Sabtu, 09 Januari 2010

Apakah Islam Akan Kembali Agung Seperti Semula ?

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2



Bagaimana Kita Mengetahui Bahwa Islam Itu Besar Di Mata Manusia Atau Sebaliknya ? Atau Bagaimana Kita Mengetahui Bahwa Kaum Muslimin Itu Agung Atau Lemah ?

Ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa kemuliaan Islam ada di tengah kehidupan kaum Muslimin dan kemuliaan kaum Muslimin ada di tengah umat manusia.

Bukti Kemuliaan Islam Yang Pertama.
Semaraknya dan tersebarnya panji–panji Islam yang banyak.

Jika Anda ingin mengetahui tegaknya izzah Islam di tengah kaum Muslimin, maka perhatikanlah, apakah syiar–syiar agama, seperti adzan, shalat, pelaksanaan rukun Islam, amar makruf nahi mungkar terlihat jelas di tengah kaum Muslimin ? Apakah berwasiat dalam kebaikan dan kesabaran ada di tengah kaum Muslimin ?

Kalau Anda melihat nilai–nilai ada, melihat amal shalih, ilmu yang bermanfaat ada. Jika anda menyaksikan kondisi–kondisi seperti ini dan akhlak yang shalih ada, berarti manusia dalam keadaan baik, dan agama Islam masih dalam keadaan mulia.

Oleh karena itu, Rasulullah menghubungkan kemuliaan Islam dengan pelaksanaan syiar–syiar agama Islam, berkembangnya Sunnah di kalangan umat Islam. Dan anda sekalian mengetahui, bahwa orang yang berpuasa, tatkala matahari telah terbenam, maka hendaknya langsung berbuka. Sebabnya, menyegerakan berbuka puasa termasuk sunnah. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Agama ini senantiasa akan tegak, selama orang–orang menyegarakan berbuka puasa”

Sabda beliau yang lain

“Artinya : Agama ini akan selalu mulia selama umatku tidak menunggu terbitnya bintang dalam berbuka puasa”

Disini, beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam menghubungkan tegaknya agama dengan tumbuhnya syiar–syiar agama. Kalian melihat ada semangat emosional bagi Islam. Orang–orang masih memilikinya, alhamdulillah, belum padam. Tetapi kita menginginkan tumbuhnya syiar–syiar Islam dalam kehidupan nyata kaum Muslimin. Kita ingin semangat yang ada di kalbu umat tersebut menjelma menjadi tumbuhnya syiar–syiar Islam.

Lihatlah, kasus sang pelukis kafir tatkala berbuat aniaya terhadap Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salalm, melukis karikatur–karikatur buruk lagi dusta yang melecehkan beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam. Di timur dan barat, utara dan selatan, umat tergerak untuk mengingkarinya. Sebagian tindakan mereka dapat dibenarkan syariat. Namun sebagian yang lain tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ada pemboikotan kepada negara–negara kafir dalam bidang ekonomi. Ini berarti masih ada semangat agama pada mereka. Kita tidak ingin ini saja. Tapi bersama ini, kita ingin tegaknya syiar–syiar agama.

Kita memang mencintai Rasulullah dengan sepenuh perasaan kita. Tapi pembelaan kita yang hakiki kepada Rasul adalah membela Sunnah Rasul, dengan menghidupkan sunnahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan pertolongan kepada orang yang menolong agamaNya.

“Artinya : Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar–benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” [Al–Hajj : 40]

Barang siapa yang menolong agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Allah membelanya. Barang siapa menolong Rasul, niscaya Allah akan membelanya. Allah berfirman.

“Artinya : Dan kami sekalian menguatkan (agama) nya dan menghormatiny” [ Al–Fath : 9]

Menurut mayoritas ulama tafsir, kata ganti ketiga (pada ayat di atas) ini mewaikili Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Kalau umat ingin benar–benar membela Rasul, maka harus konsisten dengan agamanya. Kita mendukung adanya pemboikotan produk musuh. Tetapi sebelum itu, kita harus memboikot pemikiran musuh, kebudayaan barat, aqidah musuh, kebudayaan asing. Dengan ini, syiar–syiar agama akan terlihat di tengah khalayak.

Tanda Kemuliaan Umat Yang Lainnya.
Yaitu adanya sikap mandiri, tidak bergantung kepada umat lain ; sebagai umat merdeka dengan aqidah, manhajnya, ekonominya, kebudayaannya, tidak meniru barat, umat kafir atau umat lainnya. Bukan berarti kita tidak boleh mengambil manfaat dari produk ilmu–ilmu mereka. Imu–ilmu teknologi tersebut bukan monopoli mereka saja, milik siapa saja, dapat diraih oleh siapa saja yang menekuninya. Dan umat Islam, diperintahkan untuk menyatukan dua kebaikan, dunia dan akhirat.

“Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [Al–Qashash : 77]

Jadi, seorang mukmin beramal untuk akhiratnya, dengan amal shalih ; dan beramal untuk dunia, dengan membangunnya. Oleh karena itu terlihat kembali hadits Nabi Shalallahu 'slaihi wa sallam.

“Artinya : agama ini akan selalu mulia selama umatku tidak menunggu terbitnya bintang dalam berbuka puasa.”

Siapakah yang menunggu terbitnya bintang–bintang saat akan berbuka puasa ? (Mereka) ialah : Yahudi dari orang kafir dan golongan Rafidhah (Syi’ah). Artinya, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, apabila umatku menunggu terbitnya bintang–bintang untuk berbuka puasa, maka mereka telah mengekor umat lain yang mengakibatkan jati diri umat ini menjadi lemah.

Tanda Kemuliaan Islam Yang Lain.
Orang–orang memberlakukan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada denyut kehidupan mereka, para penguasa menetapkan Al–Qur’an dan As–Sunnah sebagai aturan perundang–undangan. Karena, aplikasi syari’at hukumnya wajib dan fardhu ‘ain atas setiap muslim. Perhatikanlah sabda Nabi.

“Artinya : Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin ditanya tentang pertanggung jawabannya”

Dari sini, setiap muslim adalah pemimpin. Dan sebagai pemimpin, bertanggung jawab untuk menerapkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa Salaam. Jadi, menegakkan hukum Allah sebagai undang–undang adalah wajib, fardhu ‘ain sesuai kedudukan dan tanggung jawabnya. Allah berfirman.

“Artinya : Dan tentang perkara apa saja yang kamu perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah” [Asy-Syura : 10]

“Artinya : Menetapkan hokum itu hanyalah hak Allah” [Al-An’am : 57]

Jadi, penerapan syari’at, hukum Allah dan penegakan Negara Islam merupakan kewajiban atas umat Islam. Sedangkan meremehkan atau lemah dalam mengusahakan masalah ini, tidak akan membuahkan hasil sama sekali. Tetapi dalam hal menyeru kepada hal ini, harus sesuai dengan metode Nabi. Kita menyeru agar ditetapkan syarat, agama dan hokum Allah dengan cara Rasulullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu, dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” [An-Nahl : 125]

“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]

Jadi, kita menyeru dengan hujjah, burhan, dalil dan penjelasan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menegakkan sebuah Negara Islam, tetapi tidak dengan pedang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menegakkannya tatkala berhasil menanamkan aqidah pada umat. Setiap umat yang telah berhasil mengekkan tauhid dan kalimat Laa Ilaaha Illallah dalam kehidupan mereka, niscaya Allah menegakkan daulah Islam di negeri mereka.

Oleh karena itu tatkala Nabi menawarkan dakwah Islam kepada kabilah-kabilah saat musim haji, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.

“Artinya : Katakanlah sebuah pernyataan! Dengan itu, bangsa Arab akan tunduk kepada kalian, dan kalian akan menguasai bangsa Asing. Katakanlah Laa Ilaaha Illa Allah, niscaya kalian akan selamat”.

Jadi umat yang menegakkan tauhid, menegakkan sunnah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugrahkan kekuasaan bagi mereka di bumi ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku” [An-Nur : 55]

Istikhlaf dan Tamkin (kekuasaan dan kemenangan) adalah sebuah janji dari Allah bagi orang-orang beriman yang berusaha. Kemudian lihatlah "Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Allah ridhai untuk mereka". Sebelum Allah menegakkan Negara di bumi, Allah menegakkan agama di hati manusia. Tatkala agama telah tertanam di hati kita masing-masing, kita sudah menegakkan hukum Allah di hati masing-masing, kita telah menegakkan hukum Allah dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan kita, niscaya Allah akan memberikan anugrah berupa Istikhlaf dan Tamkin.

Apakah Islam Akan Kembali Agung Seperti Semula ?
Perkara ini telah di beritahukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.

“Artinya : Agama ini akan menyebar sejauh jarak yang dicapai malam dan siang, dengan kemulian orang yang mulia dan kehinaan orang yang terhjina ; yaitu kemuliaan yang dengannya Allah akan memuliakan Islam dan penganutnya, dan menghinakan kesyirikan dan pengikutnya”.

(Dalam hadits ini) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Islam, meskipun tertekan dalam kehidupan manusia dan lemah di jiwa sebagian kaum muslimin, (tetap ia) akan kembali agung, menang, bercahaya sebagaimana disebutkan Rasul dalam hadits yang mulia. Ini juga menunjukkan, masa depan hanya milik Islam. Tidak syak lagi, ini pasti datiang dan tiba, tidak bisa tidak ! Karena kita mengimani Allah dan RasulNya. Maha Benar Allah, demikian juga RasulNya. Peristiwa yang diberitahukan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti tiba, tidak ada yang bisa mengingkarinya.

Tapi ada faktor-faktor yang menghalangi menuju kebesaran Islam dan jalan ke sana, di antaranya yang paling penting ialah.

Pertama : Fanatisme Daerah Dan Sukuisme
Di tengah kaum muslimin tumbuh seruan-seruan kepada fanatisme daerah dan sukuisme. Seruan ini telah mencerai beraikan kaum muslimin. Juga merupakan perkara yang menekan dan menghinakan mereka.Bangsa Arab menyeru kepada fanatisme golongannya sendiri. Demikian juga bangsa Persia, Turki. Bangsa Urdu berperang untuk memperjuangkan fanatisme golongannya. Kaum muslimin terpecah belah menjadi berbagi macam golongan. Bahkan dalam satu golongan pun bercerai berai, muncul banyak faksi. Satu pihak menyeru ke arah selatan dan pihak lainnya menyeru kea rah utara. Ini menyeru kepada barat dan itu menyeru kea rah timur, padahal mereka berasal dari negara yang sama, keturunan yang sama.

Kaum muslimin bercerai berai menjadi berbagai golongan dan sekte, padahal sebelumnya mereka adalah umat yang satu. Tatkala mereka terpecah belah, maka kekuatannya melemah dan menjadi pengekor musuh serta makanan yang diperbutkan musuh-musuh Islam. Inilah sebagian penghalang yang menghadang jalan menuju keagungan Islam.

Dengan pandangan yang tajam, kita bisa mengetahui dampak yang muncul bahwa penguasaan yang dilakukan orang-orang kafir bukan berbentuk dzati, tetapi merupakan penguasaan yang sifatnya efek dari kejadian lainnya. Maksudnya, lantaran kelemahan iman dan kelemahan umat Islam. Kita melihat factor penunjang kekuatan barat adalah kekuatan politik militer dan ekonomi serta kelemahan kaum muslimin.

Kalau kita memperhatikan kekuatan politik barat, ternyata konsep politik mereka telah terbuka kedoknya, terbongkar boroknya, politik yang tertumpu pada dusta, nifak, memainkan standard yang pincang, mengukur dengan timbangan ganda, memainkan dua benang. Mereka menuntut penerapan sesuatu, tetapi justru mereka yang mempecundanginya. Mereka menuntut negara-negara Islam menerapkan demokrai, tetapi ketika negara-negara kaum muslimin memenangkannya, mereka mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa politik mereka bedasarkan kedustaan dan kepalsuan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membuka kedok mereka.

Mari kita lihat kekuatan ekonomi barat. Kekuatan ekonomi mereka hancur. Kekuatan ekonomi mereka menjadi kuat lantaran menguasai kekuasaan alam negara-negara Islam, mengeruk kekayaannya. Mereka menjajah negara-negara Islam. Minyak bumi kita, mereka rampok. Emas-emas kita, mereka curi. Minyak bumi dan kekayaan negara kita dikeruk, dijual dipasar dengan nilai rendah. Tidak ada yang mengetahui berapa banyaknya kecuali Allah.

Adapun kekuatan militer mereka, Allah-lah yang akan mengatasinya. Lihatlah, di penghujung abad sebelumnya, ada dua kekuatan yang menguasai dunia. Kekuatan Timur yang terwakili oleh kekuatan komunisme Soviet dan kekuatan Barat yang kapitalisme dengan Amerika sebagai pemimpinnya.

Bagaimana Uni Soviet bisa terkoyak, padahal memiliki persenjataan yang canggih? Allah mendatangi mereka dari sudut yang tidak mereka sangka, dan melemparkan rasa takut di hati-hati mereka. Mereka hancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan kaum muslimin. Ambillah pelajaran dari kejadian ini, wahai orang-orang yang berakal.

Amerika tidak menyerang Uni Soviet dengan nuklirnya (sehingga hancur). Kehancuran kekuatan Uni Soviet berasal dari dalam. Sedab, adanya factor-faktor yang memaksanya hancur. Demikian juga, Amerika sudah berada di ambang kehancuran dari dalam. Melemahnya ekonomi, kerusakan dan degradasi moral, kekalahan kekiuatan militer. Kekuatan-kekuatan ini sudah tidak bertaji lagi. Kekuatan mereka yang tersisa adalah kelemahan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka berusaha mengkondisikan agar kaum muslimin dalam keadaan lemah. Lemah dalam agama, duniawi, pemikiran dan harapan. Jika kaum muslimin kembali pada agama mereka, niscaya kesyirikan akan runtuh, kekufuran akan lenyap. Kekuatan yang menakutkan dunia ini akan sirna dengan kalmatut tauhid, Laa Ilaaha Illallah.

Jadi, penghalang yang paling besar demi mencapai kebesaran Islam adalah terpecah belahnya umat Islam.

Apa Jalan Menuju Kebesaran Islam ?
Konsepnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti tercantum dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhu.

“Artinya : Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegangi ekor-ekor sapi, dan menyenangi pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan pada kalian kehinaan, tidak akan mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian”.

Jika demikian, jalan menuju ke sana, wahai saudara-saudaraku, wahai pemuda Islam, wahai harapan umat, wahai orang yang menjadi bekal harapan bagi masa depan yang terang ; jalan menuju keagungan Islam adalah degan kembali memegangi agama kita ini yang dahulu dipegangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan generasi Salafush Shalih. Tatkala mereka konsisten berada di atas agama ini, mereka menjadi umat manusia yang terbaik, para pemimpin wilayah, guru bagi umat manusia, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju ke cahaya terang. Dengan kembali kepada agama kita, agama kita akan menjadi besar lagi. Masa itu pasti akan dating, tetapi membutuhkan kesabaran dan ketabahan.

“Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siap siaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung” [Ali-Imranm : 200]

Semoga Allah Al-Qawiyyu Al-Aziz menolong Islam dan kaum Muslimin, menampakkan Al-Haq dan menegakkan negeri Islam dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah-lah yang akan mewujudkannya dan Dia Maha Kuasa untuk itu.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/1426. Diambil dari Muhadharah Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali di Masjid Kampus Universitas Brawijawa Malang., Rabu. 15 Februari 2006]



dikutip dari:almanhaj.or.id

DIMANA ALLAH …?

Oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhan Al-Jazairi



Suatu ketika Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu pernah bertemu dengan salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yang terjadi pada mereka, dan telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yang dilontarkan Syaikh kepadanya yaitu yang saya nukil secara ringkas disini.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu bertanya : “Apakah setiap orang yang bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas Arsy?

Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya untuk lari dari pertanyaan Syaikh Al-Albani, dan Syaikh pun berupaya untuk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dengan mengatakan : “Kami berharap demikian”.

Syaikh berkata kepadanya : “Tinggalkan jawabanmu yang bersifat politis ini!”.

Lalu, diapun menjawab dengan tegas bahwasanya mereka tidak mengetahui hal itu. Maka, Syaikh berkata : “Cukuplah bagiku jawabanmu itu!”.

Prinsip Tasfiyyah dan Tarbiyyah mengharuskan pertanyaan diatas yang merupakan barometer yang paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama’ah-jama’ah pada zaman ini yang menyerukan jihad. Sebab, orang yang tidak mampu memurnikan akidah para pendukung dan pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pada pemurnian (buah dari akidah tersebut), baik dalam akhlak, perilkau maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yang membenci dan memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Rad : 11]

Selanjutnya, jihad itu sendiri tidak akan terwujud kecuali dengan sebuah umat yang hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dialah yang memperkuatmu dengan pertolonganNya dan dengan orang-orang mu’min, dan yang mempersatukan hati mereka” [Al-Anfaal : 62-63]

sedangkan hati-hati itu, jika tidak disatukan diatas akidah Salafush Shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yang tidak akan mungkin dapat disatukan dengan persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dengan mengarahkan firmanNya kepada para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka.

“Artinya : Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu” [Al-Baqarah : 137]

Bagaimanapun yang telah diupayakan para ‘Buih Politik” itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan akidah mereka mengarah kepada suatu sikap “Tamyi” (sikap menerima siapa saja yang mendukung mereka tanpa memperhatikan akidah dianutnya) dan akan berakhir dengan perpecahan dan saling mebid’ahkan.

Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yang bersifat jasmani tidak akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati becerai-berai. Dan saya tidak menjumpai suatu sifat (gambaran) yang lebih tepat dan benar untuk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yang telah di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi.

“Artinya : Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah” [Al-Hasyr : 14]

Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasaan yang baik bagi hamba-hambaNya yang beribadah kepadaNya saja. Tanpa menyekutukanNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” [An-Nur ; 55]

Bagian terdepan ayat ini tidak boleh ditolak dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah untuk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yang senantiasa berhenti pada nash (ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

“Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” [An-Nur : 74]

Adapun pembatasan Syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pada masalah istiwa (bersemayamya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas di singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yang memisahkan antara Ahlus Sunnah dan para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah akidah yang mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yang hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana mereka telah menaklukkan dunia ini dan memimpin umat-umat yang beraneka ragam. (Akidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.

Ujian ini dilkukan oleh Syaikh Al-Albani dengan menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yang beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya dan berada di atas garis kejahilan (orang-orang yang hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh para Salafush Shalih, meskipun di benci oleh setiap khalaf (orang yang datang sesudah mereka) yang tidak menempuh jalan dan cara mereka.

Imam Muslim dan lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin Al-Hakam As-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata :

“Artinya : Aku memiliki sekawanan kambing yang berada diantara gunung Uhud dan Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan kepadanya : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?, ‘Beliau berkata : Panggilah ia !, Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya : ‘Dimana Allah?”, Wanita itu menjawab : ‘Diatas’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku?’, Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah!, Beliau berkata : ‘Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! Karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yang beriman”. [Ahmad V/447, Muslim 537]

Maka, perhatikanlah dengan seksama masyarakat tersebut (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda), yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjihad bersama mereka, akidah mereka sempurna (merata) hingga pada para penggembala kambing, yang mana perjumpaan (pergaulan) mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dengan seksama realita masyarakat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dengan seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yang sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dengan perjuangan masyarakat muslimin yang pertama.

Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas akidah “ainallah” (dimana Allah)?

Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yang ditertawakan dan jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yang telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yang diperolok-olokan oleh para pengasuh jama’ah-jama’ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dengan hukum yang diturunan Allah Azza wa Jalla meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla ?

Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan untuk melepaskan, membebaskan dan memerdekakan mereka dari orang-orang yang menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah?

“Artinya : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” [Yusuf : 21]

Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya untuk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yang dicurahkan pada permasalahan hukum megandung perhatian terhadap syariat dan dalam perhatian yang dicurahkan kepada masalah istiwa’ (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasanya pada perhatian yang pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian untuk dirinya berupa apa yang sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yang diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yang berhak menerimanya) dan kehidupan yang senantiasa tercukupi yang benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya.

“Artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” [Al-A’raaf : 96]

Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dengan hak Allah Azza wa Jalla. Adapun perhatian terhadap “Sifat istiwa Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya”, merupakan perhatian yang murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yang mengajak manusia kepada penetapan dan iman kepada sifat ini tidak mendapat bagian untuk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.

Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan “ Hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla” yang disertai dengan sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yang murni atau mengkafirkannya atau menjadikannya sebagai suatu masalah yang berada pada urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yang menunjukkan bahwa pada urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yang paling mulia yang diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemuliaan yang dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Semua ini semakin memberi penekanan yang kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah/ajakan para Nabi alaihimussalam yang telah menyatakan kepada umat-umat mereka.

“Artinya : Beribadahlah kepada Allah, sekai-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia” [Al-A’raaf ; 59]

Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yang terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yang terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas untuk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah !!!

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 Th. II 1425H/2004M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali-Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda Surabaya]



dikutip dari:almanhaj.or.id

DIANTARA HUKUM BULAN MUHARRAM

Oleh
Ummu Abdurrahman bintu Muhammad Arfat




Maka berbahagialah bagi seseorang yang dapat mengisi waktunya dengan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah, bebahagialah bagi seseorang yang menyibukkan dirinya dengan ketaatan dan menghindari maksiat. Berbahagialah bagi
seseorang yang meyakini adanya hikmah-hikmah Allah yang agung dan rahasia-rahasia-Nya (yang Dia ketahui), dengan melihat kepada silih bergantinya perkara-perkara dan keadaan-keadaan.

“Artinya : Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan” [An-Nur : 44]

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini kamu berpisah dengan tahun yang telah lalu, yang menjadi saksi. Dan kamu akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kamu tinggalkan untuk tahun kemarin ? Dan dengan apa kamu akan menyambut tahun yang baru ini ?

Maka seseorang yang berakal hendaklah menginstropeksi dirinya, dan melihat urusannya. Jika sekiranya dia telah meninggalkan suatu kewajiban, maka segeralah bertaubat dan segeralah untuk memperbaiki apa yang ditinggalkannya. Dan jika dia telah mendhalimi dirinya sendiri dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal yang haram segeralah ia meninggalkannya sebelum datangnya kematian.

Dan jika dia termasuk orang yang diberi keistiqomahan oleh Allah, maka mintalah untuk tetap istiqomah sampai akhir hidupnya. [Dari kitab Dhiya’ul Lami Minal Khutabil Jawami’ I/313-314 secara bebas, karya Syaikh Utsaimin]

Awal bulan telah membawa kita ketahun baru Hijriyah, bulan itu ialah bulan Allah Al-Muharam. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing lagi bagimu. Tetapi ….! Apakah bulan ini memiliki hukum-hukum yang harus diketahui oleh thalibul ilmi, thalibul haq dan thalibul akhirah (penuntut ilmu, pencari kebenaran dan orang yang menginginkan akhirat)? Yaa … di bulan ini ada amalan-amalan yang harus diperhatikan, sebagai upaya untuk menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada petunjuk agama.

“Artinya : Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka” [Hadits Riwayat Muslim]

Pemuda sejati, demi Allah ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaan
Tidaklah dikatakan pemuda sejati kalau tidak memiliki keduanya.

DIANTARA HUKUM-HUKUM BULAN MUHARRAM
Pertama : Dilarang Berbuat Dhalim Di Bulan Itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu” [At-Taubah : 36]

Sesungguhnya Allah tidak menulis di dalam Lauhul Makhfud yaitu pada hari penciptaan langit dan bumi, bahwa jumlah bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan. Empat bulan di antaranya ialah haram (mulia) : Tiga beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang ada antara Jumada dan Sya’ban,

“Allah memiliki hikmah yang sempurna, yaitu ketika Dia memilih utusan-utusan dari kalangan malaikat (seperti Jibril untuk menyampaikan wahyu, -red), begitu juga dari kalangan manusia (yakni para rasul yang diutus Allah,-red). Dan Allah juga mengutamakan beberapa waktu dibanding dengan waktu yang lainnya, beberapa tempat dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Dan mengutamakan sebagian bulan dengan sebagian lainnya, sebagian hari dengan sebagian lainnya” [Dhiya’ul Lami 2/704]

Adapun tentang larangan berbuat dhalim pada ayat diatas, ulama Salaf berbeda pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud kedhaliman adalah peperangan secara mutlak. Sebagian mereka berkata –dan ini yang lebih rajih- bahwa maksud dari kedhaliman dalam ayat diatas ialah dilarangnya memulai peperangan. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedhaliman di dalam ayat ialah berbuat dosa dan kemaksiatan.

Maka –wahai saudara-saudara seagama Islam-, hendaklah kita berhati-hati dari kedhaliman, baik mendhalimi diri kita sendiri atau mendhalimi orang lain. Hendaklah kita mengingat wasiat kekal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

“Artinya : Tahukah kalian dengan kedhaliman, karena sesungguhnya kedhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat” [Hadits Riwayat Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102]

Dan hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang didhalimi, walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan Allah).

Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kedhaliman) dan memutus silaturahim” [Ash-Shahihah no 915]

Di dalam syair dikatakan.

Apakah orang yang sangat dhalim itu akan selamat.
Padahal di belakangnya terdapat panah do’a yang siap menancap dari orang negeri Qas yang sedang ruku.

Maka hendaklah orang-orang yang terdhalimi bergembira dengan diijabahi do’a mereka oleh Allah yang Maha Mendengar dan Mengetahui, walaupun selang beberapa waktu.

Hendaklah mereka senang dan tenang, yaitu bahwa orang-orang yang dhalim itu akan celaka di dunia dan akhirat. Dan bahwasanya Allah tidaklah menyelisihi janjiNya, “akan tetapi kalian itu kaum yang tergesa-gesa”.

Adapun orang yang membantu orang-orang yang dhalim di dalam kedhaliman dan kesesatan mereka, apapun kedudukan orang-orang yang dhalim itu, baik penguasa ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pediah pasti akan menunggu mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Siapa membantu orang yang dhalim, untuk menolak kebenaran dengan kebhatilannya, maka sesungguhnya jaminan Allah dan RasulNya telah terlepas darinya” [Hadits Riwayat Hakim. Shahihul Jami’ no 6048]

Hadits yang mulia diatas cukuplah menjadi peringatan dari kedhaliman, baik kecil maupun besar, bagi orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia menyaksikan.

Kedua : Disunahkan Puasa Secara Mutlak Khususnya 9 dan 10 Muharram

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram” [Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah]

Adapun puasa 9 Muharram, maka itu disunnahkan. Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan.

“Artinya : Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) supaya berpuasa. Para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani”, Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pada tahun depan insya Allah kita puasa tanggal 9”. Tetapi beliau wafat sebelum datangnya tahun berikutnya” [Hadits Riwayat Muslim]

Di dalam hadits lain.

“Artinya : Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku akan puasa tanggal 9. Tetapi beliau meninggal sebelum itu” [Hadits Riwayat Muslim]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan kepada umatnya supaya berpuasa Asyura (tanggal 10 Muharram), ketika ditanya tentang puasa Asyura, dengan sabdanya ;

“Artinya : Puasa Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu” [Hadits Riwayat Muslim]

Beliau juga senantiasa melakukan puasa Asyura berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari lain kecuali hari ini, yaitu Asyura” [Shahih At-Targhib wa Tarhib]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Asyura merupakan hari diantara hari-hari Allah” [Hadits Riwayat Muslim]

Benarlah bahwa Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya dari kejaran Fair’aun. Maka berpuasalah Nabi Musa ‘Alaihis sallam sebagai wujud syukur kepada Allah. Tatkala Rasulullah datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa pada hari itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang sebabnya. Maka orang-orang Yahudi menjawab bahwa mereka mengagungkan hari itu, karena pada hari itu Nabi Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Maka aku lebih berhak terhadap Musa daripada kamu. Maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan umatnya supaya berpuasa pada hari itu” [Hadits Riwayat Bukhari]

Pada mulanya puasa Asyura diwajibkan, tetapi setelah Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa berkehendak, silahkan berpuasa, dan barangsiapa berkehendak, silahkan meninggalkan (tidak berpuasa)”.

Mungkin ada orang yang berkata : “Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura, mengikuti orang-orang Yahudi, padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka, yaitu orang-orang yang di murkai oleh Allah”.

Jawabannya adalah : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa Asyura pada zaman jahiliyah, bahkan orang Quraisy pun berpuasa pada hari itu. Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Asyura itu sebelum beliau datang ke Madinah (yang disana bertemu dengan orang-orang Yahudi,-red). Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan khabar orang-orang Yahudi, bahwa nabi Musa ‘Alaihis sallam berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur, karena Allah telah menyelamatkan dari Fir’aun. Maka orang-orang Yahudi pun mengagungkan hari itu. Al-Mazari berpendapat bahwa pembenaran Nabi kepada Yahudi mungkin setelah Nabi diberi wahyu tentang kebenaran mereka, dan kabar itu telah sangat masyhur pada beliau. Atau mungkin orang Yahudi yang telah masuk Islam, seperti Ibnu Salam, telah mengabarkan kepada Nabi tentang kebenaran kabar tersebut, Kesimpulannya, bahwa Nabi melakukan puasa Asyura bukanlah karena mengikuti orang Yahudi, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpuasa sebelum Rasulullah pergi ke Madinah. Dan waktu itu menyamai Ahli Kitab dalam perkara yang tidak dilarang secara syar’i.


KAIDAH MUWAFAQAH (MENYAAMAI) MEWUJUDKAN ADANYA TASYABUH (MENYERUPAI).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyamai Yahudi dalam mengagungkan hari Asyura dengan cara mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka, yaitu dengan (niat) melakukan puasa satu hari sebelum Asyura yaitu tanggal 9 Muharram

Adapun puasa setelahnya yaitu 11 Muharram , ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”

Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam ta’liq (komentar) nya terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 no. 290, bahwa sanadnya dha’if, karena kejelakan hafalan Abu Laila, dan Atha’ serta yang lain menyelisihinya juga. Bahkan Ath-Thahawi dan Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara mauquf (dari perkataan Ibnu Abbas) dan sanadnya shahih.

Sekarang jelaslah tentang kelemahan orang yang menyatakan bahwa puasa Asyura itu bertingkat-tingkat. Yang paling tinggi tingkatannya adalah puasa sebelum ataupun sesudahnya. Dalam hal ini perkataan Ibnu Abbas menjadi penguat puasa pada tanggal 9 Muharram dan 10 Muharram dalam rangka untuk menyelisihi orang Yahudi. Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Fatawa juz 25 hal. 313. Wallahu a’lam

PERINGATAN TENTANG HADITS DHAIF YANG BERKAITAN DENGAN KEUTAMAAN ASYURA

“Artinya : Siapa yang memberikan kelonggaran (nafkah) kepada orang yang menjadi tanggungannya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya selama setahun penuh”.

Hadits dhaif sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Tamamul Minnah oleh Syaikh Al-Albani hal. 412

“Artinya : Siapa yang bercelak dengan itsmid pada hari Asyura, dia tidak akan terkena penyakit mata selamanya”

Hadits maudhu (palsu) sebagaimana di dalam kiat Adh-Dhaifah no. 224

Maka sikap Ahlu Sunnah wal Jama’ah di dalam menghadapi hari Asyura adalah bahwa Asyura bukanlah hari untuk senda gurau ataupun untuk mencela. Akan tetapi yang sunnah ialah melakukan puasa, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya. Dan terkutulah ahli bid’ah (yang membikin berbagai bid’ah pada hari yang mulia ini)

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengagungkan hari itu dan memanggil bayi-bayi yan menyusui milik beliau dan Fathimah, kemudian beliau meludah di mulut mereka dan memerintahkan ibu mereka agar tidak menyusuinya sampai malam”

Hadits dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah no. 2089

Akhirnya, inilah yang bisa kami ketengahkan tentang pembahasan penting yang berhubungan dengan bulan Muharram. Jika pembaca menginginkan pembasahan yang lebih luas bisa melihat kitab-kitab fikih induk dan kitab-kitab aqidah yang membantah ahli bid’ah dan kitab-kitab lain yang membahas masalah ini. Dan juga hendaknya melihat kitab Ra’sul Husain karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kitab Istisyhadul Husain karya Ibnu Katsir, dan kitab Al-Awashim Minal Qawashim karya Ibnul Arabi Al-Maliki. Sehingga bisa mengetahui hakikat peristiwa musibah Husain bin Ali menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan juga mengetahui seberapa besar bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah, yang mengatas namakan kecintaan kepada Ahlul Bait dan pembelaan kepada mereka dengan merusak sejarah Islam. Dan agar mengetahui berdasarkan ilmu, tentang sejarah Husain Radhiyalahu ‘anhu dan riwayat-riwayat yang menceritakan tentang musibah yang besar itu. Yang hingga kini terus menerus umat harus membayar harga musibah tersebut. Semua itu mereka lakukan dengan mengatas namakan Ahlul Bait dan penghapusan dosa terbunuhnya Husain dengan cara membunuh Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mengadakan propaganda-propaganda untuk melawan Ahlus Sunnah, dan menanamkan rasa takut di hati mereka. Maka semoga Allah membinasakan ahli bid’ah dan ahli ahwa, yang mereka itu membunuhi umat Islam tetapi membiarkan para penyembah berhala.

Kita memohon kepada Allah semoga Dia menyelamatkan kita dari bid’ah-bid’ah dan dari perkara-perkara yang diadakan di dalam agama.

[Diterjemahkan oleh Abu Aminah Ady Abdul Jabbar dari majalah Al-Ashalah, hal.67-73, No. 11, 15 Dzulhijjah 1414h]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]



dikutip dari:almanhaj.or.id

HUKUM MENGOLOK-OLOK AGAMA UNTUK MEMBUAT ORANG LAIN TERTAWA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada sebagian orang yang bercanda dengan perkataan yang mengandung olok-olok terhadap Allah atau RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau agama. Bagaimana hukumnya ?

Jawaban.
Perbuatan ini, yakni mengolok-olok Allah atau RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau KitabNya atau agamaNya, walaupun dengan bercanda dan sekalipun sekedar untuk membuat orang lain tertawa, sesungguhnya perbuatan ini merupakan kekufuran dan kemunafikan. Perbuatan ini seperti yang pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu mereka yang mengatakan, “Kami belum pernah melihat para pembaca (Al-Qur’an) kami yang lebih buncit perutnya, lebih berdusta lisannya dan pengecut saat berhadapan dengan musuh”. Maksudnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Lalu turunlah ayat tentang mereka.

“Artinya : Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja” [At-Taubah : 65]

Karena itu mereka datang kepada Nabi Shallalalhu’alaihi wa sallam dan mengatakan, “Sesungguhnya kami membicarakan hal itu ketika kami dalam perjalanan, dengan tujuan untuk menghilangkan payahnya perjalanan”. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada merekansebagaimana yang diperintahkan Allah.

“Artinya : Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok ?’. Tidak usah kami minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman” [At-Taubah : 65-66].

Jadi, segi Rububiyah, kerasulan, wahyu dan agama adalah segi yang terhormat, tidak boleh seorangpun bermain-main dengan itu, tidak untuk olok-olok, membuat orang lain tertawa ataupun menghina. Barangsiapa yang melakukannya berarti ia telah kafir, karena perbuatannya itu menunjukkan penghinaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, para rasulNya, kitab-kitabNya dan syariat-syariatNya. Dari itu, barangsiapa melakukan perbuatan tersebut, hendaknya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang telah diperbuatnya, karena perbuatan ini termasuk kemunafikan, dari itu hendaknya ia bertaubat kepada Allah, memohon ampunan dan memperbaiki perbuatannya serta menumbuhkan di dalam hatinya rasa takut terhadap Allah Subahanahu wa Ta’ala, pengagungan terhadapNya, rasa takut dan cinta terhadapNya. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi hidayah.

[Majmu Fatawa wa Rasa’il Ibnu Utsaimin, Juz 2, hal.156]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Terbitan Darul Haq]



dikutip dari:almanhaj.or.id

MUHARRAM (SURO) BULAN KERAMAT ?

Oleh
Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari


Muharram (Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di indahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya : “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara. Selain itu, untuk memperoleh kesalamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.

Acara lain yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama kyai slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela berpayah-payah. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal kerbau merupakan symbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya : “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.

Itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro). Mungkin masih banyak lagi tradisi yang belum terekam disini. Kelihatannya tahayul ini diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut.

Namun kepentingan kepada Muharram (Suro) ini tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” Perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85]

Dikatakan pula : “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam Husain di Karbala tahun 61H, peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badanya terbuka. Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51]

Mengapa mereka begitu ekstrim ? Karena ziarah ke kuburan Al-Husain merupakan amalan yang mereka anggap paling mulia. Dalam kitab mereka semisal Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqiihu oleh Ibnu Babawih dan kitab lainnya, diriwayatkan : “… Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pada hari Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan imam yang adil”. Dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan “ Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling mulia”, riwayat lainnya, “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia dibanding Makkah Al-Mukaramah. Karena Al-Husain dikuburkan di disana. [Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna Asyriyah Dr Nashir Al-Qifari, hal. 460-464]


MUHARRAM DALAM PANDANGAN ISLAM

[1]. Muharram Adalah Bulan Yang Mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” [At-Taubah : 36]

Imam Ath-Thabari berkata : “Bulan itu ada dua belas, empat diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dulqqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabat-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram”

Dan ini merupakan perkataan mayoritas ahli tafsir {Jami’ul Bayan 10/124-125]

Imam Al-Qurthubi berkata : “Pada ayat ini terdapat delapan permasalahan. Yang keempat : Bulan haram yang disebutkan dalam ayat adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab yang terletak antara Jumadal Akhir dan Sya’ban. Dinamakan Rajab Mudhor, karena Robi’ah bin Nazar, mereka mengharamkan bulan Rajab itu sendiri”. Kedelapan : “Allah menyebut secara khusus empat bulan ini dan melarang perbuatan dzolim pada bulan-bulan tersebut sebagai pemuliaan, walaupun perbuatan dzolim itu juga dilarang pada setiap waktu, seperti firman Allah.

“Artinya : Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [Al-Baqarah : 197]

Ini menurut mayoriyas ahli tafsir Maksudnya janganlah kalian berbuat kedholiman pada empat bulan tersebut. [Al-Jami Li Ahkamil Qur’an 4/85-87]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata : “Empat bulan tersebut adalah Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram. Dinamakan haram karena kemuliaan yang lebih dan diharamkannya peperangan pada bulan tersebut” [Tatsiru Karimir Rohmah Fi Tafsiri Kalamil Mannan hal, 296]

Imam Al-Baghawi berkata : “Janganlah kalian berbuat dzalim pada semua bulan (dua belas bulan) tersebut dengan melakukan kemaksiatan dan melalaikan kataatan”. Ada yang berpendapat bahwa kalimat “fiihinna” maksudnya adalah empat bulan haram tersebut. Qotadah berkata : “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dholim di dalamnya merupakan kedholiman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedholiman itu kapanpun merupakan dosa yang besar”. Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian berbuat dholim pada diri kalian, yang dimaksud adalah menghalalkan sesuatu yang haram dan melakukan penyerangan”. Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata : “Janganlah kalian menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti perbuatan orang-orang musyrik yaitu mengundur-undurkan bulan haram (yaitu pada bulan Safar)’ [Ma’alimut Tanzil 4/44-45]

Imam Bukhari ketika menafsirkan ayat di atas (At-Taubah : 36) membawakan suatu hadits.

“Artinya : Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban” [Hadits Riwayat Bukhari : 4662]

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa empat bulan haram seperti termaktub dalam hadits, tetapi mereka berselisih cara mengurutkannya. Sekelompok penduduk Kufah dan Arab mengurutkan : Muharram, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, agar empat bulan tersebut terkumpul dalam satu tahun. Ulama Madinah, Basrah dan mayoritas ulama mengurutkan, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, tiga berurutan dan satu bulan tersendiri (Rajab). Inilah pendapat yang benar sebagaimana tertera dalam hadits-hadits yang shahih,diantaranya hadits yang sedang kita perbincangkan.Oleh karenanya hal ini lebih sesuai (memudahkan) manusia untuk melakkan thawaf pada semua buan haram tersebut. [10/319-320]

Termasuk kemuliaan bulan-bulan haram adalah dilarangnya peperangan pada bulan tersebut. Hanya saja larangan ini di-mansukh (dihapus) hukumnya menurut jumhur ulama. Karena di dalam Islam peperangan itu terbagi menjadi dua, diijinkan dan dilarang. Peperangan yang dijinkan dibolehkan bila adanya sebab. Sedangkan peperangan yang haram itu dilarang kapan saja. Maka tidak ada lagi keistimewaan bagi bulan-bulan haram kecuali sebatas kemulyaan yang sudah ditentukan pada hari-hari sebelumnya yaitu terbatas pada waktu-waktu yang utama.

Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan : “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan haram dan menutupnya juga dengan bulan yang haram. Tidak ada bulan yang paling mulya disisi Allah setelah Ramadhan (selain bulan-bulan haram ini, -pen)”.

Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah telah menyelamatkan Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. [Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10]

[2]. Disyariatkan Puasa Asyura
Berdasarkan hadits-hadist berikut ini.

“Artinya : Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 2001]

“Artinya : Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Mereka mengatakan :”Hari ini adalah hari yang agung dimana Allah telah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan pasukan Fir’aun, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Saya lebih berhak atas Musa dari pada mereka”, lalu beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu” [Hadits Riwayat Bukhari 3397]

Keutamaan Puasa Asyura

“Artinya : Ibnu Abbas Radhiyalahu anhu ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya : “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan” [Hadits Riwayat Bukhari 1902, Muslim 1132]

Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya : “Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu” [Hadits Riwayat Muslim 1162, Tirmidzi 752, Abu Daud 2425, Ibnu Majah 1738, Ahmad 22031]

Asyura Adalah Hari Kesepuluh

Berdasarkan hadits berikut. : "Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, Maka beliau bersabda : “Tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan”. Ibnu Abbas berkata : “Tahun berikutnya belum datang Rasulullah keburu meninggal” [Hadits Riwayat Muslim 1134, Abu Daud 2445, Ahmad 2107]

Imam Nawawi berkata : “Jumhur ulama Salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari kesepuluh. Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadnya. [Syarah Shahih Muslim 9 hal. 205]

Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk berpuasa hari kesembilan sebagai penyelisihan terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata : “ Asy-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hari kesepuluh serta berniat untuk puasa hari kesembilan. Ulama berkata : “Barangkali sebab puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh adalah agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja. Dan dalam hadits tersebut memang terdapat indikasi ka arah itu” [Syarah Shahih Muslim 9 hal. 205]

Al-Allamah Muhammad Shidiq Hasan Khan berkata : “Mayoritas ulama menyunnahkan untuk berpuasa pada hari sebelumnya” [Sailul Jarar Juz 2 hal. 148]

Namun dalam masalah ini ulama berselisih. Selain ada yang berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berpuasalah hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasalah hari sebelumnya dan sesudahnya” [Hadits Riwayat Ahmad 2155]

Seperti dikemukakan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 2 hal.76 dan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 4 hal. 772. Hanya saja hadits tersebut di dhoifkan oleh beberapa ulama seperti Imam Syaukani dalam Nailul Author 2 hal. 552. Kata beliau : “Riwayat Ahmad ini dho’if mungkar, diriwayatkan dari jalan Dawud bin Ali dari bapaknya, dari kakeknya. Ibnu Abi Laila juga meriwayatkan dari Dawud bin Ali ini” Al-Mubarakfuri menukil perkataan Imam Syaukani ini dalam Tuhfatul Ahwadzi 3 hal. 383. Imam Al-Albani juga mendho’ifkannya dalam ta’liq Shahih Ibnu Khuzaimah yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Musthofa Al-Adzami dalam tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 hal.290. Syaikh Syu’aib dan Abdul Qadir Al-Arnauth dalam tahqiq kitab Zadul Ma’ad 2 hal. 69. Maka yang rajih adalah pendapat pertama yaitu disunnahkan untuk berpuasa satu hari sebelumnya.

Kesimpulannya bahwa bulan Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak sepantasnya apabila kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan menjadikan sebagai bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah kesyirikan, dengan melakukan acara-acara cerminan dari keyakinan mereka yang keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada bulan yang mulia.


KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM (SURO)

Telah dipaparkan diatas, keyakinan sebagian masyarakat seputar Muharram (Suro). Benarkah keyakinan seperti itu ? Jawabnya : Keyakinan di atas adalah salah. Karena mereka menyandarkan nasib mereka, bahagia dan celaka kepada masa, waktu. Padahal waktu atau masa tidak kuasa memberikan apa-apa. Jadi mereka telah jatuh ke dalam perkara yang di haramkan atau kesyirikan. Allah mengkhabarkan keyakinan orang-orang kafir dan orang-orang musyrikin.

“Artinya : Dan mereka berkata : “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Dan sekali-kali mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga” [Al-Jatsiyah : 23]

Orang-orang kafir tersebut mengingkari adanya hari kiamat, mati hidup mereka waktulah yang menentukan. Bahagia, celaka dan perputaran hidup mati mereka berjalan seiring dengan bergesernya waktu. Tidak disadari mereka telah mencaci masa. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Allah Ta’ala berfirman : “Manusia menyakiti Aku, dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah (pemilik dan pengatur masa) Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti” [Bukhari 4826, Muslim 2246]

Imam Al-Baghawi berkata : “Makna hadits : Dahulu orang-orang Arab terbiasa mencela masa apabila tertimpa musibah. Mereka mengatakan : “Makna tertimpa masa bencana”. Maka jika mereka menyandarkan musibah yang menimpa kepada masa, berarti mereka telah mencaci pengatur masa itu, yang tentunya adalah Allah. Karena pengatur urusan yang mereka lakukan itu pada hakekatnya adalah Allah. Oleh karena itu mereka dilarang mencela masa. [Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, hal. 51]

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Al-Qoulus Sadid mengatakan : “Pencelaan kepada masa ini banyak terjadi pada masa jahiliyah. Kemudian diikuti oleh orang-orang fasik, gila dan bodoh. Jika perputaran masa berlangsung tidak sesuai dengan harapan mereka mulailah mereka mencelanya, bahkan tidak jarang melaknatnya. Semua ini timbul karena tipisnya agama mereka dan karena parahnya kedunguan dan kebodohan. Dikarenakan masa itu tidak mempunyai peranan apa-apa dalam menentuka nasib. Sebaliknya, justru masa itulah yang diatur. Kejadin-kejadian yang terjadi dalam rentang waktu, merupakan pengaturan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu jika masa dicerca berarti mencaci pengaturnya” [Al-Qoulus Sadid hal. 146]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mencela masa terbagi menjadi tiga macam. Yang kedua yaitu pencelaan kepada masa disertai keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu. Masa itulah yang menentukan perkara menjadi baik atau jelek. Ini adalah syirik besar. Karena orang tadi berkeyakinan adanya pencipta selain Allah denan menyandarkan peristiwa-peristiwa kepada selainNya. Setiap orang yang berkeyakinan bahwa ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sama halnya dengan orang yang berkeyakinan adanya ilah selain Allah yang pantas untuk disembah, ini juga kafir. Yang ketiga ; pencelaan terhadap masa namun tidak disertai keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu. Tetapi Allah-lah yang mengaturnya. Hanya saja dia mencelanya disebabkan pada masa itulah terjadi peristiwa yang tidak dia senangi. Pencelaan ini diharamkan, namun tidak sampai pada kesyirikan. Hal itu lantaran pencelaan kepada masa tidak terlepas dari dua kemungkinan. Jika pencelaan itu disertai keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu maka ini syirik. Jika tidak demikian, maka pada hakekatnya pencelaan itu tertuju kepada Allah, karena Allah-lah yang mengatur masa tersebut, menjadi baik atau jelek. Maka ini diharamkan” [Al-Qoulul Mufid Ala Kitabit Tauhid, hal. 351-352]

Oleh karenanya keyakinan bahwa bulan Muharram (Suro) merupakan bulan keramat atau petaka, tidak terlepas dari dua hal bisa haram atau jatuh ke dalam kesyirikan. Belum lagi acara-acara yang menyertainya semisal nyadran ke pantai selatan, jamasan pusaka, kirab kerbau untuk dimintai berkahnya. Tidak diragukan lagi semua itu merupakan syirik besar.

Demikian pula keyakinan Syi’ah, sebagaimana telah dikemukakan diatas. Semua itu merupakan cerminan dari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) mereka terhadap imamnya. Dan ini tidak aneh karena hal itu sudah menjadi tradisi mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersikap ghuluw kepada orang shalih, sabdanya.

“Artinya : Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)” [Hadits Riwayat Bukhari 435, Muslim 531]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kabar tentang gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia), dengan aneka ornamennya, lantas beliau bersabda.

“Artinya : Mereka itu, apabila ada orang shalih meninggal, mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu gambar-gambar (patung-patung). Mereka itulah makhluk yang paling jelek disisi Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 427 Muslim 528]

Diantara perkara bathil yang terdapat pada bulan Muharram, seperti dituturkan oleh Ibnul Qayyim : “Diantara hadits-hadits yang bathil adalah hadits tentang memakai celak pada hari Asyura, berhias, banyak berinfak kepada keluarga, shalat dan amalan-amalan lainnya yang mempunyai fadhilah. Padahal tidak ada satupun hadits yang shahih berkaitan dengan amalan tadi. Hadits-hadits yang shahih hanya berkisar mengenai puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Selain itu semuanya bathil.

Termasuk perkara yang bathil, menjadikan Asyura sebagai hari penyiksaan dan kesedihan. Ini adalah bid’ah dan mungkar. Ibnu Rajab dalam Latha’iful Ma’arif mengatakan : “Adapun dijadikannya hari Asyura sebagai acara jamuan makan seperti dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah, karena untuk memperingati terbunuhnya Al-Husain bin Ali, maka ini termasuk amalan orang yang amalannya sia-sia sedangkan dia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak memerintahkan untuk menjadikan hari dimana para nabi tertimpa musibah dan kematiannya sebagai jamuan makan, apalagi orang selain mereka?!” [Durusun Aamun, Abdul Malik Al-Qasim hal. 11-12].

Bila pada bulan haram amalan shalih dibalas dengan berlipat demikian pula balasan bagi perbuatan maksiat, juga berlipat. Allahu a’lam

[Disalin dari Buletin Dakwah Al-Furqon Edisi 6 Th 1 Muharram 1422/Maret-April 2002. Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ponpes Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu Gresik]



dikutip dari:almanhaj.or.id

Hukum Mengatakan Allah Ada Dimana-mana

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz


Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya, maka sang ayah menjawab: ”Allah itu ada dimana-mana.” Bagaimana pandangan hukum agama terhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?

Jawaban.
Jawaban ini batil, merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah serta aliran lain yang sejaan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang di-ikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah, yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya. Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A’raf:54]

Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat. Yang dimaksud dengan 'bersemayam" menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:

"“Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimana hal ini adalah wajib,tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”

Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan cara Allah bersemayam diatas Arsy. Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya.Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:

"Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya" [Surat Faathir:10]

"Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" [Al Baqarah:255]

"Artinya : Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku" [Surat Al Mulk:16-17]

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.Perkataan ini merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :

Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’

“Artinya : Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.” [Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]

Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.

[Majallatuud Dakwah no.1288]


MENGATAKAN ALLAH ADA DI MANA-MANA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?

Jawaban.
Jawaban seperti ini sepenuhnya batil. Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.”

Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana ,adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama,bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta fitrah.Allah berada diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit,bersemayam diatas Arsy.

[Majmu’ Fatawaa wa Rasaail ,juz 1 halaman 132-133]


[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar’iyyah Fil Masaail Al ‘Ashriyyah min Fatawaa Ulamaa’ Al Balaadil Haraami, Edisi Indonesia: Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci, Penyusun Khalid al Juraisy, Penerbit :Media Hidayah, Cet.1 September 2003]



dikutip dari:almanhaj.or.id

Tanya jawab

Bolehkah Wanita Ikut Berorganisasi?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum,
Saya adalah mahasiswa baru disebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Di program studi yang saya ambil (psikologi) kebanyakan siswanya adalah wanita, oleh karena itu pengurus organisasi-organisasi kampus di program studi kami pun cenderung dijalankan oleh wanita, yang mau saya tanyakan:
1. Bolehkah wanita aktif dalam organisasi,dalam hal ini organisasi yang ingin saya masuki adalah rohis?
2. Seberapa jauh wanita boleh ikut dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah?
3. Batasan-batasan gerak seorang wanita itu seberapa jauh?
Sekian pertanyaan saya, saya harap Ustad bersedia menjawabnya. Saya sangat membutuhkan jawaban Ustad untuk pertimbangan langkah saya di dunia kampus yang baru saya hadapi. Terima Kasih. Jazakumullahu khair.
Jawaban Ustadz:
‘Alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Wanita dibolehkan aktif dalam organisasi yang tidak bercampur dengan laki-laki, dan kegiatan organisasi tersebut tidak bertentang dengan sifat-sifat kewanitaan tetapi bergerak dalam hal membina kepribadian wanita yang sholehah, seperti dalam bidang ilmu agama (pengajian), keterampilan membina keluarga yang sakinah, kesehatan, dakwah dan sosial. Wanita tidak dilarang mengikuti kegiatan di luar rumah selama tidak berbaur dengan laki-laki serta dalam waktu dan tempat yang wajar, tidak dilakukan pada waktu atau pada tempat yang dapat mengundang fitnah.
Adapun batasan gerak seorang wanita, islam tidak membatasi wanita untuk keluar rumah seperti tidak boleh lebih dari sekian kali dalam sehari atau tidak boleh melebihi jarak sekian kilo meter, tetapi Islam mengatur, kalau keluar rumah harus menutup aurat dan dalam rangka ada keperluan bukan untuk mejeng kesana-sini, seperti untuk menuntut ilmu, ziarah karib kerabat atau teman, membeli kebutuhan keluarga dan sebagainya, kalau jarak memakan waktu satuhari-satu malam maka harus bersama mahram. Wallahu a’lam. (Silahkan baca buku-buku yang berbicara tentang kepribadian seorang muslimah).



Surat-suratan

Soal: Saya adalah seorang gadis berumur 25 tahun. Saya sudah memakai hijab semenjak lima tahun yang lalu. Saya beriman kepada Allah, rasulNya, hari kiamat, dan adzab Allah. Saya selalu mengingat kematian setiap menit dan detiknya. Tidak tergambarkan berapa banyak saya merasakan rasa takut setiap kali saya mengingat kematian. Ini disebabkan karena saya terkadang melakukan beberapa hal yang tidak diridhoi Allah. Saya ingin menjadi seorang mu'minah yang bersih dan suci di hadapan Rabbnya yang imannya kuat. Bagaimana yang demikian tersebut? Saya ingin bertanya, bolehkah seorang gadis surat menyurat dengan seorang pemuda dengan alas an bahwa ini disebut dengan ta'aruf (perkenalan)?

Jawab: Tidak boleh surat-menyurat antara engkau dengan seorang pemuda yang bukan mahrammu dengan alas an ini adalah ta'aruf . Karena yang demikian tersebut termasuk hal-hal yang menimbulkan fitnah dan mengantarkan kepada kejelekan dan kerusakan.
Wa billahi at taufiq. Wa shollallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal Ifta'
Ketua: Asy Syaikh Abul Aziz bin Baaz
Wakil: Asy Syaikh Abdur Rozzaq 'Afifi
Anggota: Asy Syaikh Abdullah bin Ghudoyyan dan Asy Syaikh Abdullah bin Qu'ud

Penerjemah: Ayub Abu Ayub

Sumber :
Fatawa Al Lajnah Ad Daimah (17/67-68)


Siapa jodoh saya?
Penanya: Winna
Dijawab Oleh: Ustadz Ali Musri, M.A.
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb
Ustadz, Ana sudah sering baca buku bertema keluarga yang termasuk didalamnya pernikahan, tetapi ketika dihadapi ternyata cukup rumit juga. Yang ana tanyakan, bagaimana kita bisa tau siapa jodoh kita? maksud dari sekufu dalam beragama? bagaimana cara mengetahuinya serta pertanyaan apa saja yang harus diajukan? bagaimana kita bisa tau jawaban dari istikhoroh? Ada yang bilang, jika ijab qobul sudah berkumandang maka kita baru tau itulah jodoh kita, apakah harus seperti itu, bukankah itu hal yang sangat riskan? mohon bimbingannya Ustadz. Jazakumullah khoiron

Jawaban Ustadz:
Wassalamu’alaikum warohmatullohi, wabarakatuh.
Bimbingan yang sempurna dalam hal ini adalah nasihat Rasul kita Muhammad, “Nikahilah olehmu wanita itu karena empat perkara; karena kecantikannya, karena kekayaannya, karena keturunannya, karena agamanya, pilihlah yang agamanya bagus, niscaya kamu akan beruntung”. Kedua; melakukan sholat istikharah, tahunya jawaban istikharah adalah dari segi kemudahan dan tidak ada hambatan yang begitu sulit, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits doa istikharah tersebut, yaitu kita mohon kemudahan pada Alloh, kemudian hati jadi mantap untuk memilih apa yang kita inginkan, kalau Alloh tidak menakdirkan maka hal itu berarti tidak diridhoi Alloh, dari sini kita tahu jawaban istikharah. Adapun cara-cara lain yang Anti tanyakan, Ana gak bisa jawab sebab hal itu tergantung kepada pribadi masing-masing orang, apa yang mau ia tanyakan. Boleh jadi ia akan bertanya tentang jenjang pendidikan, penyakit yang pernah diderita, jumlah saudara, profesi, pengalaman, pengajian yang selalu dihadirinya, dll.



Dikutip dari:muslim.or.id

Seuntai Nasehat Tuk Saudariku

oleh:
Ummu Salma al-Atsariyah

Saudariku,…
Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman tangan-Nya, Sungguh..!!! janganlah kau lipat risalah ini dan jangan pula langsung kau simpan, terlebih lagi kau buang, sebelum kau baca dengan perlahan-lahan dan kau resapi kandungannya… sungguh demi Allah wahai saudariku, tiada maksud dan tiada keinginan dariku kecuali kebaikan bagimu dan engkau diridhai Allah SubhanaHu wa Ta’ala .
Saudariku, semoga Allah SubhanaHu wa Ta’ala mengasihimu… Sungguh Allah SubhanaHu wa Ta’ala telah memuliakan dirimu dengan segala bentuk kenikmatan yang dianugerahkan-Nya kepadamu. Tidakkah tatkala kau mematut dirimu di depan cermin sembari kau memandangi keindahan yang diberikan sang Khaliq kepadamu, kau melihat suatu kesempurnaan yang tiada duanya. Allah Tabaroka wa Ta’ala menganugerahkan kepadamu penglihatan yang dengannya kau dapat melihat, kau dapat membedakan keajaiban dari berjuta-juta warna, dan dengannya pula kau dapat mencermati keindahan ciptaan Allah yang tak terperikan.
Saudariku Muslimah, demikian pula Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepadamu pendengaran, yang dengannya kau dapat mendengarkan suara-suara merdu ketika lantunan Al-Qur’an dibacakan, ketika Adzan bergema, dengannya kau dapat mendengarkan nasihat-nasihat yang menyejukkan jiwa dan dengannya pula kau dapat meresapi keindahan kalam-kalam ilahi tatkala dilantunkan. Demikian pula anugerah Allah lainnya seperti kedua kakimu, tanganmu, mulutmu dan lain sebagainya yang sungguh sangat tak terhitung jumlahnya.
Sungguh mulia engkau wahai saudariku, yang menjadikan anugerah yang diberikan Allah kepadanya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, seraya merasa kerendahan dan kelemahan dirinya sebagai makhluk yang tak dapat melepaskan diri dari perlindungan Rabbnya, sembari senantiasa berdzikir mengingat kepada keagungan dan kebesaran Allah, Robbanaa Maa Kholaqta Haadza baathilan Subhaanaka… (Ya Rabb kami, tidaklah engkau menciptakan kesemua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau…)
Akan tetapi wahai saudariku, semoga Allah menuntunmu ke jalan-Nya yang Haq
Demi Allah, betapa sedih diriku tatkala melihatmu melupakan nikmat Allah yang diberikan-Nya kepadamu, kau dengan mudahnya lalai begitu saja dengan anugerah-Nya… Seolah-olah apa yang kau miliki itu adalah dari dirimu sendiri. Tatkala kau takjub dengan kecantikanmu, kau bangga dengan kehalusan dan kemulusan tubuhmu, kau merasa betapa indah matamu, betapa bagusnya bibirmu… Lantas kau pamerkan itu semua ke hadapan orang-orang yang tak layak memandangnya, kau perlihatkan sehingga menjadi sakit orang-orang yang lemah hatinya. Kau menjadi pusat fitnah di muka bumi ini. Aurat yang seharusnya kau tutupi dan kau pelihara serta kau jaga itu, dengan mudahnya kau buka dan kau perlihatkan ke hadapanorang-orang bukan mahrammu. Bagian tubuh yang seharusnya hanya kau tujukan ‘tuk calon suamimu, kau umbar begitu saja di hadapan mereka… sehingga menjadi rusaklah para lelaki-lelaki Muslim, tergiur dengan keindahan dirimu yang seharusnya kau pelihara… Lalu, Kau merdu-merdukan suaramu di hadapan mereka, bahkan kau bermanja-manja dengan mereka, kau biarkan mereka melototi dirimu seolah-olah bak hendak melahap dirimu, bahkan kau biarkan dirimu disentuh dan dipegang-pegang oleh mereka –Naudzu biLlah- Sungguh wahai saudariku!!! Sekali lagi sungguh!!! Tidakkah kau pernah mendengar Nabimu yang mulia ‘alaihi Sholaatu wa Salaam pernah bersabda : “Dua golongan dari Ahli Naar yang belum pernah kulihat sebelumnya”, salah satunya ialah “Wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang yang berjalan dengan berlenggak lenggok, ia takkan masuk surga bahkan takkan mencium baunya.”. Nas’aluLlahus Salaamah wal’Aafiyah (Kita memohon keselamatan dan perlindungan-Nya) !!! Wahai saudariku, maukah engkau termasuk wanita yang disifatkan oleh RasuluLlah sebagaimana hadits di atas? Maukah kau dikatakan sebagai wanita-wanita yang berpakaian namun pada hakikatnya telanjang? Maukah kau dinyatakan sebagai orang yang takkan masuk surga, bahkan mencium baunya pun tidak? SubhanaLlah!!! Sekali-kali tidak!!! Kuyakin bahwa kau pasti tak menghendakinya..
Maka kunasehatkan pada dirimu wahai saudariku yang kukasihi karena Allah,
Sesungguhnya dirimu ini adalah bagian dari laki-laki, engkau adalah keturunan manusia yang memiliki karakter dan keunikan yang luar biasa yang menjadikanmu sebagai manusia yang indah, yang menghiasi dunia dan seisinya. RasuluLlah terkasih pernah bersabda : ”Inna ad-Dunya mataa’un wa khoirul mataa’in mar’atun sholihah” yang artinya, sesungguhnya dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang Sholihah.. Ya! Wanita Sholihah!!! Merekalah sebaik-baik perhiasan, karena dari merekalah lahir generasi-generasi yang luhur budi pekertinya, dari merekalah lahir generasi-generasi terbaik, dan merekalah pondasi tegaknya suatu tatanan. Wanita adalah Ibu, yang merupakan madrasah pertama generasi manusia. Wanita adalah Istri yang dengannya menjadi tentram hati laki-laki. Dan dari wanitalah Allah SubhanaHu wa Ta’ala melahirkan para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para sholihin.
SubhanaLlah, Maha suci Allah!!! Karena begitu besarnya rasa cinta Allah kepada dirimu, Allah Ta’ala memaktubkan namamu dalam salah satu surat pada firman-Nya yang mulia, surat an-Nisaa’! Maka saudariku yang mulia, sudah tak usah kau hiraukan dan kau dengarkan para pengoceh sesat dengan jargon klasiknya yang mengangkat ‘kesetaraan gender’, karena yakinlah, Islam adalah agama yang paling memuliakan wanita yang tak dimiliki oleh ajaran agama lainnya. Mereka, para pengoceh tersebut, tidaklah menyerumu kecuali mereka menghendakimu tuk meninggalkan ajaran agamamu. Mereka menyerumu tuk bertelanjang, berikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki, mereka mengajakmu tuk melupakan kodratmu sebagai wanita yang akan melahirkan penerus-penerus bangsa, bahkan mereka akan meracuni pemikiranmu dengan kekjian-kekejian dan kejahatan-kejahatan.
Sudah!! Tak usah kau hiraukan mereka!!! Yakinlah kau, bahwa kebahagiaan yang abadi itu adalah apabila kau menjadi seorang yang taat dan memiliki keutamaan, menjadi istri yang sempurna dan mulia dan menjadi ibu yang baik dan bertakwa. Dan ini semua terkandung dalam tingginya nilai kebenaran, kebaikan dan cahaya keimanan.
Semoga Allah memuliakanmu dan menuntunmu ke jalan-Nya yang haq.


Yang Dianggap Mahrom Padahal Bukan Dan Hal-Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan

Oleh
Ahmad Sabiq bin Abdul Latif

Pada kesempatan lalu telah dikupas masalah mahrom bagi wanita. Nah pada kesempatan kali ini, kita simak pembahasan tentang beberapa kekeliruan sebagian kalangan dalam memahami mahrom. Dilanjutkan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan mahrom. Semoga bermanfaat.

DIANGAP MAHROM PADAHAL BUKAN

Disebabkan keogahan dalam mendalami ilmu agama Islam, maka banyak kita jumpai adanya beberapa anggapan keliru dalam mahrom. Otomatis berakibat fatal, orang-orang yang sebenarnya bukan mahrom dianggap sebagai mahromnya. Sangat ironis memang, tapi demikianlah kenyataannya. Oleh karena itu dibutuhkan pembenahan secepatnya.

Berikut ini beberapa orang yang dianggap mahrom tersebut:

[1]. Ayah Dan Anak Angkat.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
"Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu." [Al-Ahzab: 4]

[2]. Sepupu (Anak Paman/Bibi).
Hal ini berdasarkan firman Allah setelah menyebutkan macam-macam orang yang haram dinikahi:

"Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian. [An-Nisa': 24]

Menjelaskan ayat tersebut, Syaikh Abdur Rohman Nasir As-Sa'di berkata:

" Hal itu seperti anak paman/bibi (dari ayah) dan anak paman/bibi (dari ibu)". [Lihat Taisir Karimir Rohman hal 138-139]

[3]. Saudara Ipar.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
"Waspadailah oleh kalian dari masuk kepada para wanita, berkatalah seseorang dari Anshor: "Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu kalau dia adalah Al-Hamwu (kerabat suami)? Rasulullah bersabda; "Al-Hamwu adalah merupakan kematian". [HR Bukhori; 5232 dan Muslim 2172]

Imam Baghowi berkata; " Yang dimaksud dalam hadits ini adalah saudara suami (ipar) karena dia tidak termasuk mahrom bagi si istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia termasuk mahrom, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang bukan mahrom?" Lanjutnya: "Maksudnya, waspadalah terhadap saudara ipar sebagaimana engkau waspada dari kematian".

[4]. Mahrom Titipan.
Kebiasaan yang sering terjadi, apabila ada seorang wanita ingin bepergian jauh seperti berangkat haji, dia mengangkat seorang lelaki yang 'berlakon' sebagai mahrom sementaranya. Ini merupakan musibah yang sangat besar. Bahkan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani menilai dalam Hajjatun Nabi (hal 108) ; "Ini termasuk bid'ah yang sangat keji, sebab tidak samar lagi padanya terdapat hiyal (penipuan) terhadap syari'at. Dan merupakan tangga kemaksiatan".

WANITA DENGAN MAHROMNYA

Setelah memahami macam-macam mahrom, perlu diketahui pula beberapa hal yang berkenaan tentang hukum wanita dengan mahromnya adalah:

[1]. Tidak Boleh Menikah
Allah berfirman :
"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);,dan menghimpunkan (dalam perkawinan)dua perempuan yang bersaudara,kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, [An-Nisa' :22-23]

[2]. Boleh Menjadi Wali Pernikahan
Wali adalah syarat saya sebuah pernikahan, sebagaiman diriwayatkan oleh 'Aisyah radliyallahu 'anha bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

"Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah), maka nikahnya batil, maka nikahnya batil." [HSR Abu Daud 2083, lihat Irwaul Golil 6/243]

Juga riwayat dari Abi Musa Al Asy'ari berkata Rasulullah shallallahu 'alaih wassallam bersabda :

"Tidak sah nikah kecuali ada wali. [HSR Abu Daud 2085,lihat Irwaul Gholil 6/235]

Berkata Imam At-Tirmidzi: "Yang diamalkan oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah wali pernikahan adalah hadits ini, diantaranya adalah Umar bin Khothob, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan juga selain mereka." [Lihat Sunan Tirmidzi 3/410 Tahqiq Muhammad Fu'ad Abul Baqi]

Namun tidak semua mahrom berhak menjadi wali pernikahan begitu juga sebaliknya tidak semua wali itu harus dari mahromnya. Contoh wali yang bukan dari mahrom seperti anak laki-laki paman (saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, sulthon. Adapun Mahrom yang tidak bisa menjadi wali seperti karena sebab mushoharoh.

[3]. Tidak Boleh Safar (Bepergian Jauh) Kecuali Dengan Mahromnya
Banyak sekali hadits yang melarang wanita mengadakan safar kecuali dengan mahromnya, diantaranya:

Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu berkata: Berkata Rasulullahu shallallahu 'alahi wassallam: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar lebih dari tiga hari kecuali bersama ayah, anak laki-laki, suami, saudara laki-laki atau mahrom lainnya." [HR Muslim 1340]

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullahu Shallallahu 'alaihi wassallam berkata: " Janganlah seorang wanita muslimah bepergian selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahromnya." [HR Ibnu Khuzaimah: 2522]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bersabsa Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam : "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahromnya." [HR Bukhori: 1088, Muslim 1339]

Dari beberapa hadits ini, kita ketahui bahwa terlarang bagi wanita muslimah untuk mengadakan safar kecuali bersama mahromnya, baik safar itu lama ataupun sebentar. Adapun batasan beberapa hari yang terdapat dalam hadits di atas tidak dapat di fahami sebagai batas minimal.

Berkata Syaikh Salim Al Hilali: "Para Ulama' berpendapat bahwa batasan hari dalam beberapa hadits di atas tidak dimaksudkna untuk batasan minimal. Dikarenakan ada riwayat yang secar umum melarang wanita safar kecuali bersama mahromnya, baik lama maupun sebentar, seperti riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma beliau berkata: Saya mendengar Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:

"Jangan seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahromnya, juga jangan safar dengan wanita kecuali bersama mahromnya, maka ada seorang lelaki berdiri lalu berkata :

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi haji padahal saya ikut dalam sebuah peperangan. Maka Rasulullah menjawab: "Berangkatlah untuk berhaji dengan istrimu."[HR Bukhori: 3006,523, Muslim 1341, Lihat Mausu'ah Al Manahi Asy Syari'ah 2/102]

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah: "Kebanyakan ulama' memberlakukan larangn ini untuk semua safar karena pembatasn yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut sangat berbeda-beda." [Lihat Fathul Bari 4/75]

Syaikh sholeh Al Fauzan Hafidzuhullah ditanya tentang hukum wanita safar dengan naik pesawat domestik dalam negeri tanpa mahrom, apakah itu diperbolehkan? Jawab beliau: "Tidak boleh bagi seorang wanita mengadakan safar tanpa mahrom, baik naik pewasat atau mobil, karena Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam bersabda: "Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan safar sehari semalam kecuali bersama mahrom." Maka safar wanita tanpa mahrom itu tidak boleh meskipun dengan alat transportasi yang cepat, karena pesawat atau mobil itu mungkin saja bisa terlambar, rusak, atau terjadi hal-hal lain yang mengharuskan wanita itu harus bersama mahromnya agar bisa menjaganya saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." [Al Muntaqo min Fatwa Syaikh Sholeh Al Fauzan 5/387]

[4]. Tidak Boleh Kholwat (Berdua-Duaan) Kecuali Bersama Mahromnya

[5]. Tidak Boleh Menampakkan Perhiasannya Kecuali Kepada Mahromnya

[6]. Tidak Boleh Berjabat Tangan Kecuali Dengan Mahromnya

Jabat tangan dengan wanita di zaman ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah, padahal Rasullah shallallahu 'alaihi wassallam sangat mengancam keras pelakunya: Dari Ma'qil bin Yasar radhyallahu 'anhu :

Bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam: "Seandainya kepala seseorang di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Hadits hasan riwayat Thobroni dalam Al-Mu'jam Kabir 20/174/386 dan Rauyani dalam Musnad: 1283 lihat Ash Shohihah 1/447/226)

Berkata Syaikh Al Albani rahimahullah: "Dalam hadits ini terdapat ancaman keras terhadap orang-orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya, termasuk malsaha berjabat tangan, karena jabat tangan itu termasuk menyentuh." [Ash Shohihah 1/448]

Dan Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassalam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita, meskipun dalam keadaan-keadaan penting seperti membai'at dan lain-lain.

Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulullahi Shallallahu 'alaihi wassallam: "Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, dll]

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha: "Demi Allah, tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai'at. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mangatakan: "Saya ba'iat kalian." [HR Bukhori: 4891]

Keharaman berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya ini berlaku umum, baik wanita masih muda ataupun sudah tua, cantik ataukah jelek, juga baik jabat tangan tersebut langsung bersentuhan kulit ataukah dilapisi dengan kain.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab: Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahromnya secara mutlak, baik wanita tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, baik lelaki yang berjabat tangan tesebut masih muda ataukah sudah tua, karena berjabat tangan ini bisa menimbulkan fitnah. Juga tidak dibedakan apakah jabat tangan ini ada pembatasnya atau tidak, hal ini dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat tangan), juga untuk mencegah timbulnya fitnah". [Fatawa Islamiyah 3/76 disusun Muahmmad bin Abdul Aziz Al Musnid]


[Disalin dengan sedikit diringkas dari: Majalah "Al Furqon", Edisi 4 Th. II, Dzulqo'idah 1423, hal 29-31]



dikutip dari:almanhaj.or.id

Hukum Menutup Muka Bagi Wanita [Cadar]

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum wanita
menutup muka (cadar) ?"

Jawaban.
Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syari'at. Tidak boleh meajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.

Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab 'Hijabul Mar'aatul Muslimah', untuk membantah orang yang menganggap bahwa menutup wajah wanita adalah bid'ah. Saya telah jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi wanita.

Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Mushannaf'.

Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dari kalangan 'As Salafus Shalih' dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.

Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita dengan kaidah.

"Artinya : Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan"

Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid'ah tapi sesuatu yang berdasarkan syari'at.
Sedangkan orang yang pertama menerima syari'at adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian orang-orang yang menerima syari'at ini dari beliau adalah para shahabat. Para Shahabat tentu sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan tingkatan ilmu ushul fiqih seperti di atas.

Telah kami sebutkan dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' kisah seorang wanita 'Khats'amiyyah' yang dipandangi oleh Fadhl bin 'Abbas ketika Fadhl sedang dibonceng oleh Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam, dan wanita itupun melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang tampan dan wanita itupun seorang yang cantik. Kecantikan wanita ini tidak mungkin bisa diketahui jika wanita itu menutup wajahnya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa wanita tadi membuka wajahnya.

Sebagian mereka mengatakan bahwa wanita tadi dalam keadaan ber-ihram,
sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tanda
sedikitpun bahwa wanita tadi sedang ber-ihram. Dan saya telah men-tarjih (menguatkan) dalam kitab tersebut bahwa wanita itu berada dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah 'tahallul' awal.

Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang ber-ihram, mengapa
Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah kerusakan .?!

Kemudian kami katakan bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah wanita, tidak ada bedanya dengan pandangan seorang wanita terhadap wajah lelaki dari segi syari'at dan dari segi tabi'at manusia.

Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. 'Hendaknya mereka menahan pandangannya" [An-Nuur : 30]

Maksudnya dari (memandang) wanita.

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah mereka
menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]

Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.

Kedua ayat diatas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah wanita dan ayat kedua memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah pria.

Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang laki-laki untuk menutup. Demikian pula ayat pertama tidak memerintahkan seorang wanita untuk menutup wajah.

Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang biasa terbuka dan bisa dilihat yaitu wajah. Maka Allah, Sang Pembuat syari'at dan Yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis menusia (laki-laki dan perempuan)untuk menundukkan pandangan masing-masing.

Adapun hadits.

"Artinya : Wanita adalah aurat"

Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di dalam shalat.[1]

Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama.
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas ulama (Jumhur).

Hadits diatas, yang berbunyi.

"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan memperindahnya"

Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :

"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-cabang hukum itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebut, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil umum tersebut untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi".

Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu baik adalah berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain.... banyak orang yang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak bisa daijadikan hujjah dalam adzan yang memakai shalawat, karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).

Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah aurat", adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika melaksanakan shalat mereka umumnya membuka wajah. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.

Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang salaf (para shahabat).


[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid]
_________
Foote Note
[1] Maksud beliau adalah bahwa orang yang berpendapat tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita pun bersepakat tentang bolehnya wanita membuka wajahnya, yang menurut mereka adalah aurat, ketika shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa hadits di atas tidaklah berlaku secara mutlak [-pent]

dikutip dari:almanhaj.or.id