam al-Bukhari, bahkan imam Ahmad bin Hambal berkata: “Kalau bukan yang dimaksud dengan ath-thaaifah al-manshuurah ini adalah Ahli hadits maka aku tidak tau siapa mereka”[11].
Imam al-Khatiib al-Baghdadi, ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata: “Sungguh Rabb semesta alam (Allah ‘Azza wa Jalla) telah menjadikan ath-thaaifah al-manshuurah (para ulama Ahli hadits) sebagai penjaga agama Islam dan Allah melindungi mereka dari tipu daya para penentang (kebenaran), karena (kuatnya) mereka (dalam) berpegang teguh dengan syariat Allah yang kokoh dan (dalam) mengikuti jejak para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan Tabi’in.
Kesibukan mereka adalah menghafal hadits-hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengarungi padang pasir dan tanah tandus, serta menempuh (perjalanan) darat dan laut rangka mencari/mengumpulkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak akan berpaling dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemikiran dan hawa nafsu manusia.
Mereka menerima (sepenuhnya) syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ucapan maupun perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menjaga (kemurnian) sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghafal dan menyebarkannya (kepada umat), sehingga mereka menjadikan kuat landasan sunnah (di tengah masyarakat), dan merekalah Ahli sunnah dan yang paling memahaminya.
Berapa banyak orang yang (berpemahaman) menyimpang (dari Islam) ingin mencampuradukkan syariat Islam dengan kebatilan, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala membela dan menjaga syariat-Nya dengan para ulama Ahli hadits.
Maka merekalah para penjaga tiang-tiang penopang syariat Islam, penegak perintah dan hukum-hukumnya. Ketika manusia berpaling dari membela syariat Islam, maka merekalah selalu membela dan mempertahankannya.
{أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang yang beruntung” (QS al-Mujaadilah: 22)[12].

Bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan para ulama Ahli hadits terhadap hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jaman para Sahabat radhiallahu ‘anhum, Tabi’in dan para ulama setelahnya

1- Jaman para Sahabat radhiallahu ‘anhum
A. Berhati-hati dan teliti dalam menerima hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Imam adz-Dzahabi mencantumkan biografi sahabat yang mulia, Abu Bakar ash-Shiddik radhiallahu ‘anhu dalam kitab beliau “Tadzkiratul huffaazh”[13] dan beliau menyifati sahabat yang mulia ini sebagai orang yang pertama kali berhati-hati dan sangat teliti dalam menerima hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membawakan sebuah riwayat dari Qubaishah bin Dzuwaib bahwa ada seorang nenek yang datang menghadap Abu Bakar ash-Shiddik radhiallahu ‘anhu untuk meminta bagian dari harta warisan, maka Abu Bakar berkata: “Aku tidak mendapati ada bagian (warisan) untukmu dalam kitabullah (al-Qur’an) dan aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan suatu (bagian warisan) untukmu”. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para Sahabat lainnya, lalu berdirilah al-Mugirah bin Sy’ubah radhiallahu ‘anhu dan beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan (bagian) seperenam (dari warisan) untuk sorang nenek”. Maka Abu bakar bertanya kepada al-Mugirah: “Apakah ada (orang lain) bersamamu (yang menyaksikan hal tersebut)?”. Kemudian Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu mempersaksiakn hal yang sama, sehingga Abu Bakar radhiallahu ‘anhu memberikan bagian tersebut kepada nenek tersebut”.
- Sahabat yang mulia ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, imam adz-Dzahabi berkata tentang beliau: “Umar bin al-Khattab-lah yang memberikan teladan baik kepada para ulama Ahli hadits tentang ketelitian dalam menukil (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan terkadang beliau tidak langsung menerima berita (hadits) dari seseorang jika beliau ragu”[14]. Kemudian imam adz-Dzahabi membawakan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu pernah mengunjungi ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu dan Abu Musa mengucapkan salam tiga kali dari balik pintu, karena tidak diizinkan (tidak dijawab) maka beliau pulang. Lalu ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengutus seseorang kepadanya dan bertanya: “Kenapa kamu pulang?”. Abu Musa radhiallahu ‘anhu menjawab: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian mengucapkan salam tiga kali lalu tidak dijawab maka hendaknya dia pulang”. ‘Umar berkata: “Sungguh kamu harus membawa bukti (saksi) atas hal ini atau aku akan menghukummu”. Kemudian Abu Musa radhiallahu ‘anhu mendatangi para Sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum dalam keadaan pucat mukanya (karena takut) dan beliau berkat: “Apakah ada di antara kalian yang mendengar (sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut)?”. Para Sahabat radhiallahu ‘anhum berkata: “Iya, kami semua mendengarnya”. Lalu mereka mengutus salah seorang dari mereka untuk menemui ‘Umar radhiallahu ‘anhu bersama Abu Musa radhiallahu ‘anhu, kemudian Sahabat tersebut radhiallahu ‘anhu menyampaikannya kepada ‘Umar radhiallahu ‘anhu[15].
- Imam Muslim membawakan riwayat dari Mujahid bin Jabr bahwa Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi (seorang tabi’in) pernah datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, lalu Busyair mulai menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”. Sedangkan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu tidak mendengarkan haditsnya dan tidak menoleh kepadanya. Maka Busyair pun berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, kenapa aku melihatmu tidak mau mendengarkan haditsku? Aku menyampaikan padamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu tidak mau mendengarnya?”. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu menjawab: “Dulunya kami (para Sahabat radhiallahu ‘anhum) jika mendengar seseorang berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda”, maka kami segera mengarahkan pandangan dan pendengaran kami kepadanya, akan tetapi ketika manusia telah menempuh cara-cara yang baik dan buruk (kadang jujur dan kadang berdusta) maka kami tidak mau menerima (hadits) dari mereka kecuali yang telah kami ketahui (kebenarannya)”[16].

B. Takut dalam menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali yang telah diyakini kebenaran penisbatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Dari Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kalau bukan karena takut salah maka sungguh aku akan menyampaikan kepada kalian hadits-hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan, hal ini (karena) aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka”[17].
- Dari asy-Sya’bi dan Muhammad bin Sirin bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu jika menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka wajah beliau akan berubah (karena takut) dan beliau berkata: “Demikianlah (sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau semakna dengannya”[18].
- Dari ‘Abdur Rahman bin Abi Laila beliau berkata: Kami berkata kepada Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu: “Sampaikan kepada kami hadits dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “Kami telah tua dan banyak lupa, sedangkan (menyampaikan) hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berat”[19].

2. Jaman para Tabi’in dan para ulama setelahnya
A. Menanyakan dan memeriksa isnad hadits (mata rantai para perawi sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Imam Muslim membawakan riwayat dari seorang ulama tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin bahwa beliau berkata: “Dulunya para ulama Ahli hadits tidak bertanya tentang isnad hadits, tapi setelah terjadi fitnah (terbunuhnya sahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu dan bermunculannya Ahlul bid’ah) para ulama Ahli hadits berkata (kepada orang yang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam): “Sebutkan kepada kami nama-nama para perawimu”, kemudian mereka melihat (jika para perawi tersebut) Ahlus sunnah maka diterima haditsnya dan (jika para perawi tersebut) Ahlul bid’ah maka tidak diterima haditsnya”[20].

B. Meneliti keadaan dan sifat-sifat para perawi hadits yang berhubungan dengan kebaikan agama, kejujuran dan ketelitiannya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah yang dikenal dengan ilmu al-jarhu wat ta’diil.
Imam al-‘Iraqi berkata: “Hampir-hampir semua kitab rujukan ilmu hadits bersepakat (menjelaskan) bahwa pembicaraan tentang al-jarhu wat ta’diil (mengkritik dan memuji para perawi hadits) adalah perkara yang sejak dulu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian oleh banyak dari para Sahabat radhiallahu ‘anhum, tabi’in dan para ulama setelah mereka”[21].
Dari imam ‘Amr bin ‘Ali al-Fallas beliau berkata: Aku pernah mendengar imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata: “Aku pernah bertanya kepada (para imam Ahli hadits) Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Malik bin Anas dan Sufyan bin ‘Uyainah tentang seorang perawi yang tidak cermat dalam (meriwayatkan) hadits, kemudian ada orang lain yang bertanya kepadaku tentang perawi tersebut, (apa aku harus menjelaskan keadaannya)?”. Mereka menjawab: “(Iya), sampaikan kepadanya bahwa perawi tersebut tidak tidak cermat (dalam meriwayatkan hadits)”[22].

C. Melakukan rihlah (perjalanan jauh) untuk mengumpulkan dan meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam al-Bukhari berkata: “Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu telah melakukan perjalanan jauh selama sebulan (untuk menemui) ‘Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu dalam rangka (menanyakan) sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[23].
Imam Ibnu ash-Shalah menukil dari imam Ahmad, bahwa beliau ditanya: Apakah seorang (penuntut ilmu hadits) melakukan perjalanan untuk mencari (sanad) yang tinggi? Imam Ahmad menjawab: “Iya demi Allah, dengan sungguh-sungguh. Sungguh  imam Alqamah dan al-Aswad (dua ulama besar tabi’in yang tinggal di Irak) ketika sampai kepada mereka hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, maka mereka tidak puas sampai mereka keluar (melakukan perjalanan jauh ke Madinah) untuk menemui ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan mendengarkan hadits tersebut (langsung) darinya”[24].

Penutup
Demikianlah gambaran tentang pembelaan dan penjagaan para ulama Ahli hadits terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari masa ke masa sampai di akhir jaman, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Contoh-contoh yang kami sebutkan hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk penjagaan dan pembelaan mereka terhadap sunnah. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka dengan pahala yang sempurna di sisi-Nya, menjaga mereka yang masih hidup dalam kebaikan dan merahmati mereka yang sudah wafat. Sesungguhnya Dia Ta’ala Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Dzulhijjah 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com

[1] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 429).
[2] Kitab “Ushuulus sunnah” (hal. 2).
[3] Kitab “ar-Raudhul baasim” (hal. 33).
[4] Lihat kitab “al-Hadiitsu hujjatun binafsihi fil ‘aqa-‘idi wal ahkaam” (hal. 22).
[5] Kitab “al-Ihkaam fi ushuulil ahkaam” (1/114).
[6] HR al-Baihaqi dalam “as-Sunanul kubra” (10/209), ath-Thabrani dalam “Musnadusy Syaamiyyiin” (1/344) dan imam-imam lainnya, dinyatakan shahih oleh imam Ahmad (lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” 1/164), dikuatkan oleh imam Ibnul Qayyim (kitab “Thariiqul hijratain” hal. 522) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “Misykaatul mashaabiih” (no. 248).
[7] Kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/163).
[8] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “al-Maudhuu’aat” (1/46) dan as-Suyuuthi dalam kitab “Tadriibur raawi” (1/282).
[9] Dinukil oleh imam al-Mizzi dalam kitab beliau “Tahdziibul kamaal” (31/556).
[10] HSR Muslim (no. 1920).
[11] Semuanya dinukil oleh syaikh al-Albani dalam kitab “ash-Shahiihah” (1/478).
[12] Kitab “Syarafu ashhaabil hadits” (hal. 31).
[13] Kitab “Tadzkiratul huffaazh”(1/2).
[14] Kitab “Tadzkiratul huffaazh”(1/6).
[15] Hadits ini lengkapnya terdapat dalam “Shahih al-Bukhari” (no. 5891) dan “Shahih Muslim” (no. 2153).
[16] HSR Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/12).
[17] HR ad-Darimi (no. 235) dan Ahamad (3/172) dengan sanad yang shahih.
[18] HR ad-Darimi (no. 271), dalam sanadnya ada perawi yang lemah..
[19] HR Ibnu Majah (no. 25) dan Ahmad (4/370), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[20] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/15).
[21] Kitab “at-Taqyiid wal iidhaah” (hal. 440).
[22] Atsar riwayat imam Muslim dalam muqaddimah “Shahih Muslim” (1/16).
[23] Hadits tersebut adalah HR Ahmad (3/495) dan al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 970), dinyatakan hasan oleh imam al-Mundziri dan syaikh al-Albani (Shahih at-targib wat tarhib, no. 3608).
[24] Kitab “’Ulumul hadits” (hal. 223).




http://manisnyaiman.com/ulama-salaf-benteng-kokoh-penjaga-sunnah/