Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Disunnahkan bagi imam atau wakilnya untuk berangkat menunaikan shalat ‘Ied di tanah lapang dan tidak ke masjid, kecuali karena alasan tertentu. [1]
Dan dikecualikan dari demikian yaitu yang berdiam di Makkah yang semoga Allah tambahkan padanya kemuliaan. Oleh karena itu tidak pernah sampai kepada kita satu (riwayat) pun dari pendahulu mereka, bahwa mereka shalat kecuali di masjid mereka (Masjidil Haram) [2]
Dan dalil shalat dua hari raya di lapangan diantaranya :
[1]. Riwayat yang telah lewat pada hadits Ummu ‘Athiyyah mengenai perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluar (shalat) ke lapangan.
[2]. Riwayat yang datang dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika keluar (shalat) di hari Raya, beliau menyuruh menancapkan tombak, lalu meletakkannya di antara tangannya, lalu ia shalat menghadapnya dan para sahabat (mengikuti) di belakangnya. Hal ini dilakukannya sewaktu bepergian, kemudian para pemimpin mengikuti (sunnah) tersebut.
Dalam riwayat lain, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menancapkan tombak di depannya pada ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha kemudian beliau shalat.
Dan dalam riwayat lain :
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat shalat ke lapangan, dan tombak kecil ada ditangannya, ia membawa dan menancapkannya di lapangan, lalu ia shalat menghadapnya� [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].[3]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi’ Fii Shalaatit Tathawwu’, edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Syarhus Sunnah (IV/294)
[2]. Al-Umm oleh Imam Asy-Syafi’i (1/234)
[3]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam beberapa tempat. Beberapa lafazh dan riwayat pada beberapa tempat berikut ini dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Imaam Sutratu Man Khalfahu, (hadits no. 494), dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Ash-Shalaah Ilal Harbati Yaumal ‘Ied, (hadits no. 972) dan dalam bab Hamlil Anazah Awil Harbah Baina Yadayil Imaam Yaumal ‘Ied, (hadits no. 973). Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitaabush Shalaah, bab Sutratul Mushalli, (hadits no. 501).
Penjelasan
Al-‘Alamah Muhammad Nashruddin Al-Albani rahimahullah memiliki risalah (buku) mengenai permasalahan ini, demikian pula Syaikh Ahmad Muhammad Syair telah membahas tentang shalat ‘Ied di lapangan dan tentang keluarnya wanita ke lapangan, ia memasukkan pembahasan tersebut berserta tahqiqnya untuk kitab Sunan At-Tirmidzi (2/421-424)
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Rabu, 25 November 2009
Kemungkaran-Kemungkaran Yang Bisa Terjadi Pada Hari Raya
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].
Diantara Kemungkaran Itu Adalah :
Pertama : Berhias Dengan Mencukur Jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.
Kedua : Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]
Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
Ketiga : Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
"Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari kiamat" [4]
Keempat : Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau.
"Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]
Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"
"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan..." ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]
Kelima : Wanita-Wanita Yang Bertabarruj (Berdandan Memamerkan Kecantikan) Kemudian Keluar Ke Pasar-Pasar Atau Tempat Lainnya.
Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :
"Artinya : Hendaklah mereka 9wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : ........ dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[6], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[7]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]
Keenam : Mengkhususkan Ziarah Kubur Pada Hari Raya : Membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]
Ketujuh : Boros Dalam Membelanjakan Harta Yang Tidak Ada Manfaatnya Dan Tidak Ada Kebaikan Padanya.
Allah berfirman.
"Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]
"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang ... dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [8]
Kedelapan : Kebanyakan Manusia Meninggalkan Shalat Berjama'ah Di Masjid Tanpa Alasan Syar'i Atau Mengerjakan Shalat Ied Tetapi Tidak Shalat Lima Waktu. Demi Allah, Sesungguhnya Ini Adalah Salah Satu Bencana Yang Amat Besar.
Kesembilan : Berdatangannya Sebagian Besar Orang-Orang Awam Ke Kuburan Setelah Fajar Hari Raya ; Mereka meninggalkan shalat Ied, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]
Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[9] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.
Kesepuluh : Tidak Adanya Kasih Sayang Terhadap Fakir Miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]
Kesebelas : Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah.
Bid'ah itu banyak sekali[10]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
"Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]
Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya.
[2]. Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia menyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.
[3]. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah.
[4]. Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. [tidak di salin, -penyalin]
[5]. Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570
[6]. Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An-Nihayah" 4/382
[7]. Berkata Al-Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.
[8]. Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Zur'ah di sisi Ad-Darimi Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.
[9]. Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103
[10]. Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].
Diantara Kemungkaran Itu Adalah :
Pertama : Berhias Dengan Mencukur Jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.
Kedua : Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]
Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]
Ketiga : Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [3]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
"Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari kiamat" [4]
Keempat : Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau.
"Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]
Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"
"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan..." ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]
Kelima : Wanita-Wanita Yang Bertabarruj (Berdandan Memamerkan Kecantikan) Kemudian Keluar Ke Pasar-Pasar Atau Tempat Lainnya.
Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :
"Artinya : Hendaklah mereka 9wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : ........ dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[6], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[7]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]
Keenam : Mengkhususkan Ziarah Kubur Pada Hari Raya : Membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]
Ketujuh : Boros Dalam Membelanjakan Harta Yang Tidak Ada Manfaatnya Dan Tidak Ada Kebaikan Padanya.
Allah berfirman.
"Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]
"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang ... dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [8]
Kedelapan : Kebanyakan Manusia Meninggalkan Shalat Berjama'ah Di Masjid Tanpa Alasan Syar'i Atau Mengerjakan Shalat Ied Tetapi Tidak Shalat Lima Waktu. Demi Allah, Sesungguhnya Ini Adalah Salah Satu Bencana Yang Amat Besar.
Kesembilan : Berdatangannya Sebagian Besar Orang-Orang Awam Ke Kuburan Setelah Fajar Hari Raya ; Mereka meninggalkan shalat Ied, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]
Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[9] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.
Kesepuluh : Tidak Adanya Kasih Sayang Terhadap Fakir Miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]
Kesebelas : Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah.
Bid'ah itu banyak sekali[10]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
"Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]
Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Kemungkinan-kemungkinan yang disebutkan secara umum dilakukan pada waktu haru raya ataupun di luar hari raya, akan tetapi kemungkaran itu lebih besar dan bertambah dilakukan pada hari-hari raya.
[2]. Lihat Fathul Bari 10/351, Al-Ikhtiyar Al-Ilmiyah 6, Al-Muhalla 2/220, Ghidza'ul Albab 1/376 dan selainnya. Al-Akh Syaikh Muhammad bin Ismail telah meneliti dalam kitabnya "Adillah Tahrim Halqil Lihyah" hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, kemudian ia menyebutkan penjelasan ulama tentangnya, dan juga nukilan-nukilan dari kitab-kitab madzhab yang jadi sandaran. Lihatlah kitab yang berharga itu. dan lihat juga "Majallah Al-Azhar" 7/328. Aku telah menulis risalah berjudul "Hukum Ad-Dien Fil Lihyah wat tadkhin" -Alhamdulillah- Kitab itu telah dicetak beberapa kali.
[3]. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 2/50 dan 92 dari Ibnu Umar dan isnadnya Hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al Atsar 1/88 dari Hassan bin Athiyah, Abu Nu'aim dalam Akhbar Ashbahan 1/129 dari Anas, meskipun ada pembicaraan padanya, tetapi dengan jalan-jalan tadi, hadits ini derajatnya Shahih, insya Allah.
[4]. Hadits Riwayat Bukhari 5590 secara muallaq dan bersambung menurut Abu Daud 4039, Al-Baihaqi 10/221 dan selainnya. berkata Al-Hafidzh dalam Hadyu As-Sari 59 : Al-Hasan bin Sufyan menyambungnya dalam Musnadnya, dan Al-Isma'ili, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Abu Nua'im dari empat jalan, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan selain mereka. Aku katakan : Dalam hadits ini ada lafadh-lafadh yang asing, aku akan menjelaskannya dengan berurutan. [tidak di salin, -penyalin]
[5]. Dia dikecualikan berdasarkan nash Al-Qur'anul Karim, lihat "Al-Mughni" 6/570
[6]. Menyimpang dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan keharusan mereka untuk menjaga kemaluan, "An-Nihayah" 4/382
[7]. Berkata Al-Qadli 'Iyadh dalam Masyariqul Anwar 1/79 : Al-Bukht adalah unta yang gemuk yang memiliki dua punuk. Maknanya -wallahu a'lam- wanita-wanita itu menggelung rambut mereka hingga kelihatan besar dan tidak menundukkan pandangan mata mereka.
[8]. Hadits Riwayat Tirmidzi 2416, Al-Khatib dalam Tarikh-nya 12/440 dari Ibnu Mas'ud, padanya ada kelemahan. Akan tetapi ada pendukungnya dari Abi Zur'ah di sisi Ad-Darimi Dzail Tarikh Baghdad 2/163. Dan dari Mu'adz di sisi Al-Khatib 11/441. Maka hadits ini Hasan.
[9]. Lihat Ahkamul Jazaiz hal. 253, Ma'alimus Sunan 1/27 dan ta'liq Syaikh Ahmad Syakir atas Sunan Tirmidzi 1/103
[10]. Lihat beberapa di antaranya dalam kitab A'yadul Islam 58 pasal Bida'ul Iedain
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Dan Amalan Yang Disyariatkan
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".
Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".
MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN
[1]. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".
[2]. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :
"Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".
[3]. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : .... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [Al-Hajj : 28].
Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.
"Artinya : Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].
Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu"
"Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [Al-Baqarah : 185].
Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.
Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.
[4]. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].
[5]. Banyak Beramal Shalih.
Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
[6]. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.
[7]. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi].
[8]. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".
Dalam riwayat lain :
"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.
"Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [Al-Baqarah : 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.
[9]. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.
[10]. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
[Artikel bahasa Arab dapat dilihat di http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm Disalin dari brosur yang diterbitkan oleh alsofwa, tanpa no, bulan dan tahun]
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".
Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".
MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN
[1]. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".
[2]. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :
"Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".
[3]. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala.
"Artinya : .... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [Al-Hajj : 28].
Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.
"Artinya : Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].
Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu"
"Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.
"Artinya : Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [Al-Baqarah : 185].
Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.
Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.
[4]. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].
[5]. Banyak Beramal Shalih.
Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
[6]. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.
[7]. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi].
[8]. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".
Dalam riwayat lain :
"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.
"Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [Al-Baqarah : 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.
[9]. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.
[10]. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
[Artikel bahasa Arab dapat dilihat di http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm Disalin dari brosur yang diterbitkan oleh alsofwa, tanpa no, bulan dan tahun]
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Jika Tertinggal Mengerjakan Shalat 'Ied
Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Jika seorang muslim tertinggal mengerjakan shalat ‘Ied, maka dia shalat dua rakaat sama seperti shalat yang dikerjakan oleh imam shalat ‘Ied. Hal ini didasarkan pada hadits berikut :
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bercerita : “Abu Bakar pernah masuk (ke tempatku) sedang bersamaku terdapat dua orang gadis dari kaum Anshar yang tengah mendendangkan lagu yang biasa dibuat untuk bersahut-sahutan di kalangan kaum Anshar pada peristiwa Bu’ats�, “Aisyah berkata : “Kedua gadis itu bukan penyanyyi�. Maka Abu Bakar pun berkata : “Apakah layak nyanyian-nyanyian syaithan didendangkan di rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?� Sementara peristiwa itu berlangsung pada hari raya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri, dan sekarang adalah hari raya kita�
Dan dalam sebuah lafazh disebutkan : “Bahwa Abu Bakar Radhiyalahu ‘anhu mendatangi ‘Aisyah ketika bersamanya terdapat dua orang budak wanita di Mina. Di mana kedua gadis itu menabuh dan memukul rebana, sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi diri dengan kainnya. Lalu Abu Bakar menghardik keduanya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka wajahnya seraya berkata : “Biarkan mereka berdua, wahai Abu Bakar, karena hari-hari ini adalah hari Raya�. Dan hari-hari tersebut berlangsung di Mina. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. [1]
Sisi penerapan dalil adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sebagai hari raya. Dengan demikian, beliau menisbatkan kata ‘Al-Ied (Raya) pada kata hari. Sehingga sama saja, baik pelaksanaan hari itu bagi individu, jama’ah, perempuan maupun laki-laki.
Hal tersebut diperkuat oleh sabda beliau pada riwayat yang pertama : “Dan ini adalah hari raya kita� Yakni, bagi seluruh umat Islam. Dan umat Islam itu mencakup semua pemeluknya, individu maupun jama’ah.
Penyebutan beliau pada hari-hari tersebut sebagai hari raya menunjukkan bahwa hari-hari tersebut sebagai waktu pelaksanaan shalat ini, karena shalat tersebut memang disyri’atkan untuk dikerjakan pada hari itu. Sehinga dapat diambil kesimpulan bahwa pada hari-hari tersebut berlangsung pelaksanaan, dan waktu pelaksanaan itu berlangsung di akhir, yaitu akhir hari-hari Mina [2] untuk hari raya ‘Idul Adha.
Dari Ubaidillah bin Abi Bakar [3] bin Anas bin Malik, pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bercerita : “Jika Anas tertinggal mengerjakan shalat ‘Ied bersama imam, maka dia akan mengumpulkan keluarganya dan shalat bersama mereka seperti shalatnya imam pada shalat ‘Ied�. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi [4]
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dia bercerita : “Dia mengerjakan dua rakaat dan bertakbir�. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. [5]
Di dalam kitab shahihnya, Al-Bukhari telah membuat bab khusus, yaitu : “Bab Idzaa Faatahul ‘Ied, Yushalli Rak’ataian�. [6]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Barangsiapa yang tertinggal mengerjakan shalat “ied, maka dia mengerjakan dua rakaat seperti shalat imam� [7]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi’ fii Shalaatit Tathawwu’, edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Sunnatul Iedain Li Ahlil Islam, (hadits no. 952). Dan juga di dalam bab Idzaa Faatahul ‘Ied Yushalli Rak’atain, (hadits no. 987). Lafaz dan riwayat diatas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shaalatul ‘Iedain, bab Ar-Rukhsah Fi La’ab Alladzi Laa Ma’shiyata Fiihi Fii Ayyamil ‘Ied, (hadist no. 892)
[2]. Lihat kitab, Fathul baari (II/475)
[3]. Di dalam kitab, Fathul Baari (II/475) disebutkan : “Abdullah bin Abi Bakar bin Anas� Dan yang benar adalah : “Ubaidillah …� sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Sunnatul Kubra, Al-Baihaqi (III/305), sebagaimana yang terdapat di dalam kitab, Taghliiqut Ta’liiq (II/386)
[4]. Hasan lighairihi. Al-Bukhari memberi komentar senada sebagai pembuka di dalam kitab Shahihnya, di dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Idzaa Faatahul Ied Yushalli Rak’atain, Fathul Baari (II/474). Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam kitab As-Sunanul Kubra (III/305). Dalam kitab, Taghliquut Ta’liiq (II/386-387) disebutkan beberapa jalan dan syahidnya. Dan lihat juga Ibnu Abi Syaibah (II/183).
[5]. Shahih kalau bukan karena tadlis Ibnu Juraij. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/183). Dan di ta’liq oleh Al-Bukhari di dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Idzaa Faatahul ‘Ied Yushalli Rak’atain, fathul Baari (II/474)
[6]. Fathul Baari (II/474). Di dalam bab ini disebutkan hadits Aisyah ini dan juga atsar Anas dan Atha.
[7]. Al-Iqnaa’ (I/110)
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Jika seorang muslim tertinggal mengerjakan shalat ‘Ied, maka dia shalat dua rakaat sama seperti shalat yang dikerjakan oleh imam shalat ‘Ied. Hal ini didasarkan pada hadits berikut :
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bercerita : “Abu Bakar pernah masuk (ke tempatku) sedang bersamaku terdapat dua orang gadis dari kaum Anshar yang tengah mendendangkan lagu yang biasa dibuat untuk bersahut-sahutan di kalangan kaum Anshar pada peristiwa Bu’ats�, “Aisyah berkata : “Kedua gadis itu bukan penyanyyi�. Maka Abu Bakar pun berkata : “Apakah layak nyanyian-nyanyian syaithan didendangkan di rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?� Sementara peristiwa itu berlangsung pada hari raya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri, dan sekarang adalah hari raya kita�
Dan dalam sebuah lafazh disebutkan : “Bahwa Abu Bakar Radhiyalahu ‘anhu mendatangi ‘Aisyah ketika bersamanya terdapat dua orang budak wanita di Mina. Di mana kedua gadis itu menabuh dan memukul rebana, sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupi diri dengan kainnya. Lalu Abu Bakar menghardik keduanya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka wajahnya seraya berkata : “Biarkan mereka berdua, wahai Abu Bakar, karena hari-hari ini adalah hari Raya�. Dan hari-hari tersebut berlangsung di Mina. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. [1]
Sisi penerapan dalil adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan sebagai hari raya. Dengan demikian, beliau menisbatkan kata ‘Al-Ied (Raya) pada kata hari. Sehingga sama saja, baik pelaksanaan hari itu bagi individu, jama’ah, perempuan maupun laki-laki.
Hal tersebut diperkuat oleh sabda beliau pada riwayat yang pertama : “Dan ini adalah hari raya kita� Yakni, bagi seluruh umat Islam. Dan umat Islam itu mencakup semua pemeluknya, individu maupun jama’ah.
Penyebutan beliau pada hari-hari tersebut sebagai hari raya menunjukkan bahwa hari-hari tersebut sebagai waktu pelaksanaan shalat ini, karena shalat tersebut memang disyri’atkan untuk dikerjakan pada hari itu. Sehinga dapat diambil kesimpulan bahwa pada hari-hari tersebut berlangsung pelaksanaan, dan waktu pelaksanaan itu berlangsung di akhir, yaitu akhir hari-hari Mina [2] untuk hari raya ‘Idul Adha.
Dari Ubaidillah bin Abi Bakar [3] bin Anas bin Malik, pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bercerita : “Jika Anas tertinggal mengerjakan shalat ‘Ied bersama imam, maka dia akan mengumpulkan keluarganya dan shalat bersama mereka seperti shalatnya imam pada shalat ‘Ied�. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi [4]
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dia bercerita : “Dia mengerjakan dua rakaat dan bertakbir�. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. [5]
Di dalam kitab shahihnya, Al-Bukhari telah membuat bab khusus, yaitu : “Bab Idzaa Faatahul ‘Ied, Yushalli Rak’ataian�. [6]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Barangsiapa yang tertinggal mengerjakan shalat “ied, maka dia mengerjakan dua rakaat seperti shalat imam� [7]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi’ fii Shalaatit Tathawwu’, edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Sunnatul Iedain Li Ahlil Islam, (hadits no. 952). Dan juga di dalam bab Idzaa Faatahul ‘Ied Yushalli Rak’atain, (hadits no. 987). Lafaz dan riwayat diatas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shaalatul ‘Iedain, bab Ar-Rukhsah Fi La’ab Alladzi Laa Ma’shiyata Fiihi Fii Ayyamil ‘Ied, (hadist no. 892)
[2]. Lihat kitab, Fathul baari (II/475)
[3]. Di dalam kitab, Fathul Baari (II/475) disebutkan : “Abdullah bin Abi Bakar bin Anas� Dan yang benar adalah : “Ubaidillah …� sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Sunnatul Kubra, Al-Baihaqi (III/305), sebagaimana yang terdapat di dalam kitab, Taghliiqut Ta’liiq (II/386)
[4]. Hasan lighairihi. Al-Bukhari memberi komentar senada sebagai pembuka di dalam kitab Shahihnya, di dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Idzaa Faatahul Ied Yushalli Rak’atain, Fathul Baari (II/474). Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam kitab As-Sunanul Kubra (III/305). Dalam kitab, Taghliquut Ta’liiq (II/386-387) disebutkan beberapa jalan dan syahidnya. Dan lihat juga Ibnu Abi Syaibah (II/183).
[5]. Shahih kalau bukan karena tadlis Ibnu Juraij. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/183). Dan di ta’liq oleh Al-Bukhari di dalam Kitaabul ‘Iedain, bab Idzaa Faatahul ‘Ied Yushalli Rak’atain, fathul Baari (II/474)
[6]. Fathul Baari (II/474). Di dalam bab ini disebutkan hadits Aisyah ini dan juga atsar Anas dan Atha.
[7]. Al-Iqnaa’ (I/110)
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Hukum Takbir Bersama-Sama Dengan Satu Suara
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta
Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Kami menginginkan dari anda penjelasan terntang hukum takbir pada hari-hari tasyriq dan ied Ramadhan dengan cara bersama-sama, seperti Imam membaca pada setiap shalat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahilhamdu
Lalu jama’ah mengulangi dengan satu suara yang tinggi dan lagu. Hal ini mereka mengulang-ulangi tiga kali tiap-tiap seusai shalat selama tiga hari. Perlua diketahui, bahwa amalan itu tersebar di sebagian kampong di berbagai penjuru provinsi.
Jawaban
Takbir di syariatkan pada malam Iedul fithri dan Iedul adha dan setiap sepuluh Dzulhijjah secara mutlaq (umum). Juga setelah setiap shalat dari fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan hendaklah kamu mecukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadmu” [Al-Baqarah : 185]
Dan firman Allah
“Artinya : Dan berdzikirlah (dengan menyebutt) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” [Al-Baqarah : 203]
Dan telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia ditanya : “Hadits apa yang anda pegangi sehingga beranggapan, bahwa takbir dimulai dari shalat fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq?” Dia menjawab, “Dengan landasan ijma (kesepakatan ulama)”.
Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Karena telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida (mengada-ada) terhadap agama ini.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Da’imah 8/311-312 No. 9887]
Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Telah sah bagi kami bahwa, takbir pada hari-hari tasyriq merupakan sunnah. Maka, benarkah jika imam takbir lalu orang-orang mengikuti dari belakang ? Atau apakah setiap orang takbir sendiri-sendiri dengan suara pelan atau keras?
Jawaban
Setiap orang takbir sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya tidak ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang takbir bersama-sama, dan beliau telah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatwa Lajnah Da’imah 8/310 No. 8340]
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Di sebagian tempat, pad hari ied sebelum shalat, imam takbir dengan microphone dan orang-orang yang hadir mengikutinya. Bagaimana hukum alaman ini ?
Jawaban
Cara takbir yang disebutkan oleh penanya tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Adapun menurut sunnah (ajaran) Nabi setiap orang bertakbir sendiri.
[Fatawa Arkanul Isam, hal 399]
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimanakah hukum takbir bersama-sama pada hari-hari ied ? Dan bagaimanakah ajaran sunnah dalam bertakbbir ?
Jawaban
Yang nampak (benar), bahwa takbir bersama-sama pada hari-hari Ied tidaklah masyru. Ajaran sunnah dalam takbir ini, ialah setiap orang bertakbir dengan suara yang keras. Masing-masing bertakbir sendiri.
[Al-Kalimaat An-Nafi’aat Haula Ba’dli Al Bida’i wa Al-Munkarat Al-Waq’ah hal.26]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta
Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Kami menginginkan dari anda penjelasan terntang hukum takbir pada hari-hari tasyriq dan ied Ramadhan dengan cara bersama-sama, seperti Imam membaca pada setiap shalat.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahilhamdu
Lalu jama’ah mengulangi dengan satu suara yang tinggi dan lagu. Hal ini mereka mengulang-ulangi tiga kali tiap-tiap seusai shalat selama tiga hari. Perlua diketahui, bahwa amalan itu tersebar di sebagian kampong di berbagai penjuru provinsi.
Jawaban
Takbir di syariatkan pada malam Iedul fithri dan Iedul adha dan setiap sepuluh Dzulhijjah secara mutlaq (umum). Juga setelah setiap shalat dari fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan hendaklah kamu mecukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadmu” [Al-Baqarah : 185]
Dan firman Allah
“Artinya : Dan berdzikirlah (dengan menyebutt) Allah dalam beberapa hari yang berbilang” [Al-Baqarah : 203]
Dan telah dinukil dari Imam Ahmad, bahwa ia ditanya : “Hadits apa yang anda pegangi sehingga beranggapan, bahwa takbir dimulai dari shalat fajar hari Arafah sampai akhir hari-hari tasyriq?” Dia menjawab, “Dengan landasan ijma (kesepakatan ulama)”.
Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Karena telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida (mengada-ada) terhadap agama ini.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Da’imah 8/311-312 No. 9887]
Pertanyaan
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah waI Ifta ditanya : Telah sah bagi kami bahwa, takbir pada hari-hari tasyriq merupakan sunnah. Maka, benarkah jika imam takbir lalu orang-orang mengikuti dari belakang ? Atau apakah setiap orang takbir sendiri-sendiri dengan suara pelan atau keras?
Jawaban
Setiap orang takbir sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya tidak ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang takbir bersama-sama, dan beliau telah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatwa Lajnah Da’imah 8/310 No. 8340]
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Di sebagian tempat, pad hari ied sebelum shalat, imam takbir dengan microphone dan orang-orang yang hadir mengikutinya. Bagaimana hukum alaman ini ?
Jawaban
Cara takbir yang disebutkan oleh penanya tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Adapun menurut sunnah (ajaran) Nabi setiap orang bertakbir sendiri.
[Fatawa Arkanul Isam, hal 399]
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimanakah hukum takbir bersama-sama pada hari-hari ied ? Dan bagaimanakah ajaran sunnah dalam bertakbbir ?
Jawaban
Yang nampak (benar), bahwa takbir bersama-sama pada hari-hari Ied tidaklah masyru. Ajaran sunnah dalam takbir ini, ialah setiap orang bertakbir dengan suara yang keras. Masing-masing bertakbir sendiri.
[Al-Kalimaat An-Nafi’aat Haula Ba’dli Al Bida’i wa Al-Munkarat Al-Waq’ah hal.26]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Hukum Shalat 'Ied Wajib Atau Sunnah 2/2
Oleh
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]
Adapun argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.
"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) ". [Al-Kautsar : 2].
Atau bahwa shalat 'Ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Wajib 'Ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang tidak didahului adzan maupun iqamat (Qamat) hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.
Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat 'Ied, adalah karena:
[1]. Mereka keluar (untuk shalat) menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat -tempat pemukiman.
[2]. (Sebelumnya) Mereka telah menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap sedia untuk melaksanakan shalat 'Ied (pada pagi harinya), dan telah menghentikan segala kesibukan lain (sehingga mereka tidak lagi memerlukan adanya adzan, -red), berbeda keadaannya dengan shalat yang lima waktu. Wallahu 'alam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan :"Siapa yang berpendapat shalat 'Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan shalat 'Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat shalat 'Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat shalat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua orang, tiga orang .... dan seterusnya". [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].
Imam Shana'ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin -hafizhallahu al-jami- berpegang kepada pendapat bahwa shalat 'Ied adalah "Wajib 'Ain. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.
Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur (mayoritas) ahli ilmu (Ulama), namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan (shalat 'Ied) hukumnya Wajib 'Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang (menurut saya) mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.
Begitulah kiranya sikap adil (tidak taklid).
Wallahu a'lam
TAKBIR PADA SAAT 'IED KERAS-KERAS ATAU PELAN-PELAN .?
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa as-Sulaimani ditanya :
"Apakah seseorang yang pergi untuk menunaikan sahalat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha (mesti) bertakbir ..?. Jika mesti bertakbir apakah dengan suara keras atau dengan suara pelan ?"
Beliau menjawab :
Bertakbir pada saat pergi untuk menunaikan shalat 'Ied terdapat dalam atsar-atsar shahih yang mauquf dan maqthu' (yakni atsar-atsar/yang dilakukan para sahabat dan atau tabi'in), tetapi tidak benar jika dikatakan ada hadits marfu' (dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berkaitan dengan masalah ini.
Al-Faryabi mengeluarkan riwayat dalam "Ahkam Al-'Idain" No. 53, bahwa Ibnu Umar mengeraskan suara takbirnya pada hari 'Iedul Fitri (sejak) ketika pergi (di pagi hari) menuju Mushala (tanah lapang tempat melaksanakan Shalat 'Ied), sampai hadirnya Imam untuk melaksanakan shalat 'Ied. (Atsar ini, sanadnya hasan). Atsar ini ada yang meriwayatkannya secara marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), tetapi riwayat itu riwayat mungkar.
Dalam riwayat Hakim I/298 dan lainnya, disebutkan bahwa : Ibnu Umar pada dua hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha) keluar dari Masjid (setelah shalat shubuh, -red), kemudian beliau bertakbir hingga tiba di Mushala (tanah lapang tempat dilaksanakan shalat 'Ied). Sanadnya hasan.
Syu'bah juga pernah bertanya kepada Al-Hakam dan Hammad : "Apakah saya (mesti) bertakbir ketika saya keluar menuju shalat 'Ied.?" Keduanya menjawab : "Ya" [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan No. 5626, sedangkan sanadnya hasan].
Kemudian dalam riwayat Al-Baihaqi III/279, melalui jalan Tamim bin Salamah, ia (Tamim) Berkata : "Ibnu Zubair keluar pada hari raya Kurban, ia tidak melihat orang-orang bertakbir, maka ia berkata :"Mengapa mereka tidak bertakbir .?. Ketahuilah, demi Allah apabila mereka mengumandangkan takbir, tentu engkau akan melihat kami dalam (barisan) pasukan yang tidak dapat dilihat ujungnya, yaitu seseorang (diantara kami) bertakbir, lalu disusul orang berikutnya hingga berguncanglah pasukan itu karena gema takbir. Memang ternyata perbedaan antara kalian dengan mereka (generasi shahabat) adalah ibarat bumi yang rendah dengan langit yang tinggi" [Sanad atsar ini shahih].
Sementara itu Abu Hanifah -dalam salah satu riwayat yang berasal darinya- berpendapat bahwa mengumandangkan takbir secara keras hanya ada pada hari Raya Kurban, tidak pada hari Raya Fitri, ketika pagi-pagi berangkat menuju mushala. Ia berdalil berdasarkan atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah No. 5629, melalui jalan Syu'bah maula Ibnu Abbas.
Dalam atsar itu diceritakan bahwa Syu'bah berkata :
"Saya menuntun Ibnu Abbas pada suatu hari raya, ia mendengar orang-orang mengumandangkan takbir, maka ia bertanya :"Orang-orang itu sedang ada apa ?". Saya menjawab :"Mereka bertakbir". Ia bertanya ;"Apakah imam sedang bertakbir?" Saya menjawab :"Tidak!". Ia berkata :"Apakah orang-orang sudah gila .?
[Ini adalah atsar yang sanadnya dha'if/lemah, sebab Syu'bah meriwayatkan riwayat-riwayat yang mungkar dari Ibnu Abbas. Mungkin yang dimaksudkan Ibnu Abbas olehnya adalah Ibnu Abbas yang lain. Kalaupun kita katakan bahwa Syu'bah meriwayatkan kisah itu secara tepat, namun 'illat (penyakit)nya ada pada Abu Dzi'b, seorang muridnya, yang ada dalam sanad dimana ia meriwayatkan atsar tersebut melalui berbagai sisi, dan periwayatannyapun mudtharib (goncang/tidak mantap].
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (sebuah ayat yang berkaitan dengan takbir pada 'Iedul Fitri) :
"Artinya : Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya (bulan Ramadhan), dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya" [Al-Baqarah : 185]
Sebagian pengikut madzahb Hanafi menjawab bahwa yang dimaksud dengan takbir dalam ayat itu adalah takbir dalam shalat, atau yang dimaksud adalah mengagungkan Allah, berdasarkan firman Allah dalam ayat lain.
"Artinya : Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya".[Al-Israa' : 111].
Tetapi pembatasan makna seperti itu pada ayat di atas tidak benar, sebab makna ayat tersebut lebih umum dari sekedar takbir dalam shalat atau sekedar mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Imam Thahawi, beliau adalah juga seorang pengikut madzhab Hanafi -justru menguatkan pernyataan bahwa kedua hari 'Ied (hari raya) itu (yakni 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha) adalah satu. Pembedaan (hukum) antara kedua hari raya tersebut tidak ada dalilnya. Itulah pedapat kebanyakan Ulama, dan itu pulalah apa yang dilakukan oleh para Salaf (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama, karya Imam Thahawi I/376-378, Bada-i ash-Shana-i', karya al-Kasani I/415 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab IX/31-32).
Catatan Penting.
Wanita juga ikut bertakbir apabila aman dari fitnah, tetapi tidak perlu sekeras suara kaum laki-laki. Dasarnya adalah hadits Ummu 'Athiyah. Bisa dilihat dalam Fathul Bari Ibnu Rajab IX/33).
Catatan Redaksi.
Berdasarkan atsar-atsar di atas, maka terbukti ada tuntunan untuk takbir dengan suara keras menjelang shalat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha.
Wallahu a'lam.
[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i berkaitan dengan hukum Shalat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]
Adapun argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.
"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) ". [Al-Kautsar : 2].
Atau bahwa shalat 'Ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa shalat 'Ied hukumnya Wajib 'Ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang tidak didahului adzan maupun iqamat (Qamat) hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.
Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat 'Ied, adalah karena:
[1]. Mereka keluar (untuk shalat) menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat -tempat pemukiman.
[2]. (Sebelumnya) Mereka telah menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap sedia untuk melaksanakan shalat 'Ied (pada pagi harinya), dan telah menghentikan segala kesibukan lain (sehingga mereka tidak lagi memerlukan adanya adzan, -red), berbeda keadaannya dengan shalat yang lima waktu. Wallahu 'alam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan :"Siapa yang berpendapat shalat 'Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan shalat 'Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat shalat 'Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat shalat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua orang, tiga orang .... dan seterusnya". [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].
Imam Shana'ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin -hafizhallahu al-jami- berpegang kepada pendapat bahwa shalat 'Ied adalah "Wajib 'Ain. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.
Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur (mayoritas) ahli ilmu (Ulama), namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan (shalat 'Ied) hukumnya Wajib 'Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang (menurut saya) mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.
Begitulah kiranya sikap adil (tidak taklid).
Wallahu a'lam
TAKBIR PADA SAAT 'IED KERAS-KERAS ATAU PELAN-PELAN .?
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa as-Sulaimani ditanya :
"Apakah seseorang yang pergi untuk menunaikan sahalat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha (mesti) bertakbir ..?. Jika mesti bertakbir apakah dengan suara keras atau dengan suara pelan ?"
Beliau menjawab :
Bertakbir pada saat pergi untuk menunaikan shalat 'Ied terdapat dalam atsar-atsar shahih yang mauquf dan maqthu' (yakni atsar-atsar/yang dilakukan para sahabat dan atau tabi'in), tetapi tidak benar jika dikatakan ada hadits marfu' (dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang berkaitan dengan masalah ini.
Al-Faryabi mengeluarkan riwayat dalam "Ahkam Al-'Idain" No. 53, bahwa Ibnu Umar mengeraskan suara takbirnya pada hari 'Iedul Fitri (sejak) ketika pergi (di pagi hari) menuju Mushala (tanah lapang tempat melaksanakan Shalat 'Ied), sampai hadirnya Imam untuk melaksanakan shalat 'Ied. (Atsar ini, sanadnya hasan). Atsar ini ada yang meriwayatkannya secara marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), tetapi riwayat itu riwayat mungkar.
Dalam riwayat Hakim I/298 dan lainnya, disebutkan bahwa : Ibnu Umar pada dua hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha) keluar dari Masjid (setelah shalat shubuh, -red), kemudian beliau bertakbir hingga tiba di Mushala (tanah lapang tempat dilaksanakan shalat 'Ied). Sanadnya hasan.
Syu'bah juga pernah bertanya kepada Al-Hakam dan Hammad : "Apakah saya (mesti) bertakbir ketika saya keluar menuju shalat 'Ied.?" Keduanya menjawab : "Ya" [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan No. 5626, sedangkan sanadnya hasan].
Kemudian dalam riwayat Al-Baihaqi III/279, melalui jalan Tamim bin Salamah, ia (Tamim) Berkata : "Ibnu Zubair keluar pada hari raya Kurban, ia tidak melihat orang-orang bertakbir, maka ia berkata :"Mengapa mereka tidak bertakbir .?. Ketahuilah, demi Allah apabila mereka mengumandangkan takbir, tentu engkau akan melihat kami dalam (barisan) pasukan yang tidak dapat dilihat ujungnya, yaitu seseorang (diantara kami) bertakbir, lalu disusul orang berikutnya hingga berguncanglah pasukan itu karena gema takbir. Memang ternyata perbedaan antara kalian dengan mereka (generasi shahabat) adalah ibarat bumi yang rendah dengan langit yang tinggi" [Sanad atsar ini shahih].
Sementara itu Abu Hanifah -dalam salah satu riwayat yang berasal darinya- berpendapat bahwa mengumandangkan takbir secara keras hanya ada pada hari Raya Kurban, tidak pada hari Raya Fitri, ketika pagi-pagi berangkat menuju mushala. Ia berdalil berdasarkan atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah No. 5629, melalui jalan Syu'bah maula Ibnu Abbas.
Dalam atsar itu diceritakan bahwa Syu'bah berkata :
"Saya menuntun Ibnu Abbas pada suatu hari raya, ia mendengar orang-orang mengumandangkan takbir, maka ia bertanya :"Orang-orang itu sedang ada apa ?". Saya menjawab :"Mereka bertakbir". Ia bertanya ;"Apakah imam sedang bertakbir?" Saya menjawab :"Tidak!". Ia berkata :"Apakah orang-orang sudah gila .?
[Ini adalah atsar yang sanadnya dha'if/lemah, sebab Syu'bah meriwayatkan riwayat-riwayat yang mungkar dari Ibnu Abbas. Mungkin yang dimaksudkan Ibnu Abbas olehnya adalah Ibnu Abbas yang lain. Kalaupun kita katakan bahwa Syu'bah meriwayatkan kisah itu secara tepat, namun 'illat (penyakit)nya ada pada Abu Dzi'b, seorang muridnya, yang ada dalam sanad dimana ia meriwayatkan atsar tersebut melalui berbagai sisi, dan periwayatannyapun mudtharib (goncang/tidak mantap].
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (sebuah ayat yang berkaitan dengan takbir pada 'Iedul Fitri) :
"Artinya : Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya (bulan Ramadhan), dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya" [Al-Baqarah : 185]
Sebagian pengikut madzahb Hanafi menjawab bahwa yang dimaksud dengan takbir dalam ayat itu adalah takbir dalam shalat, atau yang dimaksud adalah mengagungkan Allah, berdasarkan firman Allah dalam ayat lain.
"Artinya : Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya".[Al-Israa' : 111].
Tetapi pembatasan makna seperti itu pada ayat di atas tidak benar, sebab makna ayat tersebut lebih umum dari sekedar takbir dalam shalat atau sekedar mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Imam Thahawi, beliau adalah juga seorang pengikut madzhab Hanafi -justru menguatkan pernyataan bahwa kedua hari 'Ied (hari raya) itu (yakni 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha) adalah satu. Pembedaan (hukum) antara kedua hari raya tersebut tidak ada dalilnya. Itulah pedapat kebanyakan Ulama, dan itu pulalah apa yang dilakukan oleh para Salaf (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama, karya Imam Thahawi I/376-378, Bada-i ash-Shana-i', karya al-Kasani I/415 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab IX/31-32).
Catatan Penting.
Wanita juga ikut bertakbir apabila aman dari fitnah, tetapi tidak perlu sekeras suara kaum laki-laki. Dasarnya adalah hadits Ummu 'Athiyah. Bisa dilihat dalam Fathul Bari Ibnu Rajab IX/33).
Catatan Redaksi.
Berdasarkan atsar-atsar di atas, maka terbukti ada tuntunan untuk takbir dengan suara keras menjelang shalat 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha.
Wallahu a'lam.
[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i berkaitan dengan hukum Shalat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Hukum Shalat 'Ied Wajib Atau Sunnah 1/2
Oleh
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
Beliau ditanya tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai shalat 'Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Beliau menjawab :
"Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :"
[1]. Shalat 'Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.
[2]. Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
[3]. Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya ; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalil-Dalil
Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq 'alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
"Artinya : Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :"Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam". Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :"Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Beliau melanjutkan sabdanya :"Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan". Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab :"Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya ;"Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :"Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja". Perawi mengatakan :"Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini". (Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)".
Mereka (para pendukung pendapat kesatu) mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (Fardhu) 'Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua shalat 'Ied termasuk kedalam keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam "Al-Ausath IV/252".
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa shalat 'Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat 'Ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) ". [Al-Kautsar : 2]
[Ayat ini berkaitan dengan perintah melaksanakan shalat 'Ied, yakni 'Iedul Adha, wallahu a'lam, red]
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat 'Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.
Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa shalat 'Ied adalah) wajib 'Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat 'Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat 'Ied termasuk jenis shalat Jum'at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat 'Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum'at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa' (do'a meminta hujan), sebab Istisqa' tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa' bisa dilakukan hanya dengan berdo'a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa' hanya dalam bentuk do'a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa'.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu 'anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat ('Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat 'Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib, sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya -red).
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'Ied dan do'a kaum Mukminin. Apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak shalat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa :"Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, -pen), beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
"Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya". [Hadits shahih, muttafaq 'alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam shalat Jum'at dan shalat berjama'ah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita).
"Artinya : Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka".
Juga bahwa shalat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat 'Ied (yang tidak ada gantinya). Shalat 'Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat Jum'at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun). Sementara itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan shalat 'Ied, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju shalat 'Ied. Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat 'Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negei Islam shalat 'ied ditinggalkan, sedangkan shalat 'Ied termasuk syi'ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.
"Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya". [Al-Baqarah : 185].
Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu' Fatawa XXIV/179-183].
Imam Shana'ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam "Ar-Raudhah An-Nadiyah" menambahkan bahwa apabila (hari) 'Ied dan Jum'at bertemu, maka (hari) 'Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum'at. Padahal shalat Jum'at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].
Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
[a]. Mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum'at, sehingga apalagi shalat 'Ied.
[a]. Mungkin pula karena hadits tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban shalat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal shalat 'Ied termasuk kewajiban shalat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam "Kitab ash-Shalah" halaman 39].
Hadist (kisah tentang) Badui Arab inipun masih bisa dibantah (dari sisi lain, yaitu bahwa) keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat lima waktu dalam sehari dan semalam) telah dikhususkan dengan shalat nadzar, yaitu shalat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena nadzar (maksudnya : seseorang yang bernadzar untuk melaksanakan shalat, maka shalat itu hukumnya wajib untuk dilaksanakan, padahal itu tidak tertuang dalam hadits (kisah tentang Badui Arab, -red). Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula kewajiban shalat 'Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa tentang kewajiban shalat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nadzar) untuk melaksanakan shalat tersebut, maka apalagi shalat yang kewajibannya ditetapkan oleh Allah untuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang ia wajibkan sendiri.
[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i berkaitan dengan hukum Shalat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]
Dikutip dari : www.almanhaj.or.id
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
Beliau ditanya tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai shalat 'Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Beliau menjawab :
"Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :"
[1]. Shalat 'Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.
[2]. Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
[3]. Fardhu 'Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya ; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalil-Dalil
Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq 'alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
"Artinya : Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :"Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam". Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :"Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Beliau melanjutkan sabdanya :"Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan". Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab :"Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja". Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya ;"Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab :"Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja". Perawi mengatakan :"Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini". (Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)".
Mereka (para pendukung pendapat kesatu) mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (Fardhu) 'Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua shalat 'Ied termasuk kedalam keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam "Al-Ausath IV/252".
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa shalat 'Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat 'Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat 'Ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
"Artinya : Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) ". [Al-Kautsar : 2]
[Ayat ini berkaitan dengan perintah melaksanakan shalat 'Ied, yakni 'Iedul Adha, wallahu a'lam, red]
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat 'Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.
Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa shalat 'Ied adalah) wajib 'Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat 'Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat 'Ied termasuk jenis shalat Jum'at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat 'Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum'at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa' (do'a meminta hujan), sebab Istisqa' tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa' bisa dilakukan hanya dengan berdo'a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa' hanya dalam bentuk do'a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa'.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu 'anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat ('Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat 'Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib, sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya -red).
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'Ied dan do'a kaum Mukminin. Apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak shalat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa :"Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, -pen), beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
"Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya". [Hadits shahih, muttafaq 'alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam shalat Jum'at dan shalat berjama'ah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita).
"Artinya : Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka".
Juga bahwa shalat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat 'Ied (yang tidak ada gantinya). Shalat 'Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat Jum'at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun). Sementara itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan shalat 'Ied, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju shalat 'Ied. Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat 'Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negei Islam shalat 'ied ditinggalkan, sedangkan shalat 'Ied termasuk syi'ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.
"Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya". [Al-Baqarah : 185].
Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu' Fatawa XXIV/179-183].
Imam Shana'ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam "Ar-Raudhah An-Nadiyah" menambahkan bahwa apabila (hari) 'Ied dan Jum'at bertemu, maka (hari) 'Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum'at. Padahal shalat Jum'at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].
Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
[a]. Mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum'at, sehingga apalagi shalat 'Ied.
[a]. Mungkin pula karena hadits tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban shalat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal shalat 'Ied termasuk kewajiban shalat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam "Kitab ash-Shalah" halaman 39].
Hadist (kisah tentang) Badui Arab inipun masih bisa dibantah (dari sisi lain, yaitu bahwa) keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat lima waktu dalam sehari dan semalam) telah dikhususkan dengan shalat nadzar, yaitu shalat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena nadzar (maksudnya : seseorang yang bernadzar untuk melaksanakan shalat, maka shalat itu hukumnya wajib untuk dilaksanakan, padahal itu tidak tertuang dalam hadits (kisah tentang Badui Arab, -red). Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula kewajiban shalat 'Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa tentang kewajiban shalat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nadzar) untuk melaksanakan shalat tersebut, maka apalagi shalat yang kewajibannya ditetapkan oleh Allah untuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang ia wajibkan sendiri.
[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i berkaitan dengan hukum Shalat 'Ied dan Takbir pada hari 'Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar'iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]
Dikutip dari : www.almanhaj.or.id
Bertepatannya Hari Raya Ied Dengan Hari Jum'at
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
Telah meriwayatkan Abu Daud (1070), An-Nasa'i (3/194), Ibnu Majah (1310), Ibnu Khuzaimah (1461), Ad-Darimi (1620) da Ahmad (4/372) dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata.
"Aku menyaksikan Mua'wiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, ia berkata : "Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemunya dua hari raya pada satu hari ?"
Zaid berkata : "Ya"
Mu'awiyah berkata : "Lalu apa yang beliau lakukan ?"
Zaid menjawab : "beliau shalat Id kemudian memberi keringanan (rukhshah) untuk shalat Jum'at, beliau bersabda :
"Siapa yang ingin shalat maka shalatlah"[1]
Abu Hurairah dan selainnya membawakan riwayat tentang hal ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan ini yang diamalkan para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Abdurrazzaq meriwayatkan dalam "Al-Mushannaf" (3/305) dan juga Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" (2/187) dengan sanad yang shahih dari Ali Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya berkumpul dua hari raya pada satu hari, maka ia berkata :
"Artinya : Siapa yang ingin menghadiri shalat Jum'at maka hadirilah dan siapa yang ingin duduk maka duduklah"
Dalam "Shahih Bukhari" (5251) disebutkan riwayat semisal ini dari Utsman Radhiyallahu 'anhu.
Dalam "Sunan Abi Daud" (1072) dan "Mushannaf Abdurrazaq" (nomor 5725) dengan sanad yang Shahih dari Ibnuz Zubair.
"Artinya : Dua hari raya bertemu dalam satu hari, maka ia mengumpulkan keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat Idul Fitri pada hari Jum'at sebanyak dua raka'at pada pagi hari, kemudian ia tidak menambah hingga shalat Ashar..."
Asy-Syaukani berkata dalam "Nailul Authar" (3/348) mengikuti riwayat ini :
"Dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat Dhuhur.
Dalam riwayat ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at jika gugur dengan salah satu sisi yang diperkenankan, maka tidak wajib bagi orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat dhuhur. Dengan ini Atha' berpendapat.
Tampak bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jum'at adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at, maka mewajibkan shalat Dhuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jum'at karena udzur atau tanpa udzur butuh dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang sepanjang yang aku ketahui"
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Imam Ali Ibnul Madini menshahihkan hadits ini sebagaimana dalam "At-Talkhisul Habir" 2/94
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Atsari
Telah meriwayatkan Abu Daud (1070), An-Nasa'i (3/194), Ibnu Majah (1310), Ibnu Khuzaimah (1461), Ad-Darimi (1620) da Ahmad (4/372) dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata.
"Aku menyaksikan Mua'wiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, ia berkata : "Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemunya dua hari raya pada satu hari ?"
Zaid berkata : "Ya"
Mu'awiyah berkata : "Lalu apa yang beliau lakukan ?"
Zaid menjawab : "beliau shalat Id kemudian memberi keringanan (rukhshah) untuk shalat Jum'at, beliau bersabda :
"Siapa yang ingin shalat maka shalatlah"[1]
Abu Hurairah dan selainnya membawakan riwayat tentang hal ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan ini yang diamalkan para sahabat radhiyallahu 'anhum.
Abdurrazzaq meriwayatkan dalam "Al-Mushannaf" (3/305) dan juga Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" (2/187) dengan sanad yang shahih dari Ali Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya berkumpul dua hari raya pada satu hari, maka ia berkata :
"Artinya : Siapa yang ingin menghadiri shalat Jum'at maka hadirilah dan siapa yang ingin duduk maka duduklah"
Dalam "Shahih Bukhari" (5251) disebutkan riwayat semisal ini dari Utsman Radhiyallahu 'anhu.
Dalam "Sunan Abi Daud" (1072) dan "Mushannaf Abdurrazaq" (nomor 5725) dengan sanad yang Shahih dari Ibnuz Zubair.
"Artinya : Dua hari raya bertemu dalam satu hari, maka ia mengumpulkan keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat Idul Fitri pada hari Jum'at sebanyak dua raka'at pada pagi hari, kemudian ia tidak menambah hingga shalat Ashar..."
Asy-Syaukani berkata dalam "Nailul Authar" (3/348) mengikuti riwayat ini :
"Dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat Dhuhur.
Dalam riwayat ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at jika gugur dengan salah satu sisi yang diperkenankan, maka tidak wajib bagi orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat dhuhur. Dengan ini Atha' berpendapat.
Tampak bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jum'at adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at, maka mewajibkan shalat Dhuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jum'at karena udzur atau tanpa udzur butuh dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang sepanjang yang aku ketahui"
[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Imam Ali Ibnul Madini menshahihkan hadits ini sebagaimana dalam "At-Talkhisul Habir" 2/94
Dikutip dari : http://www.almanhaj.or.id
Apa Hukum Keluarnya Wanita Untuk Shalat Ied ? Bolehkah Kita Melarang Wanita Mengerjakan Shalat Ied?
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang muslim boleh meninggalkan shalat Ied tanda udzur ? dan apakah boleh melarang wanita mengerjakannya bersama orang-orang lainnya ?
Jawaban
Shalat Ied hukumnya fardhu kifayah menurut mayoritas ahlul ilmi, maka untuk sebagian orang boleh meninggalkannya, namun menghadirinya dan ikut serta bersama saudara-saudara muslim lainnya adalah sunnah mu’akkadah, maka tidak layak ditinggalkan kecuali dengan udzur syar’i.
Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat, bahwa shalat Ied hukumnya fardhu ‘ain seperti halnya shalat Jum’at, maka tidak ada satupun laki-laki mukallaf yang merdeka dan muqim, yang boleh meninggalkannya. Pendapat ini lebih selaras dengan dalil-dalil dan lebih mendekati kebenaran. Dan disunnahkan bagi para wanita untuk menghadirinya dan menyaksikannya dengan tetap berhijab dan tidak mengenakan wewangian. Hal ini berdasarkan riwayat dalam Ash-Shahihaian dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata : “Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar (menuju tempat pelaksanaan) shalat Ied, wanita-wanita pingitan yang merdeka dan juga yang sedang haidh, agar mereka (para wanita) menyaksikan kebaikan dan sebagai dakwahnya kaum muslimin. Adapun wanita yang sedang haidh hendaknya menjauhi tempat shalat�. Dalam lafazh lain disebutkan, bahwa salah seorang wanita berkata : “Wahai Rasulullah, (bagaimana bila) salah seorang kami tidak mempunyai jilbab (kain yang menutup dari atas kepala hingga kaki) untuk bisa keluar ke sana (ke tempat pelaksanaan shalat Ied) ?� Beliau menjawab.
“Hendaknya saudarinya memberikan pinjam jilbabnya�
Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menunjukkan tentang penekanan keluarnya para wanita untuk shalat Ied agar dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.
[Fatawa Ash-Shiyam, Ibn Baz, h 116]
APA HUKUM KELUARNYA WANITA UNTUK SHALAT IED, TERUTAMA DI ZAMAN KITA SEKARANG INI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluarnya wanita ke tempat shalat Ied, terutama di zaman kita sekarang ini yang banyak terjadi fitnah, sementara sebagian wanita keluar rumah dengan berhias dan mengenakan wewangian. Jika kami mengatakan boleh, apa pendapat anda tentang ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita, tentulah beliau melarangnya?�
Jawaban
Menurut kami, bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat Ied agar dapat menyaksikan kebaikan dan ikut serta bersama kaum muslimin lainnya dalam shalat dan dakwah mereka, akan tetapi seharusnya mereka keluar dengan sederhana, tidak berhias dan tidak pula mengenakan wewangian. Dengan demikain berarti mereka dapat melaksanakan sunnah dan menghindari fitnah.Sedangkan para wanita yang bertabaruj (berhias) dan mengenakan wewangian, maka itu karena ketidaktahuan mereka dan kekurangan para wali mereka dalam urusan mereka.
Namun yang demikian ini tidak menghalangi hukum syari’at yang umum, yaitu diperintahkannya para wanita untuk keluar menuju tempat pelaksanaan shalat Ied. Adapun mengenai ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, sebagaimana diketahui, bahwa sesuatu yang mubah (boleh) apabila menyebabkan timbulnya sesuatu yang haram maka akan menjadi haram. Jika mayoritas wanita keluar rumah dengan penampilan yang tidak syar’i, maka kami tidak melarang masyarakat keluar (untuk shalat Ied), hanya saja kami melarang para wanita itu keluar dengan penampilan yang seperti demikian.
[As’illah wa Ajwibah fi Shalatil Idain, Ibnu Utsaimin, hal.26]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]
Dikutip dari : www.almanhaj.or.id
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang muslim boleh meninggalkan shalat Ied tanda udzur ? dan apakah boleh melarang wanita mengerjakannya bersama orang-orang lainnya ?
Jawaban
Shalat Ied hukumnya fardhu kifayah menurut mayoritas ahlul ilmi, maka untuk sebagian orang boleh meninggalkannya, namun menghadirinya dan ikut serta bersama saudara-saudara muslim lainnya adalah sunnah mu’akkadah, maka tidak layak ditinggalkan kecuali dengan udzur syar’i.
Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat, bahwa shalat Ied hukumnya fardhu ‘ain seperti halnya shalat Jum’at, maka tidak ada satupun laki-laki mukallaf yang merdeka dan muqim, yang boleh meninggalkannya. Pendapat ini lebih selaras dengan dalil-dalil dan lebih mendekati kebenaran. Dan disunnahkan bagi para wanita untuk menghadirinya dan menyaksikannya dengan tetap berhijab dan tidak mengenakan wewangian. Hal ini berdasarkan riwayat dalam Ash-Shahihaian dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata : “Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar (menuju tempat pelaksanaan) shalat Ied, wanita-wanita pingitan yang merdeka dan juga yang sedang haidh, agar mereka (para wanita) menyaksikan kebaikan dan sebagai dakwahnya kaum muslimin. Adapun wanita yang sedang haidh hendaknya menjauhi tempat shalat�. Dalam lafazh lain disebutkan, bahwa salah seorang wanita berkata : “Wahai Rasulullah, (bagaimana bila) salah seorang kami tidak mempunyai jilbab (kain yang menutup dari atas kepala hingga kaki) untuk bisa keluar ke sana (ke tempat pelaksanaan shalat Ied) ?� Beliau menjawab.
“Hendaknya saudarinya memberikan pinjam jilbabnya�
Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menunjukkan tentang penekanan keluarnya para wanita untuk shalat Ied agar dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.
[Fatawa Ash-Shiyam, Ibn Baz, h 116]
APA HUKUM KELUARNYA WANITA UNTUK SHALAT IED, TERUTAMA DI ZAMAN KITA SEKARANG INI
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluarnya wanita ke tempat shalat Ied, terutama di zaman kita sekarang ini yang banyak terjadi fitnah, sementara sebagian wanita keluar rumah dengan berhias dan mengenakan wewangian. Jika kami mengatakan boleh, apa pendapat anda tentang ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Seandainya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan oleh para wanita, tentulah beliau melarangnya?�
Jawaban
Menurut kami, bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat Ied agar dapat menyaksikan kebaikan dan ikut serta bersama kaum muslimin lainnya dalam shalat dan dakwah mereka, akan tetapi seharusnya mereka keluar dengan sederhana, tidak berhias dan tidak pula mengenakan wewangian. Dengan demikain berarti mereka dapat melaksanakan sunnah dan menghindari fitnah.Sedangkan para wanita yang bertabaruj (berhias) dan mengenakan wewangian, maka itu karena ketidaktahuan mereka dan kekurangan para wali mereka dalam urusan mereka.
Namun yang demikian ini tidak menghalangi hukum syari’at yang umum, yaitu diperintahkannya para wanita untuk keluar menuju tempat pelaksanaan shalat Ied. Adapun mengenai ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha, sebagaimana diketahui, bahwa sesuatu yang mubah (boleh) apabila menyebabkan timbulnya sesuatu yang haram maka akan menjadi haram. Jika mayoritas wanita keluar rumah dengan penampilan yang tidak syar’i, maka kami tidak melarang masyarakat keluar (untuk shalat Ied), hanya saja kami melarang para wanita itu keluar dengan penampilan yang seperti demikian.
[As’illah wa Ajwibah fi Shalatil Idain, Ibnu Utsaimin, hal.26]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]
Dikutip dari : www.almanhaj.or.id
Minggu, 22 November 2009
Wahabisme Versus Terorisme
Membedah Akar Terorisme
Aksi teroris di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton menoreh luka berat di hati Umat Islam, karena terbukti para pelakunya adalah para aktifis masjid, lulusan pesantren, juru da’wah dan di masyarakat dikenal orang sopan santun, lemah lembut, pendiam dan tidak banyak tingkah, ternyata mereka adalah orang yang sadis, yang tidak mengenal kemanusiaan membunuh manusia dengan bom bunuh diri, hal ini benar-benar mencoreng nama baik Umat dan merusak indahnya syariat Islam.
Bagaimana masyarakat awam yang membenci Islam tidak berkomentar miring terhadap Islam karena memang pelakunya umat Islam. Sementara tokoh-tokoh agama bukannya sedih menyaksikan aksi pelecehan terhadap syariat malah saling lempar tuduhan, sehingga membuat kalangan awam makin bingung mereka harus bagaimana, bergabung dengan aktifis masjid takut terjaring teroris, sementara dalam lubuk hatinya tahu bahwa mereka harus mendalami Islam karena memang fitrah manusia. Maka semua pihak harus bersikap bijak menghadapi soal terorisme, agar tidak menimbulkan kontrofersi dan menuduh pihak-pihak yang belum terbukti bersalah.
Banyak faktor yang bisa memicu aksi terorisme dan gerakan radikal antara lain:
Pertama: Kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran membuat potensi para pemuda mandek tidak tersalurkan, dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, apalagi para pemuda yang semangatnya sedang bergejolak didekati dengan cara halus maka dengan mudah mereka direkrut karena mereka membutuhkan komunitas yang bisa menyalurkan aspirasinya, apalagi bila otak mereka dicuci bahwa yang menyebabkan mereka miskin adalah orang-orang kafir barat, maka siapa yang tidak terbakar, apa lagi ditanamkan kalau bisa membunuh orang kafir barat akan berbalas surga yang di dalamnya terdapat bidadari-bidadari cantik yang siap menyambutnya, pemuda mana yang tidak tergiur, meskipun harus mati dengan bom bunuh diri.
Kedua: Aksi terorisme sebagai reaksi anak-anak bangsa yang tidak puas melihat kemaksiatan mengepungnya, kemungkaran melilit roda kehidupan, ketimpangan sosial menggurita, korupsi merajalela, prostitusi terbuka lebar, pelanggaran agama makin menggeliat, namun sayang aksi mereka tidak didukung dengan ilmu agama yang memadai dan pemahaman yang lurus di bawah bimbingan ulama yang terpercaya ilmunya maka mereka mengambil jalan pintas dengan aksi terorisme. Ketiga: Aksi terorisme muncul akibat kesalahan mereka dalam menimba ilmu Islam dan mengambil pemahaman Islam dari orang-orang yang belum diakui kapasitas keilmuan dan keagamaannya, bukan hanya salah teori namun juga salah aplikasi, suatu contoh doktrin jihad, bila mereka belajar dari bukan para ulama dan buku-buku yang menyimpang maka muncul anggapan bahwa semua aksi pembunuhan terhadap orang kafir termasuk jihad meskipun di zona damai dan tidak sedang perang. Padahal dalam pandangan fikih Islam, kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir yang sedang terjun di medan perang.
Keempat: Kurangnya pemahaman terhadap kaidah maslahat dan mafsadah dan hakekat keindahan Islam yang diturunkan untuk menjaga lima pokok kebutuhan hidup manusia yang amat mendasar dan mengharamkan siapapun merusaknya yaitu agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Maka siapa yang menodai salah satu di antara lima perkara tersebut akan merusak tatanan kehidupan dan menodai inti ajaran Islam, sehingga tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang haramnya melenyapkan nyawa orang yang terlindungi baik nyawa muslim maupun non muslim kecuali ada alasan untuk membunuhnya seperti qisas, rajam atau peperangan.
Kelima: Kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil banyak dimanfaatkan oleh kelompok terorisme untuk melancarkan aksinya, bahkan negara yang kerap timbul konflik politik menjadi sarang paling subur, apalagi bila ada campur tangan pihak asing yang memanfaatkan situasi goncang, sehingga orang yang miskin iman dan lemah ekonomi sangat mudah diperalat untuk melancarkan target mereka.
Jihad Ala Teroris
Aksi terorisme yang sedang marak terjadi di negeri ini menorehkan rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin bukan hanya karena melihat terburainya usus para korban, berserakannya jasad para korban, rasa sakit yang dirasakan para korban dan tangisan pilu para keluarga korban, namun rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin melebihi semua itu karena banyak pihak mengklaim bahwa terorisme bagian dari agama Islam yaitu jihad.
Ajaran agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme apalagi Islam agama mulia, rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang banyak menelan korban dan menimbulkan kerusakan. Jihad dalam Islam diatur dengan aturan syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatas namakan dirinya jihad fisabililah dan menggelari pelakunya dengan As Syahid dengan membunuh orang-orang kafir sedangkan mereka masuk ke negeri Islam dengan aman dan Rasulullah dengan tegas mengancam siapa saja yang membunuh mereka:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada dalam ikatan perjanjian), maka ia tidak akan mencium aroma surga, padahal aromanya bisa ditemukan (dari jarak) sejauh empat puluh tahun (lama) perjalanan.” (Riwayat Bukhari)
Jika kaum teroris berdalih bahwa mereka tetap boleh dibunuh karena meskipun mereka datang tidak perang senjata tapi mereka datang dengan serangan pemikiran. Maka harusnya perang pemikiran harus dilawan dengan pemikiran bukan dengan pengeboman, realitanya yang mati bukan hanya orang kafir, orang muslimpun banyak yang mati, padahal Nabi bersabda: “Hilangnya dunia lebih ringan di hadapan Allah ketimbang lenyapnya nyawa seorang muslim.” (Ibnu Majah)
Adapun penegakan jihad (qithal) hanya menjadi wewenang pemimpin negara, dialah yang memegang komando jihad, mengibarkan panji peperangan, menyusun strategi perang, dan memilih serta mengerahkan pasukan.
Wahabisme Versus Terorisme
Tersebar isu bahwa aksi teroris dikaitkan dengan kelompok Islam tertentu yang mereka sebut dengan kelompok wahabi. Pengkaitan aksi terorisme dengan kelompok wahabi merupakan bola api liar yang sangat berbahaya dan bisa mengenai siapa saja yang memperjuangkan pemurnian Islam. Sehingga saling lempar tuduhan, bahkan ada yang menyatakan bahwa kelompok teroris adalah mereka yang suka membid’ahkan kelompok lain maka hal ini bisa mengenai organisasi Muhamadiyah, al-Irsyad, Persis atau kelompok mana saja yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.
Sebenarnya, Wahabi merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad kedua hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab -ed), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, sangat membenci syiah dan sangat jauh dari Islam.
Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam. Contohnya Inggris mengulirkan isue wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.
Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:
1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.
2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.
3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.
Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.
***
Penulis: Ustadz Zainal Abidin, Lc.
Artikel ini sebelumnya dipublikasikan oleh Koran Republika, edisi Selasa, 25 Agustus 2009
Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan penambahan beberapa catatan kecil.
***
Artikel Terkait:
1. Apa itu Wahabi ? (1)
2. Apa itu Wahabi ? (2)
3. Buku Putih Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab (1)
4. Buku Putih Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab (2)
5. Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah (1)
6. Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah (2)
7. Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah (3)
Dzikir-Dzikir di Bulan Ramadhan
Posted: 25 Aug 2009 12:58 AM PDT
Dzikir Ketika Melihat Hilal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat hilal beliau membaca,
اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِِيمَانِ ، وَالسَّلامَةِ وَالإِِسْلامِ ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ
“Allahumma ahillahu ‘alayna bilyumni wal iimaani was salaamati wal islaami. Robbii wa Robbukallah. [Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah]” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ad Darimi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan karena memiliki penguat dari hadits lainnya)
Ucapan Ketika Dicela atau Diganggu (Diusilin) Orang Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). An Nawawi mengatakan, “Termasuk yang dianjurkan adalah jika seseorang dicela oleh orang lain atau diajak berkelahi ketika dia sedang berpuasa, maka katakanlah “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“, sebanyak dua kali atau lebih. (Al Adzkar, 183)
Do’a Ketika Berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka membaca,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah [Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah]” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Adapun mengenai do’a berbuka yang biasa tersebar di tengah-tengah kaum muslimin: “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu….”, perlu diketahui bahwa ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy)
Do’a Kepada Orang yang Memberi Makan dan Minum
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,
أَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ سْقَانِى
“Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku] (HR. Muslim no. 2055)
Do’a Ketika Berbuka Puasa di Rumah Orang Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Afthoro ‘indakumush shoo-imuuna wa akala tho’amakumul abroor wa shollat ‘alaikumul malaa-ikah [Orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik menyantap makanan kalian dan malaikat pun mendo'akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a Setelah Shalat Witir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pada saat witir membaca surat “Sabbihisma Robbikal a’laa” (surat Al A’laa), “Qul yaa ayyuhal kaafiruun” (surat Al Kafirun), dan “Qul huwallahu ahad” (surat Al Ikhlas). Kemudian setelah salam beliau mengucapkan
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan beliau mengeraskan suara pada bacaan ketiga. (HR. Abu Daud dan An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan di akhir witirnya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan kesalamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, “Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ [Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku].” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh muslim.or.id
Aksi teroris di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton menoreh luka berat di hati Umat Islam, karena terbukti para pelakunya adalah para aktifis masjid, lulusan pesantren, juru da’wah dan di masyarakat dikenal orang sopan santun, lemah lembut, pendiam dan tidak banyak tingkah, ternyata mereka adalah orang yang sadis, yang tidak mengenal kemanusiaan membunuh manusia dengan bom bunuh diri, hal ini benar-benar mencoreng nama baik Umat dan merusak indahnya syariat Islam.
Bagaimana masyarakat awam yang membenci Islam tidak berkomentar miring terhadap Islam karena memang pelakunya umat Islam. Sementara tokoh-tokoh agama bukannya sedih menyaksikan aksi pelecehan terhadap syariat malah saling lempar tuduhan, sehingga membuat kalangan awam makin bingung mereka harus bagaimana, bergabung dengan aktifis masjid takut terjaring teroris, sementara dalam lubuk hatinya tahu bahwa mereka harus mendalami Islam karena memang fitrah manusia. Maka semua pihak harus bersikap bijak menghadapi soal terorisme, agar tidak menimbulkan kontrofersi dan menuduh pihak-pihak yang belum terbukti bersalah.
Banyak faktor yang bisa memicu aksi terorisme dan gerakan radikal antara lain:
Pertama: Kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran membuat potensi para pemuda mandek tidak tersalurkan, dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab, apalagi para pemuda yang semangatnya sedang bergejolak didekati dengan cara halus maka dengan mudah mereka direkrut karena mereka membutuhkan komunitas yang bisa menyalurkan aspirasinya, apalagi bila otak mereka dicuci bahwa yang menyebabkan mereka miskin adalah orang-orang kafir barat, maka siapa yang tidak terbakar, apa lagi ditanamkan kalau bisa membunuh orang kafir barat akan berbalas surga yang di dalamnya terdapat bidadari-bidadari cantik yang siap menyambutnya, pemuda mana yang tidak tergiur, meskipun harus mati dengan bom bunuh diri.
Kedua: Aksi terorisme sebagai reaksi anak-anak bangsa yang tidak puas melihat kemaksiatan mengepungnya, kemungkaran melilit roda kehidupan, ketimpangan sosial menggurita, korupsi merajalela, prostitusi terbuka lebar, pelanggaran agama makin menggeliat, namun sayang aksi mereka tidak didukung dengan ilmu agama yang memadai dan pemahaman yang lurus di bawah bimbingan ulama yang terpercaya ilmunya maka mereka mengambil jalan pintas dengan aksi terorisme. Ketiga: Aksi terorisme muncul akibat kesalahan mereka dalam menimba ilmu Islam dan mengambil pemahaman Islam dari orang-orang yang belum diakui kapasitas keilmuan dan keagamaannya, bukan hanya salah teori namun juga salah aplikasi, suatu contoh doktrin jihad, bila mereka belajar dari bukan para ulama dan buku-buku yang menyimpang maka muncul anggapan bahwa semua aksi pembunuhan terhadap orang kafir termasuk jihad meskipun di zona damai dan tidak sedang perang. Padahal dalam pandangan fikih Islam, kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir yang sedang terjun di medan perang.
Keempat: Kurangnya pemahaman terhadap kaidah maslahat dan mafsadah dan hakekat keindahan Islam yang diturunkan untuk menjaga lima pokok kebutuhan hidup manusia yang amat mendasar dan mengharamkan siapapun merusaknya yaitu agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Maka siapa yang menodai salah satu di antara lima perkara tersebut akan merusak tatanan kehidupan dan menodai inti ajaran Islam, sehingga tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang haramnya melenyapkan nyawa orang yang terlindungi baik nyawa muslim maupun non muslim kecuali ada alasan untuk membunuhnya seperti qisas, rajam atau peperangan.
Kelima: Kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil banyak dimanfaatkan oleh kelompok terorisme untuk melancarkan aksinya, bahkan negara yang kerap timbul konflik politik menjadi sarang paling subur, apalagi bila ada campur tangan pihak asing yang memanfaatkan situasi goncang, sehingga orang yang miskin iman dan lemah ekonomi sangat mudah diperalat untuk melancarkan target mereka.
Jihad Ala Teroris
Aksi terorisme yang sedang marak terjadi di negeri ini menorehkan rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin bukan hanya karena melihat terburainya usus para korban, berserakannya jasad para korban, rasa sakit yang dirasakan para korban dan tangisan pilu para keluarga korban, namun rasa sedih dan pilu yang dirasakan kaum muslimin melebihi semua itu karena banyak pihak mengklaim bahwa terorisme bagian dari agama Islam yaitu jihad.
Ajaran agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme apalagi Islam agama mulia, rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang banyak menelan korban dan menimbulkan kerusakan. Jihad dalam Islam diatur dengan aturan syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatas namakan dirinya jihad fisabililah dan menggelari pelakunya dengan As Syahid dengan membunuh orang-orang kafir sedangkan mereka masuk ke negeri Islam dengan aman dan Rasulullah dengan tegas mengancam siapa saja yang membunuh mereka:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada dalam ikatan perjanjian), maka ia tidak akan mencium aroma surga, padahal aromanya bisa ditemukan (dari jarak) sejauh empat puluh tahun (lama) perjalanan.” (Riwayat Bukhari)
Jika kaum teroris berdalih bahwa mereka tetap boleh dibunuh karena meskipun mereka datang tidak perang senjata tapi mereka datang dengan serangan pemikiran. Maka harusnya perang pemikiran harus dilawan dengan pemikiran bukan dengan pengeboman, realitanya yang mati bukan hanya orang kafir, orang muslimpun banyak yang mati, padahal Nabi bersabda: “Hilangnya dunia lebih ringan di hadapan Allah ketimbang lenyapnya nyawa seorang muslim.” (Ibnu Majah)
Adapun penegakan jihad (qithal) hanya menjadi wewenang pemimpin negara, dialah yang memegang komando jihad, mengibarkan panji peperangan, menyusun strategi perang, dan memilih serta mengerahkan pasukan.
Wahabisme Versus Terorisme
Tersebar isu bahwa aksi teroris dikaitkan dengan kelompok Islam tertentu yang mereka sebut dengan kelompok wahabi. Pengkaitan aksi terorisme dengan kelompok wahabi merupakan bola api liar yang sangat berbahaya dan bisa mengenai siapa saja yang memperjuangkan pemurnian Islam. Sehingga saling lempar tuduhan, bahkan ada yang menyatakan bahwa kelompok teroris adalah mereka yang suka membid’ahkan kelompok lain maka hal ini bisa mengenai organisasi Muhamadiyah, al-Irsyad, Persis atau kelompok mana saja yang memperjuangkan kemurnian ajaran Islam.
Sebenarnya, Wahabi merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad kedua hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab -ed), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah, sangat membenci syiah dan sangat jauh dari Islam.
Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam. Contohnya Inggris mengulirkan isue wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.
Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:
1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.
2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.
3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.
Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.
***
Penulis: Ustadz Zainal Abidin, Lc.
Artikel ini sebelumnya dipublikasikan oleh Koran Republika, edisi Selasa, 25 Agustus 2009
Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan penambahan beberapa catatan kecil.
***
Artikel Terkait:
1. Apa itu Wahabi ? (1)
2. Apa itu Wahabi ? (2)
3. Buku Putih Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab (1)
4. Buku Putih Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab (2)
5. Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah (1)
6. Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah (2)
7. Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah (3)
Dzikir-Dzikir di Bulan Ramadhan
Posted: 25 Aug 2009 12:58 AM PDT
Dzikir Ketika Melihat Hilal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat hilal beliau membaca,
اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِِيمَانِ ، وَالسَّلامَةِ وَالإِِسْلامِ ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ
“Allahumma ahillahu ‘alayna bilyumni wal iimaani was salaamati wal islaami. Robbii wa Robbukallah. [Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah]” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ad Darimi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan karena memiliki penguat dari hadits lainnya)
Ucapan Ketika Dicela atau Diganggu (Diusilin) Orang Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). An Nawawi mengatakan, “Termasuk yang dianjurkan adalah jika seseorang dicela oleh orang lain atau diajak berkelahi ketika dia sedang berpuasa, maka katakanlah “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“, sebanyak dua kali atau lebih. (Al Adzkar, 183)
Do’a Ketika Berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka membaca,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah [Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah]” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Adapun mengenai do’a berbuka yang biasa tersebar di tengah-tengah kaum muslimin: “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu….”, perlu diketahui bahwa ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy)
Do’a Kepada Orang yang Memberi Makan dan Minum
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,
أَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ سْقَانِى
“Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku] (HR. Muslim no. 2055)
Do’a Ketika Berbuka Puasa di Rumah Orang Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Afthoro ‘indakumush shoo-imuuna wa akala tho’amakumul abroor wa shollat ‘alaikumul malaa-ikah [Orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik menyantap makanan kalian dan malaikat pun mendo'akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a Setelah Shalat Witir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pada saat witir membaca surat “Sabbihisma Robbikal a’laa” (surat Al A’laa), “Qul yaa ayyuhal kaafiruun” (surat Al Kafirun), dan “Qul huwallahu ahad” (surat Al Ikhlas). Kemudian setelah salam beliau mengucapkan
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan beliau mengeraskan suara pada bacaan ketiga. (HR. Abu Daud dan An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan di akhir witirnya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan kesalamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, “Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ [Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku].” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh muslim.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)