Tentu kita tidak asing lagi ketika mendengar istilah “demonstrasi”, atau dikenal juga dengan istilah “aksi” di kalangan orang-orang yang katanya ‘aktivis’. Hampir setiap isu dan permasalahan yang terjadi di negeri kita ini selalu disambut dengan aksi demonstrasi. Sebagian saudara kita yang bersemangat untuk menegakkan syari’at islam malah menjustifikasi perbuatan demonstrasi dengan menggunakan hadits “Jihad yang paling utama adalah mengatakan ucapan yang haq di hadapan penguasa yang dzolim”. Sungguh, mereka telah salah kaprah dalam memahami hadits tersebut, dan lihat saja… akibatnya sangat fatal!, begitulah jika amal perbuatan yang tanpa dilandasi ilmu terlebih dahulu…
Judul Asli: Ingkarul Mungkar Kepada Penguasa
Penulis: Abu Nu’aim Al atsari
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 2 tahun II
Urgensi amar ma’ruf nahi mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah merupakan masalah mendasar dalam dienul Islam. Sebab dengan dilaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, kemaslahatan akan tercipta dan menyebar dalam masyarakat. Sebaliknya, jika tidak dilaksanakan atau bahkan dikekang, kebatilan akan muncul dan memasyarakat. Tetapi tidak sebatas itu, Alloh akan menimpakan adzab secara merata, menimpa orang yang baik atau orang yang jahat. Jelas kiranya bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah perkara yang sangat penting. (lebih jelasnya lihat edisi 7, 8 dan 9). Namun sebagai tanbih, saya akan nukilkan dua dalil berikut:
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaaan yang tidak khusus menimpa orang-orag yang dhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Alloh amat keras siksaan-Nya”. (Al Anfal: 25).
Ibnu Katsir menafsirkan: “Alloh memperingatkan para hamba-Nya yang beriman tentang ujian dan cobaan yang tidak hanya menimpa pelaku maksiat dan orang yang berbuat dosa saja, bahkan akan menimpa semua orang tanpa bisa dicegah dan dihilangkan”. (Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim, 2/274).
Ketika mengomentari hadits Abu Sa’id Al Khudri, Imam Nawawi berkata: “Ini adalah perkara yag besar. Sebab merupakan landasan tegaknya perkara yang mendasar dan hal-hal yang menopangnya. Jika kemaksiatan melanda maka siksa akan menimpa semua orang, baik yang sholih atau yang durhaka. Dan jika perbuatan orang yang aniaya tidak dicegah maka nyaris saja Alloh akan meratakan adzab pada semua orang. Alloh berfirman (artinya): “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul takut akan ditimpa adzab yang pedih. (24: 63).
Maka orang-orang yang mencari (pahala) akherat dan ridho Alloh hendaknya memperhatikan perkara ini, sebab manfaatnya sangat besar”. (Syarh Muslim 1/226).
Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda yang artinya:
“Permisalan antara orang yang menegakkan hukum-hukum Alloh dengan melaggarnya seperti suatu kaum yang menaiki perahu, sebagiannya berada di geladak atas dan sebagian yang lain berada di geladak bawah. Jika orang-orang yang berada di geladak bawah kehausan meereka harus melewati orang yang diatasnya, karena itu mereka mengatakan: “Kita lubangi saja perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita”. Bila orang yang di atas membiarkan, tidak mau menegurnya maka akan tenggelam semuanya. Namun jika mereka menghalanginya maka akan selama semuanya”. (HR. Bukhori 2493, Tirmidzi 1544, Ahmad 9540).
Metode ingkarul mungkar kepada penguasa
Menilik urgensi amar ma’ruf nahi mungkar di muka, sudah semestinya bila amalan mulia ini harus selalu ditegakkan dan digalakkkan, tidak terkecuali kepada penguasa. Apalagi penguasa adalah pengemban amanat yang teramat berat, menangani urusan rakyat dan dipertanggungjawabkan di hadapan Alloh kelak. Selain dia adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan, Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Jihad yang paling utama adalah mengatakan ucapan yanng haq di hadapan penguasa yang dzolim. (HR. Tirmidzi: 222174, Ibnu Majah: 4010, Ahmad: 11159. Dihasankan oleh Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al Albani).
Namun, ingkarul mungkar kepada penguasa mempunyai kaidah-kaidah tersendiri. Selain sebab-sebab diatas, juga mengandung implikasi yang begitu banyak dan berbahaya yang akan diterangkan nanti, insyaAlloh.
- Secara lemah lembut dan tidak terang-terangan
Imam Ibnu Abi Ashhim dalam kitabnya As Sunnah membuat bab “bagaimana cara menasehati penguasa” kemudian memaparkan hadits dengan sanadnya. Rosulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Barangsiapa ingin menasehati pemimpin, jangan secara terbuka. Tetapi ajaklah menyepi. Jika dia menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, berarti dia telah menunaikan kewajibannya”. (no. 1096, 1097 dan 1098 dishohihkan oleh Al Albani dalam Dzilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah. Diriwayatkan pula oleh Thobroni dalam Musnad Syamiyyin 976).
Syaikh Abdussalam bin Barjas mengatakan: “Hadits ini merupakan di sir-kan (dirahasiakan) nasehat kepada penguassa. Jika seseorang telah menempuh cara ini berarti dia telah terlepas dari akibat yang timbul di kemudian hari”. (Mu’amaltul Hukkam, hal: 55).
Sekarang kita cermati penerapan sahabat terhadap hadits ini. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/403-404: ‘Iyadh bin Ghonim mencambuki penguasa desa tatkala ditaklukkan. Namun Hisyam bin Hakim memprotes keras, membuat ‘Iyadh marah. Hal ini berlangsung beberapa malam. Lalu Hisyam datang kepada ‘Iyadh dan mengajukan alasan, Hisyam berkata kepada ‘Iyadh: “Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
“Sesungguhnya termasuk orang yang palig pedih siksaanya (pada hari kamat) adalah orang yang paling keras menyiksa manusia di dunia”.
‘Iyadh bin Ghunmin menjawab: “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang kamu dengar, melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidakkah engkau mendengar Rasullullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Wahai Hisyam… Kamu lancang bertindak kurang ajar kepada penguasa. Tidakkah engkau merasa takut jika penguasa membunuhmu lalu engkau disebut sebagai orang yang dibunuh oleh penguasa (wali) Alloh”.
Perhatikan pula sikap Abdulloh bin Umar terhadap Al Hajjaj bin Yusuf As Saqofi, gubernur Irak ini dikenal sebagai penguasa yang dholim, represif, gampang membunuh orang, termasuk para ulama diantaranya Said bin Jubair dan akhirnya membunuh Abdulloh bin Zubair di Makkah. Namun Abdulloh bin Umar tidak mencabut bai’atnya dan tidak pula menghasut manusia untuk demonstrasi menentang Al Hajjaj. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh para tabi’in ketika itu seperti Sa’id bin Al Musayyid, Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, Ibrohim Aat Tamimi dan selainnya. (Lihat Durorus Saniyyah fi Ajwibatin Najdiyyah, Abdul Latif bin Abdurrohman, 7/177-178).
Ibnu Katsir merekam dalam Bidayah wa Nihayah 8/232: “Penduduk Madinah membangkang kepada Yazid bin Mu’awiyah dengan pimpinan Abdulloh bin Muthi’. Karena tersiar kabar bahwa Yazid sering menenggak khomr (minuman keras) dan sebagainya. Namun Abdulloh bin Umar dan Ahlu bait Nabi tetap taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, saya mendengar Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya setiap kelompok pada hari kiamat mempunyai bendera, lalu akan dipanggil: ‘ini adalah kelompok fulan’”. (Muslim no: 1735).
Imam Bukhori memuat dalam shohihnya (7568), Az Zubair bin Adi berkata: “Kami mendatangi Anas bin Malik dan mengadukan perbuatan Al-Hajjaj, Anas menjawab: Kalian harus sabar. Sebab, tidaklah datang suatu masa kepada kalian melainkan akan lebih jelek dari masa sebelumnya hingga kalian menemui Robb kalian. Saya mendengar ucapan itu dari nabi kalian”.
Ibnu Rojab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam 1/225 menuturkan: Ibnu Abbas ditanya tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, jawabnya: Jika kamu memang harus melakukannya, maka lakukan antara kamu dan dia saja”.
Bukhori dan Muslim menyebutkan dalam kedua shohihnya, bahwa Usamah bin Zaid ditanya: “Tidakkah engkau menemui Utsman dan menasihatinya?”. Jawab Usamah: “Apakah engkau menganggap bahwa saya tidak menasehati Utsman kecuali di hadapan kalian?! Demi Alloh saya telah menasihatinya empat mata. Saya tidak ingin menyebarkan perkara ini dan saya tidak ingin menjadi orang pertama yang menyebarkannya”. (Bukhori 6/330, 13/48 dan Muslim 4/229).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengomentari hadits tersebut dalam Mukhtashor Shohih Muslim: “maksud ucapan Usamah adalah ingkarul mungkar kepada penguasa secara terbuka di depan khalayak ramai (Usamah bin Zaid tidak melakukan itu), sebab perbuatan ini akan berakibat fatal. Seperti yang dilakukan kepada Utsman, akibatnya beliau terbunuh”. (hadits no: 335).
Para ulama setelah generasi mereka juga bersikap sama. Kita lihat Imam Ahmad bin Hambal yang masyhur, seperti dikisahkan Ibnu Muflih dalam Al-Adab As-Syar’iyyah 1/195-196 dan Al Khollal dalam As Sunnah hal. 133. Kholifah waktu itu adalah Al Watsiq billah. Dia beserta jajarannya dari orang-orang Mu’tazillah mewajibkan kepada rakyat untuk meyakini bahwa Al Qur’an itu adalah makhluk. Bagi yang membangkang dikenai siksa dan penjara. Termasuk Imam Ahmad. Beliau mempertahankan pendiriannya bahwa Al Qur’an itu kalam Alloh. Akibatnya bisa diterka, beliau dipenjara dan disiksa. Hanbal menceritakan: “Para fuqoha berkumpul pada Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka berkata: “Masalah bertambah gawat –maksudnya dipropagandakannya faham pemakhlukan Al Qur’an dan selain itu, kami tidak menyenangi pemerintahannya”. Lalu Imam Ahmad berkata kepada mereka: “Kalian harus mengingkari itu dalam hati, jangan membangkang, jangan memporak-porandakan persatuan kaum muslimin, jangan tumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin, perhatikan akibat yang timbul, bersabarlah hingga orang-orang baik dapat hidup tenang dan terlepas dari orang yang dzolim, membangkang adalah tindakan salah, ini menyelisihi atsar. (salaf-pen).
Ibnu Muflih dalam Al Adab As Syar’iyyah 1/195-197 berkata: “Tidak boleh seorangpun mengingkari kemungkaran yang dilakukan penguasa kecuali hanya sekedar nasehat danpeeringatan terhadap akibat yang akan menimpanya di dunia dan akhirat. Metode ini adalah wajib. Sedang metode selain itu diharomkan. Hal ini dituturkan oleh Al Qodhi (Iyadh) dan yang lain. Ibnul Jauzi berkata: “Metode yang diperbolehkan dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa adalah menunjukkan kebaikan padanya dan menasehati. Adapun berkata kasar semisal: “Wahai Dzolim ! Wahai orang yang tak takut keepada Allah !” Jika hal itu dapat menyulut fitnah yang bisa menyeret orang lain maka metode ini dilarang. Namun jika ia berani menanggung akibatnya sendiri dan tidak berimbas pada orang lain maka boleh menurut pendapat jumhur ulama. “Lalu Ibnu Muflih menimpali: “Tapi menurut saya ini tidak diperbolehkan…”.
Dalam kitab Tanbihul Ghofilin ‘an A’malil Jahilin wa Tahdziris Salikin min Af’alil Halikin, Ibnu Nahhas berkata: “Menasehati penguasa lebih baik berdua saja dengannya ketimbang di hadapan khalayak ramai. Bahkan lebih ditekankan secara rahasia lalu menasehatinya, tanpa adanya orang ketiga”. (hal: 64).
Imam Syaukani berkata: “Seyogyanya bagi orang yang melihat kesalahan penguasa pada beberapa hal agar menasehatinya. Tetapi jangan mengkritik di depan khalayak ramai. Bahkan seharusnya kita melakukan seperti dalam hadits: pegang tangannya dan ajak menyepi lalu dinasehati. Jangan mencela penguasa (wakil) Alloh. Telah kukemukakan di depan dalam awal kitab Siyar bahwasanya tidak boleh membangkang kepada penguasa walaupun penguasa itu sangat dzolim (represif), selama dia masih menegakkan sholat dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata. Hadits yang berkaitan dengan masalah ini telah mutawatir. Namun ketaatan rakyat hanya dalam ketaatan kepada Alloh. Bila dia berbuat maksiat jangan ditaati. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada sang pencipta”. (Sailul Jaror 4/556).
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz mengatakan: “Menyebarluaskan kesalahan penguasa dan menyiarkan di mimbar-mimbar bukanlah madzab salaf. Sebab akan mengakibatkan terjadinya kudeta, rakyat tidak lagi mentaati pengusa dalam perkara yang baik, dan pembangkangan yang hanya membuahkan kerusakan. Metode yang harus ditempuh menurut faham salaf adalah memberi nasehat empat mata, menulis surat, atau melalui para ulama, sehimgga mampu untuk memberi pengarahan kebaikan kepada penguasa. Pengingkaran ini sebaiknya tidak menyebut nama pelaku. Semisal mengingkari zina (baca: pelacuran – pen), minuman keras (miras) dan riba (renten-bank) cukup dengan mengingkarinya dan memperingatkan manusia agar waspada dan menjauhi, tanpa menyebut si pelaku”.
Tatkala muncul fitnah di zaman Utsman bin Affan, sebagian orang berkata kepada Usamah bin Zaid: “Tidakkah engkau mengingkari perbuatan Utsman?! Beliau menjawab “Apakah harus dilakukan di hadapan khalayak? Namun itu kulakukan antara aku dengannya saja, aku tidak ingin membuka pintu fitnah bagi manusia”.
Ketika manusia membuka pintu fitnah tersebut dan mereka mengingkari perbuatan Utsman secara terbuka, meratalah fitnah, pembunuhan dan kerusakan yang masih kita rasakan sampai saat ini. Akibatnya Utsman terbunuh dan terjadilah persengketaan antara Ali dan Mu’awiyah. Sehingga Ali pun terbunuh. Tidak hanya itu banyak sahabat Nabi yang terbunuh ketika itu. Semua itu akibat ingkarul mungkar dan penyebarluasan kesalahan penguasa, buntutnya mereka sampai membunuh penguasanya. Kita meminta keselamatan kepada Alloh dari semua ini. (Fatawa wa Risalah Syaikh bin Bazz, Bab Huququ Ro’iwar Ro’iyyah, hal 27-28).
Syaikh Muhammad bin Sholih bin Al Utsaimin juga memberikan statement yang sama, lalu berkata: “Jika pembicaraan itu sudah mengarah ke ghibah (menggunjing), menasehati namun dilakukan secara terbuka, dan menyebarluaskan kesalahan mereka –padahal itu termasuk penghinaan kepada mereka yang akan dibalasi Alloh secara setimpal- maka tak diragukan lagi, semua itu harus dilandasi atas kaidah yang telah kami sebutkan (maksud beliau adalah menasehati secara sembunyi dan yang semisal itu). Tetapi yang mengemban tugas ini adalah para ulama. Dimana mereka terbiasa berinteraksi dengan penguasa dan nasehat mereka akan diperhatikan. Akan sangat berbeda bila yang melakukan adalah yang selain mereka”. Lanjutnya: ’Sebab pengingkaran kepada penguasa secara terbuka tetapi bukan pada persoalan agama yang prinsipil, dan itu dilakukan di perayaan-perayaan, masjid-masjid, koran, majlis-majlis ta’lim dan tempat lainnya, semua itu sama sekali tidak dinamakan nasehat. Kalian jangan terkecoh dengan orang yang melakukan itu, walaupun kadang bermaksud baik. Lantaran menyelisihi metode salaf sholih, generasi panutan, Alloh lah yang memberi petunjuk kepada kalian.” (Maqosidul Islam. Hal: 393).
- Taat dalam perkara yang baik saja
Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syaukani di muka, apabila penguasa berbuat maksiat maka tidak boleh ditaati. Sebab ketaatan kepada mereka hanya dalam perkara yang baik. Namun juga tidak boleh memberontak, Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) terhadap apa yang dia sukai dan benci kecuali jika diperintah untuk berbuat maksiat maka tidak (boleh) mendengar dan taat. (HR. Bukhori 13/121, Muslim 3/1469)”.
Dalam Tuhfadzul Ahwadzi 5/365 Mubarokfuri berkata: “Jika penguasa memerintahkan perkara yang sunnah dan mubah maka wajib ditaati. Mengomentari hadits tersebut Al Mutohhar berkata: “Mendengar ucapan dan taat kepada penguasa adalah wajib bagi setiap muslim. Baik sesuai dengan keinginan atau tidak. Dengan syarat tidak memerintahkan berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh mentaatinya. Namun juga tidak boleh memeranginya (kudeta)”.
Sabdanya:
Keta’atan itu hanyalah pada perkara yang baik. (HR. Bukhori: 7145).
- Tidak mengadakan kudeta
Rosululloh shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Akan muncul pemimpin yang memimpin kalian. Kalian mengenalnya dan mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkari (kemungkarannya) berarti dia telah terbebas (dari dosanya). Siapa yang membenci (perbuatannya), dia selamat. Tetapi dosa itu bagi yang rela dan mengikutinya. Mereka bertanya: ”Wahai Rosululloh, apakah kita tidak perangi saja?”. Jawab beliau: “Jangan! Selama dia masih melakukan sholat, selama dia masih sholat””.
Imam Nawawi berkata: “Bahwasanya tidak boleh memberontak hanya karena penguasa berbuat dholim dan kerusakan, selama dia tidak merubah syariat Islam yang prinsipil”. ( 4/552).
- Bila penguasa seorang kafir
Jabir bin Abdulloh berkata:
“Rosululloh membai’at kami untuk mendengar dan taat, di saat kita semangat atau pun tidak, di saat susah atau lapang, dan ketika penguasa lebih mementingkan urusan dunianya ketimbang kita. Kita tidak boleh melihat padanya kekufuran yang jelas sedang kalian memiliki bukti”. (HR. Bukhori 7055 dan 7056, Muslim 1709).
Imam Nawawi mengatakan: “Makna hadits: kalian jangan mencopot kekuasaaan penguasa dan menentangnya hingga kalian melihat pada mereka kemungkaran nyata dalam perkara agama yang mendasar, jika kalian melihatnya, ingkarilah dan katakan kebenaran pada mereka. Adapun yang membangkang dan memerangi penguasa, walaupun mereka berbuat kemaksiatan yang besar, menurut ijma’ kaum muslimin diharomkan. Banyak sekali hadits yang menunjukkan yang saya sebutkan. Al Qodhi berkata: “Ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan tidak sah bagi orang kafir. Maka jika seorang penguasa telah kafir, dia harus berhenti”. (lihat syarah Muslim 4/540, cetakan Darul Khoir).
Syaikh Doktor Sholih Al Fauzan berkata: “Adapun interaksi dengan penguasa kafir, maka berbeda-beda menurut kondisi dan situasi. Jika kaum muslimin mempunyai kekuatan dan kemampuan menggulingkanya dan menggantinya dengan seorang muslim maka diwajibkan. Karena ini termasuk jihad di jalan Alloh. Namun jika tidak mempunyai kekuatan jangan dilakukan sebab akan menimbulkan mudharat yang menimpa kaum muslimin”.
Itulah metode yang ditempuh para salaf sholih dan ulama sesudahnya dalam ingkarul mungkar terhadap penguasa. Metode mereka adalah adil dan seimbang. Berada di antara faham Khowarij, Mu’tazillah dan faham Rowafidh (syi’ah). Khowarij memandang boleh membangkang kepada penguasa jika mereka melakukan kemungkaran. Sebaliknya dengan Rowafidhh, mereka malah mengkultuskan para pemimpin mereka, sampai taraf tak tersentuh oleh kesalahan (‘ishmah). Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang mengingkari kemungkaran para penguasa adalah wajib, namun harus dilandasi dengan kaidah-kaidah syar’iyyah. Kaidah ini dibangun diatas sunnah yang shohih. Mereka justru menganjurkan agar rakyat mencintai pemimpinnya, dapat bekerja sama dengan penguasa dan berlaku sabar terhadap tindakan represif penguasa, namun tetap melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka secara tersembunyi. Sebab metode ynag ditempuh oleh kelompok-kelompok tersebut gholibnya akan memicu konsentrasi massa, tindakan anarkhis dan fitnah yang besar dan berkepanjangan.
Petikan wawancara majalah Al Furqon Kuwait dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Soal:
Bagaimana cara mengkompromikan antara sabda Nabi berikut:
“Barangsiapa ingin menasehati pemimpin, jangan secara terbuka. Tetapi ajaklah menyepi. Jika dia menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, berarti dia telah menunaikan kewajibannya”.
Dengan sabdanya yang lain:
“Dan juga bai’at para shabat kepada Nabi serta ucapan mereka “kami akan mengatakan kebenaran dan kami tidak takut terhadap celaan pencela dalam menegakkan kebenaran”.
Jawab:
Persoalan ini –semoga Alloh memberkati kalian- seharusnya tidak boleh tersamar bagi kita. Bahwasanya tidak ada kontradiksi antara dua hadits tersebut. Sebab kontradiksi ini harus nampak jelas. Pada hadits pertama: apakah orang tadi menasehati pemerintah di depan khalayak ramai? tentu saja tidak. Kalau begitu dimana sisi pertentangannya?
Soal:
Sebagian orang mewajibkan menasehati pemerintah secara terang-terangan berdalih dengan peristiwa sejarah, seperti sikap Abu Hazim terhadap Sulaiman bin Abdul malik, Malik bin Dinar terhadap pemimpin Bashroh, Abu Muslim Al Khoulani terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap Qothlobuq Al Kabir dan selainnya. Peristiwa sejarah ini tentu saja tidak boleh diabaikan, lalu bagaimana mungkin menasehati pemerintah itu harus secara rahasia?
Jawab:
Permasalahan ini dikembalikan pada perbedaan kondisi zaman. Hal ini serupa dengan masalah pemutusan hubungan, hajr (isolasi) dan ucapan yang kasar semisal …Alloh melaknatmu… dan selainnya. Hukum ini juga seiring dengan perkataan banyak Doktor -para Doktor akhir zaman-, hanya saja mereka menempatkan bukan pada tempatnya, dan banyak menyelewengkan nash-nash syar’i. Perkataan mereka yang dimaksud adalah “hukum itu berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat”.
Kita katakan “menerapkan perkataan ini secara sama rata adalah batil. Jika yang dimaksud adalah hukum-hukum yang boleh berijtihad padanya, lalu berdasarkan hukum-hukum tersebut, seorang mujtahid memperhatikan fenomena yang ada di zamannya kemudian menerapkan hukum yang sesuai dengan zamannya, maka ini diperbolehkan. Adapun hukum tentang harom, halal, riba, zina dan pencurian maka tidak berubah sampai hari kiamat. Sekarang kita katakan bahwa peristiwa sejarah di muka wajib kita ambil sebagai pelajaran yang memerintahkan kepada kebaikan dan yang diperingatkan. Keadaan mereka (orang-orang yang disebut dalam soal di atas) sangat berbeda dengan keadaan orang-orang itu dimana mereka menyangka bahwa sekedar bersinggungan dengan kebenaran berarti benar. Sedang orang-orang salaf itu sangat memperhatikan (faktor-faktor): keberadaan penguasa yang dinasehati dengan sikon yang melingkupinya. Adapun penerapan kaedah tersebut di masa ini sangat bertolak belakang. Maka metode dakwah yang pas lagi bil hikmah pada zaman itu adalah seperti yang diterapkan para ulama tersebut. Tetapi pada zaman sekarang sangat berbeda, karena dewasa ini kebanyakan kita jahil terhadap ilmu syar’i. Tidak mampu menerapkan sikap hikmah yang dikecap oleh mereka. Alloh berfirman:
(barangsiapa diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak).
Soal:
Masih berkaitan dengan soal di atas, sebagian khotib pada hari Jum’at berkhotbah dengan mencela penguasa atau semacamnya. Akibatnya khotbah dihentikan atau manusia tidak bisa lagi mendengarkannya. Terlebih bila sang khotib adalah orang yang mempunyai ilmu atau orang yang faqih? Bagaimana nasehat anda?
Jawab:
Demikian juga persoalan ini, saya berpendapat metode ini tidak boleh diterapkan. Terutama dalam khotbah. Karena adanya perbedaan-perbedaan yang telah saya sebutkan tadi. Sebab, cacian dan celaan ini tidak akan memberi faedah bagi penguasa, bahkan akan muncul kerusakan yang lebih besar. Jika kerusakannya tidak berkurang maka itu merupakan kejelekan seluruhnya. Pada kenyataan metode ini berseberangan dengan dakwah dan metode yang kami serukan sejak sepuluh tahun yaitu tashfiyah dan tarbiyah (pemurnian agama dari anasir yang tidak termasuk dien dan pendidikan manusia dengan syariat agama yang telah ditashfiyah tadi).
Kesimpulannya: metode di atas adalah keliru. (Majalah Al Furqon Edisi 77 th 8 Robiul Akhir 1417 H).
sumber:muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar