Jumat, 24 Juni 2011

Kebodohan Hakiki! Pelaku Maksiat Adalah Orang yang Bodoh di Sisi Allah…!!!


Pelaku maksiat adalah orang yang bodoh di sisi Allah…!!!

Meskipun…. Ia adalah seorang yang hafal Qur'aan..

Meskipun ia seorang berilmu agama…., bahkan…

Meskipun ia adalah seorang ustadz panutan masyarakat..!!!

Meskipun ia merasa dirinya pintar…!!!


Allah berfirman :

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa : 17)

Abul 'Aaliyah berkata, "Aku bertanya kepada para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ayat ini maka mereka berkata kepadaku, كُلُّ مَنْ عَصَى اللهَ فَهُوَ جَاهِلٌ ((Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah maka ia adalah orang jahil/bodoh))" (Lihat Tafsiir At-Thobari 8/89)

Demikian pula perkataan para mufassirin (ahli tafsir). Ibnu Abbaas radhiallahu 'anhumaa berkata, مَنْ عَمِلَ السُّوْءَ فَهُوَ جَاهِلٌ، مِنْ جَهَالَتِهِ عَمِلَ السُّوْءِ ((Barangsiapa yang melakukan keburukan/maksiat maka ia adalah orang jahil, karena kebodohannya maka ia melakukan kemaksiatan)) (Tafsiir At-Thobari 8/90)

Mujahid berkata, كُلُّ مَنْ عَصَى رَبَّهُ فَهُوَ جَاهِلٌ حَتَّى يَنْزِعَ عَنْ مَعْصِيَتِهِ ((Setiap orang yang bermaksiat kepada Robbnya maka ia adalah orang jahil hingga ia meninggalkan kemaksiatannya tersebut)) (Tafsiir At-Thobari 8/89)

Allah juga menekankan hal ini dalam ayat-ayat yang lain, yaitu firmanNya :

أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Bahwasanya barang siapa di antara kalian yang berbuat keburukan dengan kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan Mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-An'aam ; 54)

Allah juga berfirman :

ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُوا السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemudian, Sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan dengan kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS An-Nahl : 119)

Para pembaca yang budiman, ayat-ayat di atas menunjukan bahwa setiap orang yang melakukan kemaksiatan adalah orang yang pada hakekatnya bodoh hingga ia meninggalkan kemaksiatan tersebut.

Dan kebodohan yang disebutkan dalam ayat ini yang menjangkiti pelaku kemaksiatan bukanlah kebodohan atau ketidaktahuan akan hukum kemaksiatan yang ia lakukan. Karena jika seseorang tidak mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut merupakan kemaksiatan maka tentunya ia tidak akan dihukumi oleh Allah. Akan tetapi yang dimaksud dengan kebodohan di dalam ayat ini adalah kebodohan yang hakiki.

Hakekat kebodohannya –sebagaimana keterangan para ulama- bisa ditinjau dari beberapa sisi, diantaranya :

-     Tatkala bermaksiat sesungguhnya ia bodoh bahwasanya Allah sedang melihatnya, dan sedang mengawasinya, dan mencatat seluruh perbuatan maksiatnya tersebut

-     Ia bodoh akan akibat buruk yang timbul dari perbuatan maksiatnya tersebut, diantaranya berkurangnya imannya atau bisa jadi menyebabkan hilangnya keimanannya

-     Ia bodoh bahwasanya perbuatannya tersebut menyebabkan kemurkaan Allah

-    Ia bodoh bahwasanya perbuatannya tersebut bisa menyebabkan siksaan yang pedih di akhirat kelak (Lihat penjelasan Syaikh As-Sa'di dalam tafsirnya hal 171)

-   Terlebih lagi ia semakin bodoh jika telah mengetahui perkara-perkara di atas, kemudian masih nekat mendahulukan hawa nafsunya. Ia sangatlah bodoh dan dungu takala mengetahui bahwa kenikmatan yang ia rasakan dengan berbuat kemaksiatan tersebut hanyalah sesaat dengan harus merelakan kenikmatan abadi yang ada di akhirat. Semua orang sepakat bahwa orang yang mendahulukan kenikmatan sesaat dan sedikit di atas kenikmatan yang abadi dan berlimpah ruah adalah orang yang bodoh dan dungu. (Lihat penjelasan Al-baghowi dalam tafsirnya 2/184 dan Ar-Roozi dalam tafsirnya  13/6).

-    Tidaklah ia menjadi demikian dungunya kecuali tatkala ia dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya sehingga akal pikirannya dikendalikan oleh syahwatnya. Jadilah ia dungu dan bodoh tidak berakal bahkan menjadi budak syahwat dan nafsunya (Lihat penjelasan Abu Hayyaan Al-Andalusi dalam tafsiir Al-Bahr Al-Muhiith 3/207)

Demikianlah para pembaca yang budiman, orang yang sedang bermaksiat kepada Allah pada hakekatnya ia sedang dungu dan bodoh dengan hal-hal di atas. Yang semua kebodohan itu kembali kepada kurangnya rasa khosyah (takut) kepada Allah. Ibnu Taimiyyah berkata :

"Sesungguhnya ia (pelaku maksiat) menjadi bodoh karena kurangnya rasa khosyahnya kepada Allah, karena kalau seandainya rasa takutnya kepada Allah sempurna maka ia tidak akan bermaksiat. Karenanya Ibnu Mas'uud radhiallahu 'anhu berkata, كَفَ بِخَشْيَةِ اللهِ عِلْمًا وَكَفَى بِالاِغْتِرَارِ بِاللهِ جَهْلاً "Cukuplah dengan rasa khosyah kepada Allah sebagai ilmu, dan cukuplah sikap terpedaya (oleh syaitan dari mentaati Allah) merupakan kebodohan" (Al-iimaan Al-kabiir hal 22)

Oleh karenanya sebagaimana tidak adanya rasa khosyah kepada Allah sehingga terjerumus dalam kemaksiatan merupakan kebodohan yang hakiki, maka rasa khosyah kepada Allah itulah ilmu yang hakiki. Allah berfirman

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama (QS Faathir : 28)

Allah juga berfirman

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ

(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az-Zumar : 9)

Orang yang takut kepada 'adzab akhirat itulah orang yang memiliki hakekat ilmu dan telah terlepas dari kebodohan yang hakiki, yaitu orang yang mengetahui kebesaran Allah dan mendahulukan kehidupan akhirat yang abadi di atas kenikmatan yang semu dan fanaa… yang beriman akan janji-janji Allah, dan bukanlah orang yang terpedaya dan menjadi budak syahwatnya sehingga mendahulukan kenikmatan sementara di atas kenikmatan abadi.

Allah berfirman

فَأَمَّا مَنْ طَغَى (٣٧)وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (٣٨)فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى (٣٩)وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (٤٠)فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (QS An-Naazi'aat : 37-41)

Allah juga berfirman :

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ

Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga (QS Ar-Rahmaan : 46)

Mujahid berkata tentang ayat ini ; "Yaitu seseorang yang hendak melakukan dosa lalu iapun mengingat kebesaran Allah maka iapun meninggalkan perbuatan dosa tersebut" (Lihat Tafsiir At-Thobari 23/56)

Para pembaca yang budiman…. Marilah kita merenungkan tentang amal perbuatan kita… marilah kita hisab dan ingat-ingat kembali dosa-dosa yang telah dan sedang kita lakukan… semuanya telah kita lakukan di atas kedunguan dan kebodohan kita… kebodohan yang hakiki… yang mau tidak mau telah sering menjangkiti diri kita…

Sungguh….betapa banyak orang yang sering mengikuti kajian islami dan mendengar nasehat-nasehat para ustadz, dan bahkan nasehat dan wejangan para ulama akan tetapi …

-   mereka tidak bisa menjaga lisan mereka… ghibah adalah bumbu dan penyedap hidangan majelis-majelis mereka

-   mereka tidak bisa menjaga hati mereka… sehingga hasad, dengki, berburuk sangka… senantiasa mengintai lubuk hati mereka

-  mereka tidak bisa menjaga pandangan mereka… sehingga memandang hal-hal yang haram dan tidak halal bagi mereka…, seungguh betapa banya kaum lelaki yang tidak bisa menjaga pandangan mereka padahal mereka telah beristri… mereka telah diberi karunia yang halal dari Allah… lantas merekapun mencari kenikmatan dengan memandang perkara-perkara yang haram bagi mereka…

Semoga Allah menjauhkan kita dari kebodohan yang hakiki dan memberikan kita ilmu yang hakiki hingga kita bertemu dengan Nya… aamiiin ya Robbal 'Aaalamiiin


Madinah, 06 07 1432 H / 08 06 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com

SUMBER :  www.firanda.com

Senin, 20 Juni 2011

Mari berbincang Sejenak

Saudaraku … Aku yakin Engkau sangat menginginkan kebaikan dalam hidupmu.Tidaklah mungkin Engkau menginginkan keburukan menimpamu.
Setiap orang tentu mengharapkan kebaikan untuk hidupnya di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak. Aku pun yakin, Engkau senantiasa berdoa siang dan malam demi kebaikan dirimu, ”Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari siksa neraka”.

Kebahagiaan Sejati Terletak pada Ilmu Syar’i
Namun, tidakkah Engkau tahu, bahwa kebaikan dan kebahagiaan dunia itu ada di dalam ilmu? Ketika menafsirkan firman Allah ta’ala,
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً (٢٠١)
”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia” (QS. Al Baqoroh : 201), Al-Hasan Al Bashri rahimahullah (murid dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha) berkata,”kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah”. Dan ketika menafsirkan firman Allah ta’ala yang artinya,
وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
”Dan kebaikan di akhirat” (QS. Al Baqoroh : 201), beliau berkata,”kebaikan di akhirat adalah surga”.
Inilah tafsir yang paling baik, karena kebaikan yang paling tinggi adalah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. (Miftah Daris Sa’adah 1/121).
Dan perlu Engkau ketahui, jika Engkau menuntut ilmu maka itu adalah tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan untuk dirimu. Baik kebaikan di dunia ini, lebih-lebih kebaikan di akhirat kelak. Ka rena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Asy Syafi’i, mengatakan,
وَمَفهوم الحديث أن من لم يتفقه في الدين أي يتعلم قواعد الإسلام وما يتصل بها من الفروع فقد حرم الخير
“Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).
Saudaraku …
Aku yakin Engkau pasti menginginkan kebahagiaan. Dan aku pun yakin bahwa Engkau pasti akan berbuat apa saja demi meraih kebahagiaan itu. Meskipun harus dengan mengorbankan apa saja termasuk mengeluarkan harta dalam jumlah yang sangat banyak. Dan tentu Engkau akan sangat bersedih jika hidupmu tidak bahagia.
Akan tetapi, aku ingin bertanya kemudian menjelaskan kepadamu,”Apakah kebahagiaan yang hakiki itu? Apakah definisi kebahagiaan menurut pandanganku?”
Imam Muhammad bin Abu Bakr Al Hambali rahimahullah berkata,
السعادة الحقيقية وهي سعادة نفسانية روحية قلبية وهي سعادة العلم النافع ثمرته فإنها هي الباقية على تقلب الأحوال والمصاحبة للعبد في جميع أسفاره وفي دوره الثلاثة أعني دار الدنيا ودار البرزخ ودار القرار
”Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa, ruh, dan hati. Kebahagiaan itu tidak lain adalah kebahagiaan ilmu yang bermanfaat dan berbagai buahnya. Karena sesungguhnya itulah kebahagiaan yang abadi dalam seluruh keadaan. Kebahagiaan ilmulah yang menemani seorang hamba dalam seluruh perjalanan hidupnya di tiga negeri : negeri dunia, negeri barzakh (alam kubur), dan negeri akhirat”. (Miftah Daris Sa’adah 1/108).
Itulah kebahagiaanku. Aku pun yakin bahwa kebahagiaan itu pula yang akan membuat Engkau selalu tersenyum gembira. Apakah Engkau tidak menginginkan untuk meraih kebahagiaan itu?
Saudaraku…
Ilmu adalah sumber kehidupan dan cahaya penerang hidup bagi seorang hamba. Adapun kebodohan, ia adalah sumber kebinasaan dan kegelapan bagi dirinya. Semua kejelekan bersumber dari ketiadaan kehidupan dan cahaya. Dan semua kebaikan sumbernya adalah keberadaan cahaya dan kehidupan. Karena sesungguhnya dengan adanya cahaya  akan menyingkap hakekat segala sesuatu dan memperjelas tingkatan-tingkatannya. Dan kehidupan merupakan penentu sifat kesempurnaan, yang dengannya ucapan dan perbuatan bisa berfungsi sebagaimana mestinya (Al ’Ilmu, Fadluhu wa Syarafuhu, hal. 34).

Kebutuhan Terhadap Ilmu
Saudaraku…
Kebutuhan manusia kepada ilmu jauh lebih mendesak daripada kebutuhan badan terhadap makanan. Sebab badan hanya membutuhkan makanan dalam sehari sekali atau dua kali saja. Sedangkan kebutuhan manusia terhadap ilmu itu sebanyak bilangan tarikan nafas. Hal itu dikarenakan setiap tarikan nafasnya senantiasa membutuhkan keikutsertaan iman dan hikmah. Kalau pada suatu saat dia kehilangan iman atau hikmah dalam satu tarikan nafas saja, maka sesungguhnya dia telah berada di tepi jurang kehancuran. Padahal tidak ada jalan untuk tetap beriman dan bersikap hikmah kecuali dengan memahami ilmunya. Oleh sebab itu kebutuhan terhadapnya jauh lebih mendesak daripada kebutuhan diri terhadap makanan dan minuman (Al ’Ilmu, Fadluhu wa Syarafuhu, hal.91).

Ilmu adalah Makanan Hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu rumah Allah (masjid), mereka membaca Kitab Allah, dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan turun atas mereka ketenangan, mereka diliputi rahmat, mereka dikelilingi oleh para Malaikat, dan Allah sebut mereka di hadapan makhluk yang di sisi-Nya” (HR. Muslim 8/71,).
Dalam hadits ini, Rasulullah menjelaskan bahwa Allah akan mengaruniakan ketenangan dan rahmat kepada orang-orang yang menuntut ilmu. Dan ketenangan itu diperoleh jika hati kita selalu hidup dan tidak pernah mati. Karena hati yang hidup akan selalu berdzikir kepada Allah, senantiasa mengingat kebesaran dan keagungan Allah serta selalu mengingat berbagai nikmat yang dikaruniakan oleh Allah. Hidupnya hati ini tidak lain adalah dengan ilmu. Dengan ilmu-lah kita menghidupkan hati-hati kita dari kematian.
Sebagian orang bijak berkata,”Tidakkah orang yang sakit itu, jika tidak diberi makan, minum, dan obat-obatan maka ia akan mati?” Orang-orang menjawab,”Betul”. Orang tersebut berkata lagi,”Maka demikian pula hati. Jika hati tidak diberi ilmu dan hikmah, maka dalam tiga hari hati itu akan mati”.
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh orang bijak itu. Sesungguhnya ilmu itu adalah makanan, minuman, dan obat bagi hati. Kehidupan hati sangat tergantung kepadanya.
Jika ilmu telah menghilang dari hati, maka hati itu seperti mayit. Akan tetapi pemiliknya tidak menyadarinya. Sebagaimana orang mabuk yang telah hilang akalnya dan sebagaimana orang yang sangat ketakutan. Pada kondisi seperti itu, mereka tidak merasakan sakitnya luka. Namun, jika mereka telah sehat dan kembali pulih dari sakitnya, maka mereka akan merasakan sakitnya luka tersebut (Al ‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarfuhu). Itulah ketenangan dan kedamaian hati yang sebenarnya. Jika Engkau tidak menuntut ilmu yang ada hanyalah kegelisahan dan kesedihan.

Teguran bagi Mereka yang Tidak Mau Tahu terhadap Perkara Agama
Saudaraku…
Janganlah Engkau tertipu dengan kesenangan duniawi. Apakah Engkau merasa minder di hadapan teman-temanmu karena Engkau tidak bisa menyaingi kekayaan mereka? Apakah Engkau tidak merasa takut di hadapan Allah jika Engkau tidak memahami agama-Nya? Marilah kita merenungkan sabda Nabi berikut,
إن الله يبغض كل جعظري جواظ سخاب في الأسواق جيفة بالليل حمار بالنهار عالم بالدنيا جاهل بالآخرة
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang ‘alim (pandai) dalam masalah duniawi, namun jahil (bodoh) terhadap masalah akhirat” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra nomor 20593 dengan sanad yang shahih).
Allah ta’ala juga berfirman,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (٧)
”Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar Ruum: 7).
Imam Al Baghawi rahimahullah berkata,
أَمْرَ مَعَاشَهُمْ، كَيْفَ يَكْتَسِبُوْنَ وَيتجرون، وَمَتَى يَغْرُسُوْنَ وَيِزْرَعُوْنَ وَيَحْصُدُوْنَ، وَكَيْفَ يَبْنُوْنَ وَيَعِيْشُوْنَ وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ سَاهُوْنَ عَنْهَا جَاهِلُوْنَ بِهَا، لاَ يَتَفَكَّرُوْنَ فِيْهَا وَلاَ يَعْمَلُوْنَ لَهَا
”Mereka tahu akan profesi mereka, bagaimana mereka bekerja, berdagang, kapan bercocok tanam dan memanen serta bagaimana membangun dan hidup. (Namun mereka) lalai, lupa dan bodoh terhadap kehidupan akhirat, tidak memikirkannya dan beramal untuk menyongsongnya” (Ma’alimut Tanzil 1/262).
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata,
والله لبلغ من أحدهم بدنياه أن يقلب الدرهم على ظفره فيخبرك بوزنه
وما يحسن أن يصلي
”Demi Allah, salah seorang dari mereka telah mencapai keilmuan yang tinggi dalam hal dunia, di mana ia mampu memberitahukan kepada anda mengenai berat sebuah uang perak hanya dengan membalik uang tersebut pada ujung kukunya, sedangkan dirinya tidak becus dalam melaksanakan shalat (dikarenakan minimnya perhatian terhadap ilmu agama)” (Tafsir Ibnu Katsir 3/560).

lmu Syar’i, Jalan Termudah Menuju Surga
Kita tutup dialog ini dengan merenungkan bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor ).
Jika ilmu agama itu jalan termudah untuk menggapai surga, maka cukuplah bagi kita pengetahuan terhadap agama ini sehingga kita menemui Rabb kita dengan keyakinan yang benar, tidak menyimpang, amal ibadah kita benar, dan terbebas dari segala bid’ah, insya Allah.
“Ya Allah, wafatkanlah kami dalam keadaaan beriman, rahmatilah kami ya Allah. Janganlah Engkau wafatkan kami dalam keadaaan memiliki aqidah yang menyimpang. Ya Allah, teguhkanlah kami di atas jalan ilmu, berdakwah kepadanya dan sabar dalam menjalani cobaan”. Amin.

Sumber : http://ikhwanmuslim.com/manajemen-hati/mari-berbincang-sejenak/comment-page-1#comment-5175

Bagaimana Saya Bisa Ikhlas di Setiap Amal?

Ketahuilah setan akan senantiasa menggoda manusia untuk merusak amal shalihnya. Dengan demikian, seorang mukmin akan senantiasa berjihad dengan musuhnya, iblis sampai dia menemui Rabb-nya di atas keimanan kepada-Nya dan keikhlasan di setiap amal yang dikerjakannya. Di antara faktor yang dapat mendorong seorang untuk berlaku ikhlas adalah sebagai berikut,
  • Berdo’a
Hidayah berada di tangan Allah dan hati para hamba berada di antara dua jari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai kehendak-Nya. Oleh karena itu, mohonlah perlindungan kepada-Nya, Zat yang ditangan-Nya-lah hidayah berada, tampakkanlah hajat dan kefakiranmu kepada-Nya. mintalah selalu kepada-Nya agar Dia memberikan keikhlasan kepadamu. Do’a yang sering dipanjatkan oleh Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu adalah do’a berikut,
اللهم اجعل عملي كلها صالحا, واجعله لوجهك خالصا, و لا تجعل لأحد فيه شيئا
“Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk siapapun.”
  • Menyembunyikan Amal
Amal yang tersembunyi -dengan syarat memang amal tersebut patut disembunyikan-, lebih layak diterima di sisi-Nya dan hal tersebut merupakan indikasi kuat bahwa amal tersebut dikerjakan dengan ikhlas.
Seorang mukhlis yang jujur senang menyembunyikan berbagai kebaikannya sebagaimana dia suka apabila keburukannya tidak terkuak. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسَاجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ . وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah ta’ala dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya. mereka adalah seorang pemimpin yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah; seorang pria yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah di atas kecintaan kepada-Nya; seorang pria yang diajak (berbuat tidak senonoh) oleh seorang wanita yang cantik, namun pria tersebut mengatakan, “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”; seorang pria yang bersedekah kemudian dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu aa yang telah disedekahkan oleh tangan kanannya; seorang pria yang mengingat Allah dalam keadaan sunyi dan air matanya berlinang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Bisyr ibnul Harits mengatakan, “Janganlah engkau beramal untuk diingat. Sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan.
Shalat nafilah yang dikerjakan pada malam hari lebih utama daripada shalat sunnah pada siang hari, demikian pula beristighfar di waktu sahur daripada waktu selainnya, dikarenakan pada saat itu merupakan waktu yang lebih mendukung untuk menyembunyikan dan mengikhlaskan amal.”
  • Melihat Amal Orang Shalih yang Berada di Atasmu
Janganlah anda memperhatikan amalan orang yang sezaman denganmu, yaitu orang berada di bawahmu dalam hal berbuat kebaikan. Perhatikan dan jadikanlah para nabi dan orang shalih terdahulu sebagai panutan anda. Allah ta’ala berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (٩٠)
“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran). Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat.” (Al An’am: 90).
Bacalah biografi para ulama, ahli ibadah, dan zuhhad (orang yang zuhud), karena hal itu lebih mampu untuk menambah keimanan di dalam hati.
  • Menganggap Remeh Amal
Penyakit yang sering melanda hamba adalah ridha (puas) dengan dirinya. Setiap orang yang memandang dirinya sendiri dengan pandangan ridha, maka hal itu akan membinasakannya. Setiap orang yang ujub akan amal yang telah dikerjakannya, maka keikhlasan sangat sedikit menyertai amalannya, atau bahkan tidak ada sama sekali keikhlasan dalam amalnya, dan bisa jadi amal shalih yang telah dikerjakan tidak bernilai.
Sa’id bin Jubair mengatakan, “Seorang bisa masuk surga berkat dosanya  dan seorang bisa masuk neraka berkat kebaikannya. Maka ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Sa’id menjawab, “Pria tadi mengerjakan kemaksiatan namun dirinya senantiasa takut akan siksa Allah atas dosa yang telah dikerjakannya, sehingga tatkala bertemu Allah, Dia mengampuninya dikarenakan rasa takutnya kepada Allah. Pria yang lain mengerjakan suatu kebaikan, namun dia senantiasa ujub (bangga) dengan amalnya tersebut, sehingga tatkala bertemu Allah, dia pun dimasukkan ke dalam neraka Allah.”
  • Khawatir Amal Tidak Diterima
Anggaplah remeh setiap amal shalih yang telah anda perbuat. Apabila anda telah mengerjakannya, tanamkanlah rasa takut, khawatir jika amal tersebut tidak diterima. Diantara do’a yang dipanjatkan para salaf adalah,
اللهم إنا نسألك العمل الصالح و حفظه
“Ya Allah kami memohon kepada-Mu amal yang shalih dan senantiasa terpelihara.”
Diantara bentuk keterpeliharaan amal shalih adalah amal tersebut tidak disertai dengan rasa ujub dan bangga dengan amal tersebut, namun justru amal shalih terpelihara dengan adanya rasa takut dalam diri seorang bahwa amal yang telah dikerjakannya tidak serta merta diterima oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (٩٢)
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” (An Nahl: 92).
Ibnu Katsir mengatakan, ["Mereka menunaikan sedekah, namun hati mereka takut dan khawatir, bahwa amalan mereka tidak diterima di sisi-Nya. mereka takut karena (sadar) mereka tidak menunaikan syarat-syaratnya secara sempurna. Imam Ahmad dan Tirmidzi telah meriwayatkan hadits dari Ummul Mukminin, 'Aisyah radhiallahu 'anhu. Dia bertanya kepada rasulullah, "Wahai rasulullah, mengenai ayat,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (Al Mukminun: 60).
Apakah mereka yang tersebut dalam ayat itu adalah orang-orang yang melakukan tindak pencurian, perzinaan, dan meminum khamr, karena mereka takut kepada Allah (atas kemaksiatan yang telah dikerjakannya)? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Bukan, wahai putri ash Shiddiq. Akan tetapi, mereka adalah orang yang menunaikan shalat, puasa, dan sedekah, namun mereka khawatir apabila amalan tersebut tidak diterima oleh-Nya." Keikhlasan memerlukan mujadahah (perjuangan) yang dilakukan sebelum, ketika, dan setelah beramal.]
  • Tidak Terpengaruh Perkataan Manusia atas Amalan yang Telah Dikerjakan
Seorang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala tidaklah terpengaruh oleh pujian manusia apabila mereka memujinya atas kebaikan yang telah dilakukannya. Apabila dia mengerjakan ketaatan, maka pujian yang dilontarkan oleh manusia hanya akan menambah ketawadhu’an dan rasa takut kepada Allah. Dia yakin bahwa pujian manusia kepada dirinya merupakan fitnah baginya, sehingga dia pun berdo’a kepada Allah ta’ala agar menyelamatkan dirinya dari fitnah tersebut. Dia tahu bahwa hanya Allah semata, yang pujian-Nya bermanfaat dan celaan-Nya semata yang mampu memudharatkan hamba.
Dia menempatkan manusia layaknya penghuni kubur yang tidak mampu memberikan manfaat kepada dirinya dan tidak mampu menolak bahaya dari dirinya. Ibnul Jauzi mengatakan,
أن ترك النظر إلى الخلق و محو الجاه من قلوبهم بالعمل و إخلاص القصد و ستر الحال هو الذي رفع من رفع
["Meninggalkan perhatian makhluk dan tidak mencari-cari kedudukan di hati mereka dengan beramal shalih, mengikhlaskan niat, dan menyembunyikan amal merupakan faktor yang mampu meninggikan derajat orang yang mulia."][1]
  • Sadar bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Apabila hamba mengetahui manusia yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan riya akan berdiri bersamanya di padang Mahsyar dalam keadaan takut dan telanjang,dia akan mengetahui bahwasanya memalingkan niat ketika beramal kepada mereka tidaklah akan mampu meringankan kesulitan yang dialaminya di padang Mahsyar. Bahkan mereka akan mengalami kesempitan yang sama dengan dirinya.
Apabila anda telah mengetahui hal itu, niscaya anda akan mengetahui bahwamengikhlaskan amal adalah benar adanya, tidak sepatutnya amalan ditujukan kecuali kepada Zat yang memiliki surga dan neraka.
Oleh karena itu, seorang mukmin wajib meyakini bahwa manusia tidaklah memiliki surge sehingga mereka mampu memasukkan anda ke dalamnya. Demikian pula, mereka tidaklah mampu untuk mengeluarkan anda dari neraka apabila anda meminta mereka untuk mengeluarkan anda. Bahkan apabila seluruh umat manusia, dari nabi Adam hingga yang terakhir, berkumpul dan berdiri di belakang anda, mereka tidaklah mampu untuk menggiring anda ke dalam surge meski selangkah. Dengan demikian, mengapa anda mesti riya di hadapan mereka, padahal mereka tidak mampu memberikan apapun kepada anda?
Ibnu Rajab mengatakan,
من صلى وصام وذكر الله يقصد بذلك عرض الدنيا فإنه لا خير له فيه بالكلية لأنه لاتقع في ذلك لصاحبه لما يترتب عليه من الإثم فيه ولا لغيره
“Barangsiapa yang berpuasa, shalat, dan berzikir kepada Allah demi tujuan duniawi, maka amalan itu tidak mendatangkan kebaikan baginya sama sekali. Seluruh amal tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya dikarenakan mengandung dosa (riya), dan (tentunya amalan itu) tidak bermanfaat bagi orang lain.”[2]
Kemudian, anda tidak akan mampu memperoleh keinginan anda dari manusia yang menjadi tujuan riya yang telah anda lakukan, yaitu agar mereka memuji anda. Bahkan mereka akan mencela anda, menyebarkan keburukan anda di tengah-tenah mereka, dan tumbuhlah kebencian di hati mereka kepada anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يراء يراء الله به
“Barangsiapa yang berbuat riya, maka Allah akan menyingkap niat busuknya itu di hadapan manusia” (HR. Muslim).
Demikianlah akibat orang yang riya. Namun, apabila anda mengikhlaskan amal kepada-Nya, niscaya Allah dan makhluk akan mencintaimu. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا (٩٦)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah[911] akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih saying (kecintaan)” (Maryam: 96).
  • Ingatlah Anda Sendirian di Dalam Kubur
Jiwa akan merasa tenang dengan mengingat perjalanan yang akan dilaluinya di akhirat. Apabila hamba meyakini bahwa dirinya akan dimasukkan ke dalam liang lahat sendiri, tanpa seorang pun menemani, dan tidak ada yang bermanfaat bagi dirinya selain amal shalih, dan dia yakin bahwa seluruh manusia,  tidak akan mampu menghilangkan sedikit pun, azab kubur yang diderita, maka dengan demikian hamba akan menyakini bahwa tidak ada yang mampu menyelematkannya melainkan mengkihlaskan amal kepada Sang Pencipta semata. Ibnul Qayyim mengatakan,
صدق التأهب للقاء الله من أنفع ما للعبد وأبلغه في حصول استقامته فإن من استعد للقاء الله انقطع قلبه عن الدنيا وما فيها ومطالبها
["Persiapan yang benar untuk bertemu dengan Allah merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat dan paling ampuh bgi hamba untuk merealisasikan keistiqamahan diri. Karena setiap orang yang mengadakan persiapan untuk bertemu dengan-Nya, hatinya akan terputus dari dunia dan segala isinya."][3]
Diterjemahkan dari Khutuwaat ilas Sa’adah karya Dr. Abdul Muhsin Al Qasim (Imam dan Khatib Masjid Nabawi serta Hakim di Pengadilan Umum).
Buaran Indah, Tangerang, 1 Rajab 1431 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

[1] Shaidul Khatir hlm. 251 [2] Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/67.
[3] Thariqul Hijratain hlm. 297.

Minggu, 19 Juni 2011

Agar Hati Tidak Membatu

Agar Hati Tidak Membatu
Segala puji bagi Allah, yang membentangkan tangan-Nya untuk menerima taubat hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya, teladan bagi segenap manusia, yang menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus menuju ampunan dan ridha-Nya. Amma ba’du.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (al-Fawa’id, hal. 95).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh celaka orang-orang yang berhati keras dari mengingat Allah, mereka itu berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar: 22).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Maksudnya, hati mereka tidak menjadi lunak dengan membaca Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang dengan berzikir kepada-Nya. Akan tetapi hati mereka itu berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).
Ciri-Ciri Orang Berhati Keras

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa ciri orang yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena saking kerasnya hatinya. Sehingga tatkala setan melontarkan bisikan-bisikannya dengan serta-merta hal itu dijadikan oleh mereka sebagai argumen untuk mempertahankan kebatilan mereka, mereka pun menggunakannya sebagai senjata untuk berdebat dan membangkang kepada Allah dan rasul-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 542)
Orang yang berhati keras itu tidak bisa memetik pelajaran dari nasehat-nasehat yang didengarnya, tidak bisa mengambil faedah dari ayat maupun peringatan-peringatan, tidak tertarik meskipun diberi motivasi dan dorongan, tidak merasa takut meskipun ditakut-takuti. Inilah salah satu bentuk hukuman terberat yang menimpa seorang hamba, yang mengakibatkan tidak ada petunjuk dan kebaikan yang disampaikan kepadanya kecuali justru memperburuk keadaannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225).
Orang yang memiliki hati semacam ini, tidaklah dia menambah kesungguhannya dalam menuntut ilmu melainkan hal itu semakin mengeraskan hatinya… Wal ‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah darinya)… Maka sangat wajar, apabila sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengingatkan kita semua, “Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakekat ilmu itu adalah rasa takut.” Abdullah anak Imam Ahmad pernah bertanya kepada bapaknya, “Apakah Ma’ruf al-Kurkhi itu memiliki ilmu?!”. Imam Ahmad menjawab, “Wahai putraku, sesungguhnya dia memiliki pokok ilmu!! Yaitu rasa takut kepada Allah.” (lihat Kaifa Tatahammasu, hal. 12).
Sebab Hati Menjadi Keras

Sebab utama hati menjadi keras adalah kemusyrikan. Oleh sebab itu Ibnu Juraij rahimahullah menafsirkan ‘orang-orang yang berhati keras’ dalam surat al-Hajj ayat 53 sebagai orang-orang musyrik (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/326]). Demikian pula orang-orang yang bersikeras meninggalkan perintah-perintah Allah dan orang-orang yang memutarbalikkan ayat-ayat Allah (baca: ahlul bid’ah); mereka menyelewengkan maksud ayat-ayat agar cocok dengan hawa nafsunya. Orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang berhati keras (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225). Selain itu,  faktor lain yang menyebabkan hati menjadi keras adalah berlebih-lebihan dalam makan, tidur, berbicara dan bergaul (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Lembut dan Kuatkan Hatimu!

Sudah semestinya seorang muslim -apalagi seorang penuntut ilmu!- berupaya untuk memelihara keadaan hatinya agar tidak menjadi hati yang keras membatu. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati seorang hamba akan menjadi sehat dan kuat apabila pemiliknya menempuh tiga tindakan:
  1. Menjaga kekuatan hati. Kekuatan hati akan terjaga dengan iman dan wirid-wirid ketaatan.
  2. Melindunginya dari segala gangguan/bahaya. Perkara yang membahayakan itu adalah dosa, kemaksiatan dan segala bentuk penyimpangan.
  3. Mengeluarkan zat-zat perusak yang mengendap di dalam dirinya. Yaitu dengan senantiasa melakukan taubat nasuha dan istighfar untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 25-26)
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Setiap hamba pasti membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dalam memanjatkan doa, berzikir, sholat, merenung, berintrospeksi diri dan memperbaiki hatinya.” (dinukil dari Kaifa Tatahammasu, hal. 13). Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka apakah yang akan terjadi apabila seekor ikan telah dipisahkan dari dalam air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib). Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri, “Aku mengadukan kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka beliau menasehatinya, “Lembutkanlah ia dengan berdzikir.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan ketekunan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
Langkah Selanjutnya?

Dari keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk menjaga hati kita agar tidak keras dan membatu adalah dengan cara:
  1. Beriman kepada Allah dan segala sesuatu yang harus kita imani
  2. Mentauhidkan-Nya, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya
  3. Melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya
  4. Meninggalkan perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan
  5. Banyak mengingat Allah, ketika berada di keramaian maupun ketika bersendirian
  6. Banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa kita
  7. Menanamkan perasaan takut kepada Allah dan berusaha untuk senantiasa menghadirkannya dimana pun kita berada
  8. Merenungi maksud ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  9. Selalu bermuhasabah/berintrospeksi diri untuk memperbaiki diri dan menjaga diri dari kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu
  10. Bergantung kepada Allah dan mendahulukan Allah di atas segala-galanya

Ya Allah, lunakkanlah hati kami dengan mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu…
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

sumber : http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/agar-hati-tidak-membatu.html

Merah Putih


Tanya : Apakah boleh berdiri untuk lagu kebangsaan dan hormat kepada bendera ?
Jawab : Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan. Ini termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari dan tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam ataupun masa Al-Khulafaaur-Raasyiduun radliyallaahu ’anhum. Ia juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan hanya kepada Allah semata serta merupakan sarana menuju kesyirikan. Di samping itu, ia merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaqlidi tradisi mereka yang jelek, serta menyamai mereka dalam sikap berlebih-lebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka. [1]  Wabillaahit-taufiq, washallallaahu ’alaih Nabiyyinaa Muhammad wa Aalihi wa shahbihi wa sallam.

[Jawaban diambiil dari Fataawa Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ hal. 149 melalui kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fatawa ’Ulama Al-Baladil-Haram oleh Khalid Al-Juraisy – repro dari sumber yang telah bertebaran].
Catatan kecil dari Admin Blog :
Mereka yang menjawab adalah para ulama besar resmi yang ditunjuk oleh kerajaan Saudi Arabia. Jawaban dan fatwa ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan ’nasionalisme’ dan semisalnya sebagaimana dikatakan sebagian kalangan.
Ada yang mengatakan bahwa fatwa ini adalah fatwa sesat yang tidak punya sandaran. Berhati-hatilah wahai saudaraku, pelan-pelanlah dalam berbicara, renungkanlah sejenak apa yang hendak saya sampaikan.
Allah ta’ala berfirman tentang manusia :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” [QS. Al-Israa’ : 70].
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [QS. At-Tiin : 4].
Melalui dua ayat ini Allah ta’ala ingin menjelaskan pada kita bahwa kita, manusia, adalah makhluk Allah yang kedudukan yang sangat mulia. Ia lebih mulia daripada dunia dan seisinya. Terlebih lagi mereka yang beriman kepada Allah ta’ala.
Satu hari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah memandang Ka’bah, kiblat kaum muslimin, dengan rasa takjub. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
مَرْحَبًا بِكِ مِنْ بَيْتٍ مَا أَعْظَمَكِ، وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ
”Selamat datang wahai Ka’bah, betapa agungnya engkau dan betapa agung kehormatanmu. Akan tetapi orang mukmin lebih agung di sisi Allah daripadamu” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan, no. 4014; shahih].
Bahkan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ "
”Lenyapnya/hancurnya dunia lebih rendah kedudukannya di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3987; shahih].
Artinya, dunia, betapapun hebat dan tergantungnya manusia kepadanya, tidak akan mampu mengalahkan kemuliaan seorang yang beriman di mata Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan kita. Dan di antara manusia ciptaan Allah tersebut, adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam yang menduduki puncak martabat kemuliaan. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ، وَأَوَّلُ شَافِعٍ، وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
”Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat kelak. Aku adalah orang yang muncul (dibangkitkan) lebih dahulu dari kuburan, paling dahulu memberi syafa'at, paling dahulu dibenarkan memberi syafa'at” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2278].
Akan tetapi, dengan segala kemuliaan beliau di mata kita, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ridlaa jika ada shahabatnya berdiri menghormati beliau. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam memberikan peringatan :
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
”Barangsiapa yang suka dihormati manusia dengan cara berdiri, hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adab no. 977,  Abu Dawud no. 5226; dan lain-lain – shahih].
Anas bin Malik pun melaporkan bagaimana keadaan para shahabat berkaitan dengannya :
لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
”Tidak ada seorangpun yang lebih dicintai oleh para shahabat daripada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Akan tetapi, bila mereka melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (hadir), mereka tidak berdiri untuk beliau, sebab mereka mengetahui bahwa beliau membenci hal tersebut” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2754; shahih].
Dengan melihat contoh dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam di atas – dan beliau adalah sebaik-baik contoh – apakah boleh kita meng-iya-kan seandainya ada orang yang menyuruh kita menghormati orang lain dengan berdiri, betapapun tinggi pangkat dan kedudukannya di mata manusia ? – sementara para shahabat saja tidak pernah melakukannya kepada pemimpin Bani Adam ?. Atau dengan bahasa lain : Bolehkah kita menolak permintaan tersebut wahai saudaraku ?.
Seandainya jawabanmu seperti jawabanku,...... lantas bagaimana keadaannya jika hal itu diberikan kepada benda mati ?.
Saudaraku,.... sungguh hati ini sangat ingin seandainya engkau bersama kami dalam alasan ini. Namun seandainya engkau tidak bersama kami,... kami mohon, dengan menyebut nama Allah ta’ala yang telah menciptakan kita, minimal engkau dapat memahami dan tidak memaksakan sesuatu yang tidak kami maui karena Allah ta’ala.
Kami enggan bukan karena kami ingin menjadi pahlawan. Kami enggan bukan karena kami ingin menjadi pemberontak. Kami enggan bukan karena kami tidak cinta. Kami enggan bukan pula karena kami tidak hormat. Namun kami enggan karena syari’at agama yang sangat kami cintai melarangnya.
Semoga sedikit yang dituliskan ini dapat menjadi bahan perenungan kita bersama. Mohon dimaafkan apabila tidak sopan bertutur kata.
Admin – 1432 H.


[1]     Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ومن تشبه بقوم فهو منهم
”Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/50 no. 5114, Al-Hakim 1/375, dan lainnya; shahih – takhrij selengkapnya di sini].

Kamis, 16 Juni 2011

Hati Yang Terbaik


Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,
يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق
“Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya 1/70-80).
Hati yang Terbaik
Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini, adalah suatu wasiat yang terkenal di kalangan para ulama yang menjelaskan kategori manusia.
Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi oleh pemahaman terhadap Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka yang memahami Al Qur-an dan sunnah rasul-Nya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala untuk memperoleh kebaikan sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).
Pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, rasulullah menyebutkan lafadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas. Seakan-akan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.
Dari hadits di atas juga, kita dapat memahami bahwasanya mereka yang enggan mempelajari agama Allah ta ‘ala, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh kebaikan.
Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan,
مَفْهُوم الْحَدِيث أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّه فِي الدِّين أَيْ : يَتَعَلَّم قَوَاعِد الْإِسْلَام وَمَا يَتَّصِل بِهَا مِنْ الْفُرُوع فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر
“Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).
Sang Alim Rabbani
Kemudian khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan bahwasanya manusia terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah عالم رباني seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan dan menyebarkan ilmunya. Karena seorang alim rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh imam Mujahid rahimahullah ta’ala,
الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره
”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” (Tafsir Al Qurthubi 4/119).
Maka, seorang rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu  yang benar yaitu yang berupa Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rahimahullah
كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ    إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَ عِلْمَ الْفِقْهِ قِي الدِّيْنِ
اَلْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا         وَ مَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَسُ الشَّيَاطِيْنَ
Setiap ilmu selain Al Qur-an akan menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih
Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu yang berdasar kepada wahyu)
Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan syaithan semata (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).
Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah ilmu yang mereka ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat hingga mereka mengamalkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مثل العالم الذي يعلم الناس الخير و ينسى نفسه كمثل السراج يضيء للناس و يحرق نفسه
“Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi manusia namun justru membakar dirinya sendiri.” (Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).

Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan
Jika kita bukan termasuk kategori yang pertama, maka hendaknya kita menjadi orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai متعلم على سبيل نجاة  yaitu seorang yang mau belajar dan orang inilah orang yang berada di atas jalan keselamatan.
Maka benarlah apa yang beliau katakan, karena sesungguhnya seorang yang terus mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju surga sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor 2699).
Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة  orang yang berada di atas jalan keselamatan.
Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)
Adapun orang yang selain kedua golongan ini. Maka hal ini adalah sesuatu yang memalukan dan sangat berbahaya.
Kata beliau mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang berkomentar dan mengikuti kemana arah angin bertiup.
Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan mengikutinya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak memiliki pendirian, ketegasan sikap karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia adalah seorang yang bingung.
Maka beliau katakan bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti kemana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang kokoh dan kuat sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi dan bisa jadi dia celaka dikarenakan hal tersebut.
Persis seperti kejadian yang terjadi di masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada seorang yang terlempar dari untanya, maka kepalanya pun terluka. Namun pada malam hari, dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam kondisi junub. Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap dikarenakan minimnya ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di samping kanan dan di samping kirinya. Apakah ia harus mandi untuk bersuci atau dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.
Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memperoleh jawaban yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan bahwa dia tetap harus mandi karena tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya. Akhirnya orang ini pun mandi, dan ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi seorang muslim, yaitu bagaimana cara seorang muslim harus bersuci, kapan dia harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.
Demikian pula, seorang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakekatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup. Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan,
مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً          تَجَرَّعَ ذُلُّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ
وَ مَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ         فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ
Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar
Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya
Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda
Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).
Urgensi Menuntut Ilmu Agama
Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung kita sebagai umat Islam untuk mempelajari agama ini dengan benar, karena diri kita sangatlah butuh akan ilmu agama ini.
Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,
الناس محتاجون إلى العلم قبل الخيز و الماء لأن العلم محتاجون إليه الإنسان في كل ساعة و الخبز و الماء في اليوم مرة أو مرتين
“Manusia sangat membutuhkan ilmu melebihi kebutuhan terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya dibutuhkan manusia sekali atau dua kali” (Al Adab asy Syar’iyyah 2/44-45).
Faktor yang membuat kita memahami urgensi menuntut ilmu syar’i di saat ini adalah jika kita mengamati realita keagamaan di sekitar kita. Jika kita mau mengamati, betapa banyak pada zaman sekarang orang-orang yang berbicara tentang agama Allah ini tanpa dilandasi dengan ilmu.
Mantan artis yang baru saja berkubang dengan kemaksiatan, kemudian merubah penampilan sehinga nampak shalih dijadikan ikon keshalihan dan dijadikan tempat bertanya mengenai permasalahan agama. Seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara formal, tidak memiliki background pendidikan agama, tidak tahu bahasa Arab, tidak menghafal al Qur-an begitupula tidak tahu-menahu mengenai hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai pendapatnya dalam permasalahan agama.
Sungguh benar apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, beliau telah mensinyalir hal ini akan terjadi dalam sebuah haditsnya,
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة . قيل وما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه ؛ يتكلم في أمر العامة
“Akan datang tahun-tahun yang dipenuhi penipuan. Pada saat itu, seorang pendusta justru dibenarkan dan seorang yang jujur malah didustakan. Seorang pengkhianat malah dipercaya dan seorang yang amanah malah dikhianati. Pada saat itu, ar-ruwaibidhah akan angkat bicara. Para sahabat bertanya, “Apa ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Ar-rumwaibidhah adalah seorang yang (pada hakekatnya) dungu, namun berani bicara mengenai urusan umat.” (Ash-Shahihah nomor 1887).
Begitupula jika kita menyimak firman Allah yang mencela kebodohan seorang terhadap agama-Nya, maka kita akan memahami bahwa setiap muslim dituntut untuk mengetahui perkara agama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (٧)
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (Ar Ruum: 6-7).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
أي: أكثر الناس ليس لهم علم إلا بالدنيا وأكسابها وشؤونها وما فيها، فهم حذاق أذكياء في تحصيلها ووجوه مكاسبها، وهم غافلون عما ينفعهم في الدار الآخرة، كأن أحدهم مُغَفّل لا ذهن له ولا فكرة
“Maksudnya kebanyakan manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan tentang dunia dan pergulatan serta kesibukannya, juga segala apa yang di dalamnya. Mereka cukup cerdas untuk mencapai dan menggeluti berbagai kesibukan dunia, tetapi mereka lalai terhadap urusan akhirat dan berbagai hal yang bermanfaat bagi mereka di alam akhirat, seakan-akan seorang dari mereka lalai, tidak berakal dan tidak pula memikirkan (perkara akhiratnya)”
Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
>والله لَبَلَغَ من أحدهم بدنياه أنه يقلب الدرهم على ظفره، فيخبرك بوزنه، وما يحسن أن يصلي
“Demi Allah, seorang dari mereka akan berhasil menggapai dunia, dimana ia bisa membalikkan dirham di atas kukunya, lalu dia mampu memberitahukan anda tentang beratnya. Namun dia tidak becus dalam mengerjakan shalat”
Dampak dari kebodohan terhadap agama Allah adalah berkurangnya keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim yang ‘alim terhadap perkara agama akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang keridlaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya, dan begitupula ia akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang kemurkaan Allah sehingga ia dapat menjauhinya.
Berbeda halnya dengan seorang muslim yang tidak tahu perkara agama, karena ketidaktahuan dirinya dan sedikitnya ilmu agama yang ia miliki terkadang ia menerjang kemaksiatan, mendahulukan perkara-perkara yang tidak penting, atau rela menjual agamanya demi mendapatkan dunia. Dia tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga terkadang orang yang jahil terhadap agama, akan menyembah Allah sekenanya saja, ia tidak terlalu mempedulikan apakah ibadah yang ia lakukan telah diterima oleh Allah.
Terkadang, dia beranggapan bahwa ibadahnya telah diterima, sehingga dirinya sangat minim untuk menginstropeksi berbagai amalan yang ia lakukan dan mengukurnya dengan barometer syari’at, dengan barometer yang ditetapkan oleh Allah ta’ala. Hal ini dikarenakan barometer yang ada pada dirinya telah terbalik.
Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu agama merupakan sumber dari setiap kebaikan, sedangkan kebodohan terhadap agama ini merupakan sumber dari setiap keburukan.
Jika kita menyimak ayat-ayat Al Qur-an, maka kita pun akan menemukan bahwa berbagai bentuk kesyirikan –yang notabene adalah dosa terbesar- dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)
“Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb)” (Al A’raaf: 138).
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤)أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥)
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)” (An Naml 54-55).
Coba anda perhatikan kedua ayat di atas, bukankah permintaan Bani Israil kepada nabi Musa ‘alaihis salam agar dibuatkan sesembahan (berhala) dan tindakan homoseks kaum nabi Luth berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap agama? Oleh karenanya, nabi Musa dan Luth menyatakan bahwa mereka adalah kaum yang jahil!
Oleh karena itu, setiap orang wajib untuk menuntut ilmu agama. Siapa pun dia, apa pun profesinya wajib menuntut ilmu agama untuk menghadapi dan melepaskan diri dari berbagai fitnah yang akan dia temui di dunia.
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau yang berjalan di atas sunnah beliau.