Sabtu, 09 Januari 2010

Hukum Menutup Muka Bagi Wanita [Cadar]

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum wanita
menutup muka (cadar) ?"

Jawaban.
Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syari'at. Tidak boleh meajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.

Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab 'Hijabul Mar'aatul Muslimah', untuk membantah orang yang menganggap bahwa menutup wajah wanita adalah bid'ah. Saya telah jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi wanita.

Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam 'Al-Mushannaf'.

Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dari kalangan 'As Salafus Shalih' dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.

Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita dengan kaidah.

"Artinya : Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan"

Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid'ah tapi sesuatu yang berdasarkan syari'at.
Sedangkan orang yang pertama menerima syari'at adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian orang-orang yang menerima syari'at ini dari beliau adalah para shahabat. Para Shahabat tentu sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka belum menyusunnya dengan tingkatan ilmu ushul fiqih seperti di atas.

Telah kami sebutkan dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' kisah seorang wanita 'Khats'amiyyah' yang dipandangi oleh Fadhl bin 'Abbas ketika Fadhl sedang dibonceng oleh Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam, dan wanita itupun melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang tampan dan wanita itupun seorang yang cantik. Kecantikan wanita ini tidak mungkin bisa diketahui jika wanita itu menutup wajahnya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa wanita tadi membuka wajahnya.

Sebagian mereka mengatakan bahwa wanita tadi dalam keadaan ber-ihram,
sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tanda
sedikitpun bahwa wanita tadi sedang ber-ihram. Dan saya telah men-tarjih (menguatkan) dalam kitab tersebut bahwa wanita itu berada dalam kondisi setelah melempar jumrah, yaitu setelah 'tahallul' awal.

Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang ber-ihram, mengapa
Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah kerusakan .?!

Kemudian kami katakan bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah wanita, tidak ada bedanya dengan pandangan seorang wanita terhadap wajah lelaki dari segi syari'at dan dari segi tabi'at manusia.

Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. 'Hendaknya mereka menahan pandangannya" [An-Nuur : 30]

Maksudnya dari (memandang) wanita.

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah mereka
menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]

Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.

Kedua ayat diatas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah wanita dan ayat kedua memerintahkan menundukkan pandangan dari wajah pria.

Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang laki-laki untuk menutup. Demikian pula ayat pertama tidak memerintahkan seorang wanita untuk menutup wajah.

Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang biasa terbuka dan bisa dilihat yaitu wajah. Maka Allah, Sang Pembuat syari'at dan Yang Maha Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis menusia (laki-laki dan perempuan)untuk menundukkan pandangan masing-masing.

Adapun hadits.

"Artinya : Wanita adalah aurat"

Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di dalam shalat.[1]

Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama.
Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas ulama (Jumhur).

Hadits diatas, yang berbunyi.

"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan memperindahnya"

Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :

"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-cabang hukum itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebut, maka kita tidak boleh berhujah dengan dalil umum tersebut untuk menentukan cabang-cabang hukum tadi".

Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu baik adalah berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain.... banyak orang yang membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat umum yaitu firman Allah.

"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]

Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak bisa daijadikan hujjah dalam adzan yang memakai shalawat, karena ia membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).

Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah aurat", adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika melaksanakan shalat mereka umumnya membuka wajah. Demikian pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain masih membuka wajah.

Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang salaf (para shahabat).


[Disalin dari kitab Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid]
_________
Foote Note
[1] Maksud beliau adalah bahwa orang yang berpendapat tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita pun bersepakat tentang bolehnya wanita membuka wajahnya, yang menurut mereka adalah aurat, ketika shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa hadits di atas tidaklah berlaku secara mutlak [-pent]

dikutip dari:almanhaj.or.id



2 komentar:

  1. Di dalam Kitab Tafsir Jalalain, karya Jalaluddin ibn Muhammad Al-Mahalli رحمه الله dan Jalaluddin ibn Abi Bakrin as-Suyuthi رحمه الله; digunakan di hampir seluruh dunia dan pondok-pondok pesantren di Indonesia sejak masa dahulu; disebutkan:

     Tafsir QS. An-Nuur : 31: وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (...dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya), yaitu :
    “wajah dan kedua telapak tangan, maka dibolehkan terlihat lelaki asing jika tidak takut terjadi fitnah; pada satu pendapat. Pendapat kedua, diharamkan terlihat (wajah dan telapak tangan) karena dapat mengundang fitnah, (pendapat ini) kuat untuk memutus pintu fitnah itu.”

     Tafsir QS.Al-Ahzaab: 59 tentang jilbab, يُدْنِــينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ (...Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…), yaitu :
    “Bentuk jamak dari jilbab, yaitu pakaian besar yang menutupi perempuan, yaitu menurunkan sebagiannya ke atas wajah-wajah mereka ketika keluar untuk suatu keperluan hingga tidak menampakkannya kecuali hanya satu mata saja.”

    BalasHapus
  2. Ternyata Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan bahwa cadar itu WAJIB.

    Fatwa ini membuktikan bahwa cadar telah dikenal di kalangan kaum muslimin Indonesia. Jadi cadar bukanlah barang baru, asing, atau radikal dan bukan pula identitas khusus kelompok tertentu, ajaran teroris apalagi dikatakan sebagai bukan ajaran Islam atau aliran sesat.

    Sebaliknya, cadar adalah ajaran Islam, ajaran Rasulullah , ajaran para sahabatnya dan ajaran para ulama ahlussunnah wal jama’ah ; maka dari itu tidak boleh dan tidak patut seorang muslim mengolok-oloknya, menghinanya atau melecehkannya.

    MUKTAMAR VIII NAHDLATUL ULAMA
    Keputusan Masalah Diniyyah Nomor : 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang
    HUKUM KELUARNYA WANITA DENGAN TERBUKA WAJAH DAN KEDUA TANGANNYA

    Pertanyaan :
    Bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah HARAM atau Makruh? Kalau dihukumkan HARAM, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi Dharurat, ataukah tidak? (Surabaya)

    Jawaban :
    Hukumnya wanita keluar yang demikian itu HARAM, menurut pendapat yang Mu’tamad ( yang kuat dan dipegangi - penj ).
    Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut Mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, APABILA TIDAK ADA FITNAH.

    LIHAT REFERENSI :
    Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman123-124, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh; Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jatim dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

    BalasHapus